A Tale

Labirin

21.59

April 1, 2022

Di atas mimpi pelarianku, ada seberkas penyesalan yang nyata, seperti hujan di awal Januari, yang sesekali datang ditemani kilat sebagai penyangganya-- aku menjadi takut, bukan sekedar menyesal. 

"Apakah benar langkah yang aku jejaki?"

"Apakah akan berujung di hamparan bahagia? atau hanya angan sia-sia?" 

Begitu, suara-suara gemercik kecil yang kerap muncul di ujung malam.

Aku seperti dalam labirin, dibutakan dinding-dinding kokoh yang terlalu tinggi, hingga letih mencari jalan keluar dan akhirnya hanya menahan perih keputusasaan. Andai... ketika itu aku memilih untuk tak memulai langkah. Andai... kala itu aku mengikuti keraguanku-- aku mungkin tak berada di tengah sesat ini.

Bisakah sekali saja, aku pinjam pintu keluar? kerap kali aku ingin punya jalan pintas, agar tak terjebak lika-liku yang tak kunjung berakhir. Mungkin sekali saja, jika pintu terlalu berat, bagaimana kalau jendela saja? Biarkan aku mengintip ada apa di luar sana. Mungkin ada kucing liar yang sedang berguling-guling di aspal? Mungkin setangkai mawar sedang mencoba merekah? Mungkin beringin sedang merindang? 

Aku berada dalam jalan setapak. Ada kerikil-kerikil kecil di bawah kaki-ku, tanahnya bergelombang seperti ombak pasang-surut pantai selatan, terkadang aku melihat lubang-lubang kecil seperti sarang tikus tanah, mungkin? ada juga tunas - tunas rumput liar yang tak sengaja aku injak, setiap sudut liku-nya ada tanaman putri malu, tak banyak-- hanya beberapa. Kalau hujan turun, kaki-ku terasa seperti ditelan hidup-hidup meninggalkan jejak yang cukup untuk menjadi kubangan. Pada dindingnya, banyak tumbuhan rambat, sesekali mungkin aku menemukan kupu-kupu kecil berwarna putih salju, tetapi lebih sering aku temukan koloni nyamuk. Aku harap, tumbuhan rambat ini barangkali bisa berubah menjadi pohon markisa atau semangka, setidaknya, ketika matahari terik buahnya bisa melepas dahaga.

Labirin yang tidak indah, di mana akan berujung?



A Tale

Vanilla Latte [1]

19.18

September 10, 2017


PROLOGUE
I was putting off the earphones to enjoy one vague song played. I remember when you used to annoy me with loud tape in car, when I was tired and just wanted to shut off from everything. Things you used to annoy me, now is part of every yearning I suffer.

Vanilla latte
a classic espresso beverage with vanilla syrup and creamy milk, just over ice.

a glass of vanilla latte is the most lovable on afternoon, one you used to argue, because it's too sweet. And things still taste the same, it's still sweet, thanks god.
 
you seemed to complain on everything i did over one tall cup of my vanilla latte, getting the table dampen and your book was annoyingly had to be clammy. 

and surprisingly i am still into vanilla latte so much.

i love how it taste and awake me on every cloudy days. one cup can keep me from sleeping over night and you'd nag that you need sleep but i kept wanting to talk to you over the phone, sorry.

A Tale

Our Last Intersection

18.00

April 22, 2017

credit to @ana_shalamberidze

I have been too familiar with this intersection to choose another way. I roamed the streets, covered with neon lights. All I had in mind was to walk aimlessly, curing the inflexibility, healing the consternation, cutting the harrowing yearning. Yet, I couldn’t bury all the reverie I keep for you on our last intersection.

Autumn has come to congeal my tears.

These calming cold in the beginning of autumn somehow made my heart a little at ease, the chill that would make my freezing hands comfortable inside a thick coat.  

I heard it’s better to wrap your aching ankle with ice. It blocks your nociceptive nerves. It cut the painful transmitter. And yes, I feel so. My heart slowly turned numb.


Clara settled on the wood bench, sipping on a cup of hot chocolate when sensing a shadow besides her, a man took a seat right beside her. “Isn’t it cold to stay out at this autumn?” a voice traveled to her ear.

She gave an automatic smiled as a familiar voice traveled to her ear signing that she had no longer needed to wait.

“Am I too late?” he broke the silence between them.

Clara shook her head and swept her black strand of hair to the back of her ear while trying to capture the color of his eyes that always radiated warmth, the main feature of his face that often caught her in daze.  

Clara often drowned on her own immensity of mind of how he came to barge into her life. When she thought deeper, he embraced her inflexible socializing ways and suffocated her with his friendly act. 

She was hesitated frequently but he succeeded to open her barriers and walk through the imperceptible girl. 

“Should we go now? But it’s drizzling...” he asked.

“It’s okay, These wouldn’t get us all drenched.” She said and got up to start the walk.

There was nothing too distinct in him. We walked with his cheap jokes that always kept me from bore, the same joy he always bring for companion, except for one…

“Clara.” He uttered my name clearly when I realized he wasn’t beside me but three steps behind.

“Yes?”

“I’ll stop here. I wouldn’t walk you home tomorrow and further.”

“Why?” her eyes wandered to the entire of his build that now seems vacant and cold. 

He turned over, refusing to answer her very question, attempting to walk away.

“No!” 

“Where are you going?”

His reticent steps left her, step by step, slowly, making clear distances. 

The drizzles grew awkwardly heavier bore him to another direction.

The world appeared lost for her and she continued walking through the rain. She gave in the weather as it was going worst as the skies went dark. The agonizing moment had now filled her every head corners.

A chorus of voice rose up. Afraid, confused, worry, flat-footed, these emotions she couldn’t hide. He broke the bricks she built. Her strongest and tall as she thought it was at all far from being broken down by the most impossible situation. 

The breaking of autumn air smelled like trouble leaving a permanent mark somewhere on her heart.


