A Tale

Binar Sederhana

21.31

Larasati kembali lagi, ke pemukiman lusuh di antara pohon – pohon bambu yang liar tumbuh menjadi sarang – sarang ular. Kali ini mungkin lebih dari sekedar menyusuri jalan – jalan becek beralas daun – daun kering yang jatuh, tidak seperti waktu sebelum – sebelumnya. Ia ingin meninggalkan kenangan di desa kecil pinggiran kota ini, tak mudah untuk mencapai tempat itu. Mungkin, kata ‘berani’ saja belum tentu bisa membawa kita sampai ke desa itu, tidak akan sampai, hingga kita memiliki keinginan dan ketulusan untuk benar – benar datang.

Sebenarnya, ia tidak begitu saja datang. Beberapa hari ini, sekolahnya memberikan tanggung jawab untuk mengawasi persiapan – persiapan kegiatan sekolah “Pengenalan Lingkungan Masyarakat”.

Tidak sendiri. Ia bersama kawan – kawan lain dengan alasan yang sama, untuk kenangan yang tak mungkin dapat terulang. Di tempat yang mataharinya harus berusaha menyelip di sela – sela dedaunan dan ranting – ranting yang rimbun, di mana setiap pasang mata yang lewat hanya menafsirkan harapan untuk hidup esok.

Hari mulai terik, tapi untung saja rerimbunan pohon – pohon besar di setiap pinggiran jalan mampu menjadi penghalang panas matahari.

“Kenapa harus di tempat seperti ini sih? Apa tidak ada yang lebih baik?” Rani menyela diantara nafas – nafas yang terengah – engah. Mereka berjalan menuntun sepeda motor melewati jalanan menanjak berkerikil. Terlalu berbahaya jika tetap menaiki motor di jalanan menanjak seperti ini, batu – batu kecil yang hidup bisa saja setiap saat menyandung.

Benarkan? Tak mudah untuk mencapai tempat itu. Suatu desa kecil di selatan kota Purwokerto. Desa yang kontur tanahnya seperti gelombang pasang, naik dan turun tidak membentuk irama yang indah. Namun, gemerisik angin terlembut dapat dirasakan di sini, membuat helaan nafas menjadi lebih ringan.

Dari awal memasuki pintu desa, mereka sudah sibuk dengan umpatan – umpatan penuh sesal mengapa mereka harus datang ke tempat seperti ini. Tapi Larasati memilih diam, jika saja mengumpat bisa meringankan jalannya. Tapi sayangnya tidak bisa. Ia menikmati kerikil – kerikil kecil di bawah alas sepatunya. Jalanan ini sudah menjadi hidupnya beberapa hari ini. Perasaan yang tidak pernah berubah, betapa lelahnya juga berjalan dengan irama yang jauh dari ramah. Tidak bisakah mereka hanya diam?

“Capek ya mbak? Saya bantu dorong ya.”

Bisik – bisik kecil berisi cela dan keluh tadi tiba – tiba terhenti dengan suara yang terdengar bergetar. Semuanya serempak menolehkan pandangannya, bertemu pandang dengan wanita paruh baya dengan ranting – ranting kayu yang digendong di punggungnya. Terkesiap melihat raut wajah ramahnya tapi penuh lelah.

“Ah. Terima kasih, bu.” Larasati memecah hening yang sesaat menjadikan mereka canggung.

“Saya yang malah mau bilang terima kasih sanget. Wong mbak – mbaknya yang sudah membantu kok.” Ucapannya bercampur dengan bahasa jawa, terdengar halus dan tulus.

“Rumah saya jadi diperbaiki.” Lanjutnya

“Ah, itu kan dari sekolah.” Kali ini Nisa yang menanggapi.

“Ya tetap saja. Mbaknya kan juga sudah mau ke sini.”

Nada ramahnya tidak pernah beranjak dari setiap ujung – ujung katanya. Padahal, jika dilihat dari perawakannya yang kurus dan kulitnya yang kecoklatan terbakar sinar matahari pasti banyak waktu – waktu sulit yang pernah dilewati. Tapi, tidak sama sekali membuatnya terlihat lemah.

Larasati bergumam dalam hatinya, mengkecam geram mengingat keluh dan cela yang kawan – kawannya bisikkan tadi sepanjang jalan. Dan kini mereka semua terdiam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ingin saja ia berteriak di depan wajah – wajah mereka...