Today is just another day. I am walking with my own passing the intersection. I sent star-spies to ask how you were keeping and they say you are as warm, as alive, as when you walked away in the intersection.

Between the faint drizzle, where we stood under the traffic light just about to cross the road, without hesitation you let me walk alone to another side. Without telling me, so who do you think I am?

A Tale

Dari Dinda (bukan nama asli)

22.54

Kami adalah serdadu laron-laron yang hidup di balik dinding megah yang sayapnya rapuh tapi tak pernah lelah berebutan cahaya. Jika sayapnya lepas, sayap-sayap itu akan bertaburan di mana-mana seperti kertas convetti pada pesta perayaan.

Lompatlah melalui tembok-tembok kokoh yang jika malam pancaran lampunya mencurigakan. Di belakang sini, sebuah kehidupan masih berusaha bertahan dan jika telah kau lihat, sebutkan siapa yang sesungguhnya tak akan mengumpat?
Tak ada. 

Di situlah matahari akan terbenam, di sebelah barat kota Purwokerto.
Di situlah beribu umpat dan maaf ingin aku sampaikan pada dunia. 
 Adakah orang yang berkenan menjenguk mataku? Dinda yang tangannya penuh lecet bekas garukan dan gigitan nyamuk nakal tadi malam. Karena rumahku penuh lubang dan selimutnya hanya ada satu untuk dinda. Tidak apa, gatal ini tidak seberapa, jika kesal aku bisa membunuh penghisap darah itu hingga ia mati gepeng.
Banyak kakak-kakak datang ke sanggar, semua pasukan laron berkumpul. Tapi mereka tidak malu berteriak-teriak, berlarian menabrak kakak-kakak itu, dinda juga tidak mau kalah.

Restu tiba-tiba lewat dan agar penyambutan kakak-kakak lebih menarik, pertunjukan restu jatuh dan kepala gundulnya benjol terbentur lantai pasti akan seru. Aku ulurkan kakiku untuk menyandungnya.
Oops! Gagal. Dia hanya cengengesan.

Kali ini Ais yang berteriak-teriak membut telingaku sangat bising. Aku jambak kerudung merahnya, pasti dia akan lebih keras berteria.

"Aaah!"

Kan benar, dia berteriak dan semua mata tertuju pada kami.

Seorang kakak berkerudung menarikku, tapi aku masih ingin menggoda Ais hingga ia menangis. Aku mengulurkan tanganku lebih kuat tapi malah salah sasaran. Kakak itu yang terlihat sedikit kesal.

"Tuh kan, kakak yang kena." Kakak perempuan itu berbicara, nadanya sedikit meninggi. Ah, salah siapa menghalangiku.

Kakak itu menarikku menjauhi Ais dan membuatku duduk di pangkuannya. Aku masih tetap ingin melanjutkan perkelahiannya, belum ada pemenangnya. 

"Ayo kita menggmbar aja yuk." Kakak itu berkata dan menunjukkan sebuah kertas putih.

Kakak itu kemudian mengambil sebuah pensi dan aku langsung merebutnya. 


Pertama kali aku bertemu Dinda dan dia mendekatiku, aku berpikir Dinda mungkin sedikit terganggu secara psikologis. Dia tidak mendengarkan siapapun. Dinda kecil sangat liar.
Tapi setelah lebih mengenalnya, aku pikir dia hanya ingin kasih sayang dan perhatian yang lebih, dia marah ketika aku mengalihkan perhatian pada anak-anak lain. Di setiap kura-kura yang Dinda gambar, jika pujian aku sampaikan, Dinda akan terlihat bahagia.

Dinda adalah laron kecil yang memikul begitu banyak kasih sayang untuk keluarganya. Suatu saat saya bertanya mengenai ayahnya, dinda terlihat begitu rindu.

Terima kasih Dinda, untuk hari-hari yang penuh kasih...

Dinda suka sekali menggambar kura-kura. Kakak itu protes ketika ku menggambar kura-kura dengan kaki banyak. Biar saja, kasian kalau kakinya hanya empat, dia akan berjalan sangat lambat. Kakinya banyak agar jalannya bisa lebih cepat.

Kakak itu protes lagi, katanya Dinda suruh menggambar yang lainnya. Tapi Dinda hanya suka gambar kura-kura. Kura-kura berkaki banyak yang saling berteman.

Pada hari terakhir kakak-kakak di sanggar, Dinda akhirnya mau ikut kakak-kakak untuk sholat maghrib berjamaah di masjid. Dinda juga meminta kakak itu untuk membantu memotong kuku Dinda yang kotor. 
Setelah sholat maghrib, ketika Dinda sedang serius menggambar, seorang kakak cantik membawa baskom berisi banyak sekali biskuit kelapa. Dinda langsung berdiri dan menghampiri kakak itu dan mengambil banyak biskuit.

"Kakak pegang ini sebentar ya..." Aku berlari lagi untuk mengambil plastik.

Biskuit itu untuk adik Dinda, namanya Nina. Kasian Nina, di rumah tidak ada biskuit kelapa.

"Kakak, dinda pulang dulu ya... Nanti nina keburu tidur..."


Untuk seorang gadis kecil dengan kesan liar, seberkas kasih sayang itu ternyata masih ada dan seolah-olah menutup segala ketangguhannya...

Yang biasanya Dinda, gadis kecil dengan emosi labil dan tidak segan untuk menghajar siapapun yang mengganggunya, untuk membawakan beberapa biskuit untuk adik kecilnya, dia rela berlari pulang berharap Nina belum tidur... 

Biskuit Kelapa penuh Cinta...

Di salah satu percakapanku dengan Dinda, aku tanya tentang Ayahnya...
Ayahnya seorang supir bus mikrolet, yang tidak selalu pulang setiap harinya, yang membuatnya rindu.

"Dinda mau sama bapak, naik bus ke pantai..."

Dinda, satu tahun sudah cepat berlalu...
Dinda pasti sudah semakin tumbuh besar...
Sudah ke pantai belum, sayang?
Semoga bapak sering pulang ya...
Titip salam untuk Ibu dan Nina ya...

A Tale

May 31

08.51

Di ambang senja, bersama awan-awan yang lekan kembali pulang, siapakah lagi yang datang mengetuk-ngetuk jendela kamarku? Hujan.

Apakah seseorang mengubahmu menjadi tetesan-tetesan hujan di luar jendela? Siapa yang membuatmu seperti itu? Siapa yang berani menjadikanmu uap-uap embun? Kau sendiri.
Kau yang memilih meninggalkan jejak pada waktu gerimis dulu. Kau yang rela sendiri untuk menjadi embun-embun dibalik jendela, tidak, kau bahkan sekarang menghilang tanpa bekas.

Sebuah puisi dari Elizabeth Browning yang sangat aku suka, tentang bagaimana aku mencintaimu.

Bagaimana aku mencintaimu? Biarkan aku hitung jalannya...
...
Senyuman, air mata dari segala hidupku! Dan ketika tuhan menentukan pilihannya,
Aku bahkan akan mencintaimu lebih setelah mati.



PERTAMA
Aku sedang mendengarkan perasaan-perasaan indah melalui melodi indah dari tarian jari Yiruma di atas piano, berjudul "Because I Love You".

Karena aku mencintaimu.
Telingaku sudah akrab sekali dengan sepuluh suku kata itu, dua puluh abjad, bermakna hati yang sedang berbunga-bunga atau bahkan hati yang mengapur tersakiti.
Kini rasanya lucu, aku melihat beribu-ribu hati yang meluap-luap hanya untuk mengungkapkan tiga kata yang katanya penuh arti, yang sekarang hanya meninggalkan kesan masa lalu padaku. Sederhana saja, akupun tak bisa menolak untuk tak senyum-senyum sendiri mendengar kata-kata itu yang kemudian membuat wajahmu terbayang jelas di depan mataku.

Senja hadir bersama kelopak rona jingganya, bersama mahkota mega ungu memenuhi ujung-ujung langit barat. Siapa yang bisa menolak hangat seperti ini? Penuh lelah tetapi tak mungkin jika senja ini tak tulus mengantarkan burung-burung bersayap itu pulang ke rumah.

Mengapa senja itu indah?
Karena di dalamnya tersimpan begitu banyak cerita yang menggelembung. Seperti busa-busa sabun, kisah-kisah kecil yang mudah saja hilang tapi selalu menarik untuk tetap hadir.

Aku masih sangat mengingatnya, hari ketika aku merasakannya, perasaan yang luar biasa hingga akupun tak yakin mampu menahannya. Di awal senja, di awal musim hujan, di awal pertemuan lucu itu...

"Kau tidak pulang?" suara itu, aku merasa belum pernah merekamnya. Nada ramahnya itu khas sekali, membawa hangat seketika di tengah hujan yang berusaha keras menakut-nakuti siapapun yang berani menantangnya. Aku juga salah satu yang takut.
Aku menghela napasku perlahan, membalikkan tubuhku hingga bisa melihat kedua matanya yang berkedip, manis sekali.
"Sepertinya hujan tidak akan reda sampai malam nanti, kau akan sampai kapan di situ?" dia membaca gerak mataku yang jelas menanti hujan usai. Tapi sayangnya aku tak terbiasa berbicara dengan seseorang yang tak aku kenal. Bibirku enggan bergerak, walau di dalam hatiku, aku merasa seperti ada banyak katak yang melompat-lompat. Mataku tak mampu lama-lama melihat wajahnya, keadaan yang sangat rumit jika harus aku gambarkan bagaimana berkelebatnya hati dan pikiranku saat itu. Hanya karena sepasang mata itu...

"Kau tak menjawabku?" suaranya kembali menggema disekitarku. Rasanya gemuruh hujan itu jadi membisu seketika gelombang-gelombang longitudinal itu menari menuju gendang telingaku. Hanya ada dua pilihan, menjawabnya dan membiarkan diriku seperti makhluk bisu. Jawab... diam... jawab... diam... jawab atau diam? Ketika aku menjawabnya, dia tidak akan pergi setelah mendengarkan jawabanku, kan? Atau sebaliknya, dia tidak akan begitu saja pergi ketika aku tetap diam, kan?

Aku menghitungnya, setelah tiga kali aku mengedipkan mataku pelan, suaraku melarikan diri menujunya.

"Hujan besar..."

Setelah kata itu selesai kuucapkan, aku tak habis-habisnya menyalahkan diriku. Bagaimana bisa aku menjawab dengan ekspresi wajah seperti itu? Kenapa aku harus menjawab? Kenapa harus kata-kata itu yang keluar, bagaimana tadi suaraku terdengar? Aku pasti sangt ceroboh telah mengatakan kalimat lugu itu.

Dia bergeser, aku pikir mungkin dia ingin pergi saja...
Tapi ternyata dia tertawa dan menempati tempat di sebelahku duduk.

"Aku juga menunggu hujan berhenti..."
Lagi-lagi suaranya membuat jantungku ingin meledak saat itu.

Matanya, seolah berbicara juga mengikuti gerak bibirnya. Bolehkan aku menyentuh bulu matanya? Saat itu tidak terlihat lentik, tapi yang aku lihat, sedikit panjang dan keriting.

Sayang sekali, ketika itu aku tak berani menatapnya. Aku takut. Takut tenggelam dalam dirinya yang menggemaskan. Ya. Ketika itu, dia masih seorang anak laki-laki yang lucu, apa aku boleh mengatakan bahwa tubuhnya gilik? atau gempal? Ah, pokoknya dia terlihat bulat dengan suaranya yang bernada halus.

"Aku kelas 4A, kelas kita bersebelahan kan?"
Suaranya seperti bertanya, tapi sepertinya dia tidak menunggu jawabanku, nadanya mungkin hanya ingin memastikan saja.