Mengapa sekarang diam? Lihatkan! Betapa bahagianya mereka dengan hanya kita datang ke sini! Bahkan tanpa mengetahui apakah kita benar – benar tulus membantu, mereka sudah sangat berterima kasih.

Garis – garis urat di bawah kulitnya terlihat jelas menonjol di antara kulit yang sudah sedikit kendur akibat keriput. Larasati merinding seketika melihat urat di leher wanita itu tegang. Beban di punggungnya pasti tidak ringan.

“Saya benar – benar sangat berterima kasih.” Suaranya terdengar serak sekarang.

Larasati mengulaskan senyuman diikuti oleh anggukan pelan kepalanya. Ia terlalu sibuk mengamati setiap sudut bangunan yang baru kelihatan tiang – tiang penyangganya. Bangunan persegi, yang mungkin hanya sebesar kelasnya atau bahkan tidak sampai selebar itu menyekat nafasnya.

Hatinya seperti bergetar, mengingat betapa tulusnya wanita paruh baya tadi mengucap rasa terima kasih. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang menjadi begitu bersyukur untuk hal kecil seperti ini? Ya. Untuk Larasati, sepetak rumah itu bukan hal yang besar. Hanya bangunan kecil berdinding triplek.  

“Ini mbak, rumah saya tadinya di situ, tapi karena sedang diperbaiki jadi dipindah di sini.” Wanita itu mengajak Larasati masuk ke dalam rumah beralas tanah dengan dinding anyaman bambu yang banyak berlubang. Bagian bawahnya terbuka, membuka pintu bagi ular atau hewan – hewan lain untuk masuk kapan saja.

“Diangkat bu?” Ia melongo, membayangkan bagaimana caranya bangunan ini bisa dikatakan sebagai rumah. Bisa saja, jika itu rumah – rumah siput yang selalu dibawa kemana-mana. Jadi, ketika suatu saat ada angin kencang, bisa saja keluarga penghuni rumah ini bingung mencari di mana bangunan rumah mereka bermuara terbawa angin. Lucu kalau dibayangkan, tapi sayangnya lebih terkesan memprihatinkan.

“Ya iya. Ini kan diangkat seperti ini saja ya sudah bisa dipindah.” Wanita itu mencabut pasak bambu kecil di tengah ruangan, membuat atapnya bergerak. Ia menyambungnya dengan tawa kecil, entah sebagai tanda prihatin atau memang lucu.

Larasati semakin terkesiap dengan apa yang ia lihat. Rasa syukur itu ternyata begitu sederhana untuk wanita paruh baya berparas ramah ini. Entah, sudah berapa kali ia mengucapkan terima kasih, tapi rasanya tetap terdengar sama tulusnya.

Sambil berjongkok dan mengintip kolong lemari, wanita itu menarik keluar baskom berisi gelas – gelas yang basah. Ia mengelapnya satu – satu, memastikan semuanya benar – benar kering. Obrolan mereka semakin dalam, nampaknya wanita itu butuh teman berbicara. Hanya perlu seseorang untuk mendengarkannya, walau Larasati tidak bisa memberi tanggapan apapun.

Sekilas ia mengingat raut – raut wajah kawan – kawannya, membandingkan dengan garis – garis wajah wanita di hadapannya. Mengapa baginya rasa syukur begitu sulit untuk dijangkau. Mereka hanya harus datang dan mengamati apa yang ada di desa pinggiran itu. Tapi, masih saja ada tempat untuk mencela dan mengeluh. Dibanding dengan wanita paruh baya ini, yang bahkan masih harus khawatir setiap hari rumahnya akan roboh, tapi rasa syukurnya seperti satu – satunya kata yang ia kenal.

Mengapa Tuhan tidak menjadikan mereka seperti itu? Setidaknya, biarkan mereka sekejap lupa apa itu penyesalan dan keluhan. Biarkan mereka merasakan betapa sederhananya sebuah rasa syukur  itu.

Itu merupakan kenangan untuk Larasati. Perasaan yang berbeda, bagaimana seseorang memandangnya penuh binar, walau tanpa tahu apakah ia benar – benar tulus, tapi yang cahaya mata redupnya hanya mengantarkan kejujuran.