Aku memang tidak berniat berkata apapun, tapi awalnya aku juga tidak berniat untuk membuat hatiku kembali beratraksi. Tapi pertanyaannya membuatku sedikit merasa bodoh. Ya tuhan, mengapa aku tidak pernah mengenalnya? atau yang mudah saja-lah, setidaknya seharusnya aku pernah melihatnya kan?

Aku terlalu sibuk menenangkan elektron-elektron yang berlompatan di dalam tubuhku, dia mungkin sibuk menghitung tetesan deras yang lama kelamaan melembut. Tidak ada pembicaraan lain setelah itu, hanya terdengar gemuruh hujan. Aku hanya berani melihat sepatunya yang basah diujungnya, sepatu coklat tanpa tali dengan dua perekat yang berjajar.

Kisah ini sudah aku bawa sepuluh tahun lamanya, entah letaknya di lobus mana otakku, atau mungkin di sebelah mana ruang jantungku, mungkin juga di sela tulang rusuk, entahlah, pertemuan pertama yang sebenarnya terlihat tidak istimewa itu, tanpa percakapan yang panjang, tapi untukku sistem memori dan emosiku mampu menahannya untuk tak pergi.

Awal yang luar biasa...

TERAKHIR

Aku pernah memintanya untuk tetap tinggal dan tidak menjauh. Tapi mimpinya begitu tinggi dan besar hingga aku-pun ragu untuk menggapainya. Aku harap asa membuatnya leluasa untuk tetap jalan mendekat menuju impiannya.

tiga belas tahun.
Ulang tahunku yang ketiga belas, mungkin salah satu kejutan ulang tahun yang tak akan pernah aku lupakan. Tapi ketika itu juga aku harus tahu bahwa hingga kini, saat itulah terakhir kalinya kami saling bertatapan. 

Saat itu hanya do'a untuk teman terbaik yang aku sisipkan dalam ketidakrelaan ketika aku mulai menyadari bahwa ruang pembatas di dunia ini tak hanya dinding kelas yang tiga puluh sentimeter.
Dia harus pergi. Menjemput mimpinya yang tak bisa dia temukan di sini.

"Kenapa menangis?" itu kata-kata yang paling aku ingat, yang ia katakan bersama dengan senyum tipis.
Aku ingin meneriakinya bodoh! Bagaimana bisa dia mengatakan sesuatu yang menyebalkan dengan wajah seperti itu.

Hanya itu yang aku ingat. Akhir dari pertemuan kami, hanya seperti itu...
Tahun 2010.
Ketika dia bukan lagi anak laki-laki kecil, ketika dia mulai berani membimbing jalannya sendiri.
Hingga kini, hilang tak berjejak...

Sejak waktu itu.
Sampai kapan dia akan berhenti menghilang dan menampakkan dirinya lagi?
Satu kali saja.
Pasti aku benar-benar barus sadar, dunia itu begitu lebar hingga sejak saat itu aku tak pernah sekalipun melihat dan mendengar kabarnya...

Aku tak berani berangan, jika aktor dalam kisah ini masih mengingatnya.
Selamat menempuh mimpimu...

A Tale

Cerita Cendana

10.06


Langit hanya sedikit mendung, tak sampai gelap, tak sampai membuat penat. Awan hanya sedikit bergumpal-gumpal tebal, mungkin mereka rindu satu dengan yang lainnya, mungkin mereka hanya ingin memeluk erat yang lainnya, untuk nantinya kembali berjalan sendiri-sendiri sesuai arah angin, sesuai titah tuhannya.

Cendana berayun-ayun di bawah dahan pohon yang semoga saja tak rapuh, bernyanyi dalam hatinya, lagu lembut, dendang yang menggambarkan hatinya.

Kamu tahu? Gadis itu memandang ujung kakinya, yang dulu tak sebesar sekarang, yang dulu hanya seperti gigi-gigi kelinci. Apa yang dia pikirkan? Angin yang terdengar ditelinganya mendengus dengan nada yang berbeda, mungkin karena irama disektirnya juga telah berubah.

Perubahan. Keajaiban yang paling ditunggu oleh manusia adalah perubahan, akan seperti apa? Akan menjadi bagaimana? Yang selalu dinanti, perubahan...

Dalam kata lain, keajaiban yang paling menakutkan adalah perubahan, akan seperti apa? Akan menjadi bagaimana? Yang selalu menyimpan misteri, perubahan...

Ketika daun-daun kuning itu tak sengaja berguguran, tak sengaja pula ranting-ranting itu menjadi tak berpakaian. Kemudian kita ranting-ranting itu rindu tempatnya berpijak, pohon-pohon besar itu akan menjadi sendirian. Perubahan, bersama menjadi sendiri.

"...terkadang aku tak mengenankan jingga menjadi gelap, tak setiap kali aku suka musim panas menjadi beku, tapi aku bukan pemilik semesta ini, aku tak mampu mengurai panjang senja hingga tak terhingga, aku hanya mampu memandangnya dan menikmatinya jika aku suka, karena aku bukan pemilik semesta ini..."

A Tale

Cerita Cendana

19.54

"...Salamku sudah ku tinggal di atas jejak-jejak semak, kini tak perlu lagi risau akan kerinduan atau apapun yang akan membuat sayapku melemah. Aku bukan seekor kupu-kupu, apalagi burung. Tapi aku merasa seperti mereka, sayapku walau semu adanya membuatku selalu ingin menerka apa yang ada dibalik awan-awan putih itu..."


Hujan datang di penghujung senja, membawa koloni gelap dan dinginnya. Seperti inilah ketika musim hujan tiba, para penggemar senja dan penikmat hangatnya matahari akan berdo'a untuk tetap terlelap hingga nanti awan-awan berhenti menangis lagi. Begitu, setiap enam bulan, para penggemar senja dan penikmat hangatnya matahari akan berharap.

Cendana juga penanti senja, seperti anak perempuan lainnya, ia juga takut gelap... 

Di musim hujan seperti ini, hanya wajah awan muram yang tampak di ujung barat langit. Bagaimanapun, ilalang-ilalang dan semak-semak berkumbang juga hanya merunduk menahan dingin di setiap hembusan angin yang lewat. Cerita ini tentang musim hujan bagi perindu senja hangat, musim hujan ini luar biasa...

Senyum semu yang terpancar dari mata sayunya bergabung dalam dingin yang makin membekukan malam. Semoga Cendana tak berubah menjadi bongkahan es balok malamini, kukunya sudah biru-biru. Malam ini bukan malam yang bisa diterima dirinya dengan baik. Gadis itu berusaha menahan nafasnya sedikit-sedikit, sebisa mungkin udara dingin itu tak menyentuh darahnya.

Langit masih menunjukkan misterinya, gelap yang legam tapi tak juga datang hujan. Mungkin sudah beribu helai daun menyerahkan diri pada angin, tak mampu berpegangan lagi pada ranting yang juga terlihat ingin mati saja.  

Ini mengapa Cendana tak pernah suka musim hujan. Dingin!
Bukan hanya itu, tapi terlalu banyak hal-hal menakutkan yang bergelantungan di malam-malam musim dingin.
 




A Tale

Binar Sederhana

21.31

Larasati kembali lagi, ke pemukiman lusuh di antara pohon – pohon bambu yang liar tumbuh menjadi sarang – sarang ular. Kali ini mungkin lebih dari sekedar menyusuri jalan – jalan becek beralas daun – daun kering yang jatuh, tidak seperti waktu sebelum – sebelumnya. Ia ingin meninggalkan kenangan di desa kecil pinggiran kota ini, tak mudah untuk mencapai tempat itu. Mungkin, kata ‘berani’ saja belum tentu bisa membawa kita sampai ke desa itu, tidak akan sampai, hingga kita memiliki keinginan dan ketulusan untuk benar – benar datang.

Sebenarnya, ia tidak begitu saja datang. Beberapa hari ini, sekolahnya memberikan tanggung jawab untuk mengawasi persiapan – persiapan kegiatan sekolah “Pengenalan Lingkungan Masyarakat”.

Tidak sendiri. Ia bersama kawan – kawan lain dengan alasan yang sama, untuk kenangan yang tak mungkin dapat terulang. Di tempat yang mataharinya harus berusaha menyelip di sela – sela dedaunan dan ranting – ranting yang rimbun, di mana setiap pasang mata yang lewat hanya menafsirkan harapan untuk hidup esok.

Hari mulai terik, tapi untung saja rerimbunan pohon – pohon besar di setiap pinggiran jalan mampu menjadi penghalang panas matahari.

“Kenapa harus di tempat seperti ini sih? Apa tidak ada yang lebih baik?” Rani menyela diantara nafas – nafas yang terengah – engah. Mereka berjalan menuntun sepeda motor melewati jalanan menanjak berkerikil. Terlalu berbahaya jika tetap menaiki motor di jalanan menanjak seperti ini, batu – batu kecil yang hidup bisa saja setiap saat menyandung.

Benarkan? Tak mudah untuk mencapai tempat itu. Suatu desa kecil di selatan kota Purwokerto. Desa yang kontur tanahnya seperti gelombang pasang, naik dan turun tidak membentuk irama yang indah. Namun, gemerisik angin terlembut dapat dirasakan di sini, membuat helaan nafas menjadi lebih ringan.

Dari awal memasuki pintu desa, mereka sudah sibuk dengan umpatan – umpatan penuh sesal mengapa mereka harus datang ke tempat seperti ini. Tapi Larasati memilih diam, jika saja mengumpat bisa meringankan jalannya. Tapi sayangnya tidak bisa. Ia menikmati kerikil – kerikil kecil di bawah alas sepatunya. Jalanan ini sudah menjadi hidupnya beberapa hari ini. Perasaan yang tidak pernah berubah, betapa lelahnya juga berjalan dengan irama yang jauh dari ramah. Tidak bisakah mereka hanya diam?

“Capek ya mbak? Saya bantu dorong ya.”

Bisik – bisik kecil berisi cela dan keluh tadi tiba – tiba terhenti dengan suara yang terdengar bergetar. Semuanya serempak menolehkan pandangannya, bertemu pandang dengan wanita paruh baya dengan ranting – ranting kayu yang digendong di punggungnya. Terkesiap melihat raut wajah ramahnya tapi penuh lelah.

“Ah. Terima kasih, bu.” Larasati memecah hening yang sesaat menjadikan mereka canggung.

“Saya yang malah mau bilang terima kasih sanget. Wong mbak – mbaknya yang sudah membantu kok.” Ucapannya bercampur dengan bahasa jawa, terdengar halus dan tulus.

“Rumah saya jadi diperbaiki.” Lanjutnya

“Ah, itu kan dari sekolah.” Kali ini Nisa yang menanggapi.

“Ya tetap saja. Mbaknya kan juga sudah mau ke sini.”

Nada ramahnya tidak pernah beranjak dari setiap ujung – ujung katanya. Padahal, jika dilihat dari perawakannya yang kurus dan kulitnya yang kecoklatan terbakar sinar matahari pasti banyak waktu – waktu sulit yang pernah dilewati. Tapi, tidak sama sekali membuatnya terlihat lemah.

Larasati bergumam dalam hatinya, mengkecam geram mengingat keluh dan cela yang kawan – kawannya bisikkan tadi sepanjang jalan. Dan kini mereka semua terdiam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ingin saja ia berteriak di depan wajah – wajah mereka...

Mengapa sekarang diam? Lihatkan! Betapa bahagianya mereka dengan hanya kita datang ke sini! Bahkan tanpa mengetahui apakah kita benar – benar tulus membantu, mereka sudah sangat berterima kasih.

Garis – garis urat di bawah kulitnya terlihat jelas menonjol di antara kulit yang sudah sedikit kendur akibat keriput. Larasati merinding seketika melihat urat di leher wanita itu tegang. Beban di punggungnya pasti tidak ringan.

“Saya benar – benar sangat berterima kasih.” Suaranya terdengar serak sekarang.

Larasati mengulaskan senyuman diikuti oleh anggukan pelan kepalanya. Ia terlalu sibuk mengamati setiap sudut bangunan yang baru kelihatan tiang – tiang penyangganya. Bangunan persegi, yang mungkin hanya sebesar kelasnya atau bahkan tidak sampai selebar itu menyekat nafasnya.

Hatinya seperti bergetar, mengingat betapa tulusnya wanita paruh baya tadi mengucap rasa terima kasih. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang menjadi begitu bersyukur untuk hal kecil seperti ini? Ya. Untuk Larasati, sepetak rumah itu bukan hal yang besar. Hanya bangunan kecil berdinding triplek.  

“Ini mbak, rumah saya tadinya di situ, tapi karena sedang diperbaiki jadi dipindah di sini.” Wanita itu mengajak Larasati masuk ke dalam rumah beralas tanah dengan dinding anyaman bambu yang banyak berlubang. Bagian bawahnya terbuka, membuka pintu bagi ular atau hewan – hewan lain untuk masuk kapan saja.

“Diangkat bu?” Ia melongo, membayangkan bagaimana caranya bangunan ini bisa dikatakan sebagai rumah. Bisa saja, jika itu rumah – rumah siput yang selalu dibawa kemana-mana. Jadi, ketika suatu saat ada angin kencang, bisa saja keluarga penghuni rumah ini bingung mencari di mana bangunan rumah mereka bermuara terbawa angin. Lucu kalau dibayangkan, tapi sayangnya lebih terkesan memprihatinkan.

“Ya iya. Ini kan diangkat seperti ini saja ya sudah bisa dipindah.” Wanita itu mencabut pasak bambu kecil di tengah ruangan, membuat atapnya bergerak. Ia menyambungnya dengan tawa kecil, entah sebagai tanda prihatin atau memang lucu.

Larasati semakin terkesiap dengan apa yang ia lihat. Rasa syukur itu ternyata begitu sederhana untuk wanita paruh baya berparas ramah ini. Entah, sudah berapa kali ia mengucapkan terima kasih, tapi rasanya tetap terdengar sama tulusnya.

Sambil berjongkok dan mengintip kolong lemari, wanita itu menarik keluar baskom berisi gelas – gelas yang basah. Ia mengelapnya satu – satu, memastikan semuanya benar – benar kering. Obrolan mereka semakin dalam, nampaknya wanita itu butuh teman berbicara. Hanya perlu seseorang untuk mendengarkannya, walau Larasati tidak bisa memberi tanggapan apapun.

Sekilas ia mengingat raut – raut wajah kawan – kawannya, membandingkan dengan garis – garis wajah wanita di hadapannya. Mengapa baginya rasa syukur begitu sulit untuk dijangkau. Mereka hanya harus datang dan mengamati apa yang ada di desa pinggiran itu. Tapi, masih saja ada tempat untuk mencela dan mengeluh. Dibanding dengan wanita paruh baya ini, yang bahkan masih harus khawatir setiap hari rumahnya akan roboh, tapi rasa syukurnya seperti satu – satunya kata yang ia kenal.

Mengapa Tuhan tidak menjadikan mereka seperti itu? Setidaknya, biarkan mereka sekejap lupa apa itu penyesalan dan keluhan. Biarkan mereka merasakan betapa sederhananya sebuah rasa syukur  itu.

Itu merupakan kenangan untuk Larasati. Perasaan yang berbeda, bagaimana seseorang memandangnya penuh binar, walau tanpa tahu apakah ia benar – benar tulus, tapi yang cahaya mata redupnya hanya mengantarkan kejujuran. 

A Tale

Yang Bersama dengan Jingga

22.17

Dunia terkadang sulit untuk membuat tertawa, bahkan tersenyum saja perlu paksaan. Setiap waktu terlihat seperti senja dengan jingga di sela gelap. Tapi ketika kau miliki hati sedalam danau, kau tak akan lagi pernah merasa sesuatu mengusikmu.
Segalanya tampak begitu putih. Tak tahu di mana dan sedang apa, aku di sini sendiri bersama angin semilir yang membuatku sedikit bergoyang. Lalu tiba – tiba seberkas cahaya jingga masuk menyapu sedikit demi sedikit putih di ujung timur. Bersama dengan itu, seseorang terlihat berdiri di sana. Iya. Laki – laki yang tak gendut tapi tak kurus dan tinggi itu nampak di sela jingga yang terus menyapu putih. Wajahnya bercahaya. Dia menatapku dengan senyuman tipis, kemudian…
“Mba Anne sudah sampai sekolah, mba”
Aku kaget. Kurapikan jilbabku yang sedikit acak – acakan karena ketiduran saat berangkat dari rumah ke sekolah. Lalu keluar dari mobil dan menyeret langkahku masuk ke gedung sekolah.
Ah, mimpi itu lagi. Aku kembali teringat dengan mimpi aneh yang akhir – akhir ini mengangguku. Bagaimana tidak, hampir setiap kali tertidur aku terus bertemu dengan peristiwa aneh itu dan hingga sekarang aku masih belum menemukan apa maksudnya. Hamparan putih, dan aku yang merasa tergoyang oleh angin, dan laki – laki yang sulit aku tangkap wajahnya. Sinar di belakangnya sungguh membuat wajahnya kabur dan hanya senyumnya yang terlintas.
“Ahh” aku mendesah. Mencoba membuang segala ingatan tentang itu yang membuat kepalaku pusing.
Aku keluar kelas menyeret tasku. Rasanya lelah sekali hari ini, bayangan tentang mimpi itu seringkali melintas dalam pikiranku. Aku masih tidak mengerti apa maksudnya. “An, aku duluan ya, ayahku sudah menunggu” ucap Hani lalu menepuk bahuku dan pergi menuju ayahnya yang sudah menunggu membawa payung. Langit memang sedikit gerimis.
Ayah? Senangnya Hani, Ayahnya menunggu membawakannya payung. Aku tersenyum tipis, berusaha menghibur diriku yang rindu kehangatan Ayah. “Mba Anne, ibu sudah menunggu di rumah” supirku datang membawa payung. Aku terdiam. “Anne masih ada jam tambahan, biar nanti Anne pulang sendiri aja naik taksi. Soalnya belum tau selesai jam berapa” ucapku.
Supirku meninggalkanku. Sebenarnya aku tidak ada jam tambahan, tapi aku belum ingin pulang.
Aku berjalan keluar pintu gerbang sekolah dengan gerimis yang sedikit mulai membesar. Melihat sekelilingku, teman – temanku yang dijemput oleh ayah mereka. Mereka sungguh beruntung, tak sepertiku.
Ayah mungkin tak pernah merasa rindu denganku. Tapi aku, bukan hanya sekedar rindu. Tak terasa air mataku mengalir bersama derasnya hujan yang sudah lebih dulu membasahi tubuhku. Kalau aku bisa memilih, aku tak akan di sini. Kami memang terlihat sempurna, tapi kebahagiaan tak pernah bisa dibohongi. Aku tak paham apa yang ayah kerjakan jauh di sana, yang aku tahu ayah hanya pulang dua kali dalam setahun. Dan aku rasa lebih baik ayah tak usah pulang.
Sudahlah, akupun sudah terbiasa untuk merasa seperti tak punya ayah.
“Anne, kamu hujan – hujanan? Pulang dengan siapa?” Ibu heran melihatku basah kuyup. Aku menoleh ke arah Ibu, dan ternyata ayah pulang hari ini. Ayah hanya tersenyum melihatku, tapi aku rasa aku tak punya alasan untuk membalas senyumnya. Tanpa ku jawab pertanyaan Ibu, aku langsung menaiki tangga menuju kamarku.
Kalau aku tak salah dengar, nanti malam ayah akan pergi lagi.
Sudah aku pernah bilang, untuk apa ayah pulang? Aku tahu ayah baru datang pagi ini, tadi pagi sebelum aku ketiduran aku melihat mobilnya lewat, dan nanti malam ayah harus pergi lagi.
Aku menuruni tangga. Sebenarnya aku ingin mengambil minum, tapi Ibu mengajakku mengobrol. “Tadi Anne bilang ada jam tambahan? Tapi ternyata Anne pulang, sendiri dan hujan – hujanan. Kenapa tidak ikut pak supir saja?” Ibu bertanya dengan suara selembut – lembutnya. Aku menyenderkan punggungku pada sofa, dan diam. “Anne dengar Ibu bertanya?” ucap Ibu lagi ketika melihatku hanya diam.
“Ibu, Anne tidak suka setiap kali berangkat dan pulang selalu dengan pak supir! Anne ingin sesekali ayah yang melakukan itu. Ayah Hani menunggu dan membawakan payung untuk Hani, tapi Anne? Ayah Anne tak tahu di mana! Hanya pak supir yang datang” jawabku sedikit jengkel.
Ibu mengangguk pelan, “Anne tahu ayah bekerja? Anne tahu ayah yang membangun rumah ini untuk Anne? Baju Anne siapa yang kasih? Lalu setiap hari Anne makan, kalau bukan karena ayah, Anne tidak akan merasa memiliki semua itu” ucap Ibu pelan.
Aku pikir, Ibu tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya aku inginkan. Ibu pikir, selama ini aku bahagia dengan semua yang aku dapatkan. Dan semua orang pikir, aku merasa sangat bahagia dengan semua ini. Iya. Aku memang sudah terbiasa dengan anggapan orang – orang tentang itu. Tetapi hanya aku yang mengerti.
Aku beranjak dari sofa tempat aku duduk. Berjalan ke luar rumah. Tapi, belum sempat aku melangkahkan kakiku ke luar gerbang. Aku menemukan sebuah amplop putih di samping roda mobil ayah. Aku memungut amplop itu dan menimang – nimangnya beberapa saat. Lalu kuputuskan untuk membukanya. Dadaku berdegup kencang ketika menatap barisan huruf yang merangkai isi surat itu.
Embun,
Tak pernah lekat dengan matahari
Ketika ufuk mulai merona
Dan kau hilang
Berlari sekencang mungkin dari mentari
Aku sempat berpikir mungkin kau benci denganku
Betapa tidak
Kau yang selalu menghilang di setiap pandanganku
Mengusik rinduku
Lalu aku datang padamu
Sebentar saja, karena kau segera pergi
Kau tak pernah memberiku kesempatan untuk mengungkapkan isi hatiku
Bahwa, aku selalu merindukanmu
Aku berjalan meniti jejak mayamu
Tapi tak pernah kutemukan dirimu dalam kenyataan
Aku ingin memelukmu
Namun kala waktu itu datang
Kau akan segera berlari
Sungguh, aku tak pernah menyesal telah merindukanmu
Karena untukku memilikimu sudah cukup untukku
Kau tetaplah mawarku
Dulu, saat ini, dan nanti
Yang kau lihat bersama Jingga

Kulipat kembali surat itu dengan hati yang tak jelas. Aku berlari masuk mencarinya, dan kulihat wajahnya. Tak pernah ku tatap selekat ini. Aku memperhatikan wajahnya, ada sesuatu yang menari dalam pikiranku. Wajah itu bercahaya, bukan karena lampu tapi cahaya jingga itu memancar dari wajahnya. Aku tak mampu berkata apapun. Aku berlari dan aku tahu ayah sudah melihatku. Aku berlari, dan aku mengerti ayah mengikutiku. Aku terus berlari beradu bersama air mata yang mengalir deras. Ya Tuhan, masih saja aku mengkecam dengan segala benciku tentang keberadaannya. Padahal aku tahu, tak mungkin ayah tak merindukanku.
Tiba – tiba cahaya yang begitu menyilaukan menabrak mataku. Suara klakson mobil bertubi – tubi aku dengar. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Semuanya menjadi gelap. Tanpa terkomando aku berteriak “Aaaa…”
BRAKK..!!
Aku belum mengerti apa yang terjadi, tapi seketika kesadaranku muncul. Perlahan kucoba untuk membuka mata. Nafasku memburu. Seseorang memelukku, aku masih berdiri dan tak bergerak sedikitpun melihat sebuah truk menabrak laki – laki muda yang kini tergolek di aspal. Aku masih antara sadar dan tidak.
Tapi, ketika aku tahu bahwa ayah yang memelukku, aku langsung berbalik dan memeluknya. Aku tak pernah menyadari betapa kebahagiaan ada di dekatku. Aku tak akan menjadi seperti embun, ayah. Aku akan menjadi mawarmu yang terus tersenyum walau matahari terik membakar.
Dan ayah akan melihatku.
Melihat mawar dan kebahagiaannya.
“Anne, kalau kau punya hati yang dalam, kebahagiaan itu akan mengucur dengan sendirinya. Tidak akan ada benci yang merusaknya. Karena kebahagiaan ada dalam hatimu sendiri, bukan karena ayah yang menunggu dan membawakan payung, tapi karena kau sadar bahwa ayah akan selalu ada”.

A Tale

The Worst Winter Ever

22.12

PROLOGUE

Angin musim dingin sudah mulai terasa, dingin menusuk kulit. Hanya tinggal pepohonan yang sudah telanjang di tengah hamparan permadani putih. Hari ini indah untuk bermalas – malasan, tapi sayang hari ini bukan hari libur. Malangnya nasib..
Aku enggan untuk membuka mata dan mengakhiri mimpi malamku, pagi ini udara sangat tidak bersahabat. Lebih baik meringkuk dibawah selimut sambil bermimpi bertemu pangeran. Hahaha, Andai saja bisa libur kapanpun aku mau, pasti aku akan banyak menghabiskan hidupku untuk berbaring dan bermain. Oh indahnya dunia…

Tapi semua itu hanya ‘andai’…

Ayolah Eliana, hari ini adalah hari terakhir ujian formatif untuk bulan ini. Jangan sampai kau menundanya, bangun adalah hal yang paling tepat untuk saat ini. Sedikit membuka mata, tidak buruk. Melepaskan selimut walau dingin memeluk 'brrr'.

Sedikit mengintip ke luar jendela, oh my god inilah awal winter tahun ini, benar - benar penderitaan anak kelas XI yang tidak mendapatkan libur kecuali sudah menyelesaikan karya ilmiah tahunan untuk musim gugur, what the hell!!

Bahkan aku baru menyelesaikan 7 paragraf dan semestinya adalah 21 paragraf. Tahun yang buruk tapi tetap menyenangkan. Aku seorang Eliana Faloen, anak bungsu dari 2 bersaudara yang sangat menderita di awal musim dingin. Seharusnya aku bisa berlibur dan bersantai sambil menghangatkan badan. 

 PART 1

Tidak ada keramahan Matahari, 'wuidih' membuat seluruh tubuhku tak ingin menghirup udara musim dingin. Really bad, Papa dan Mama meninggalkanku berdua dengan Billy Faloen. Makhluk super jutek sepanjang dunia, yang dari dulu aku kenal sebagai kakakku. Semuanya bertambah parah setelah aku tahu, bahwa dia juga merencanakan sebuah trip bersama sama teman sekolahnya. Bayangkan, aku anak kelas XI harus tinggal sendiri dalam kurungan musim dingin. 

Aku melangkahkan kakiku keluar kamar untuk mendapatkan pengisi perut pada hari pertama winter tahun ini, tapi belum saja aku menutup pintu ''drrrt' telpon genggamku bergetar di atas meja mungil sebelah kanan ranjang tidurku. 'unknown number' halo.. "halo, dear" suara penelpon yang tidak asing. Yep, that's right, pasti Kelvin Zack Mc-lien, Kau ganti nomor lagi? tidakkah kau mengasihani diriku yang hampir setiap hari harus mengganti kontakmu dalam telpon genggamku! sekarang cepat bicarakan apa yang ingin kau bicarakan tanpa basa basi, karena perutku sudah berirama dan aku harus cepat mandi untuk berangkat ke sekolah! aku tak peduli, apakah dia akan mengerti apa yang aku bicarakan dalam satu nafas. 'fyuuh'

"Okay, my princess. Suaramu membuat telingaku sedikit bergetar, aku hanya ingin mengatakan apa yang harus aku katakan setiap pagi kepada sang putri, 'good morning, and love you'" ternyata tuan Mc-lien muda ini bisa meniru gaya bicaraku dalam satu nafas. Itu sangat aneh. Ya, thank you so much my prince 'love you too' aku membalas tanpa sedikitpun basa basi dan langsung menutup pembicaraanku dalam telpon.

Breakfast berdua dengan Billy bukanlah hal buruk, tapi membosankan. Tak apalah, setidaknya dia masih mau menyiapkan sereal dan segelas susu putih di atas meja makan. That's good bro'. Mungkin Mama yang menyuruhnya melakukan itu semua sebelum dia pergi bersama teman sekolahnya.  

"Miss. Faloen, hari ini aku akan berangkat bersama teman sekolahku dan mungkin akan kembali dua minggu lagi. Jadi, belajarlah untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Tidak boleh menghubungiku kecuali keadaan memang sangat darurat, karena semua itu akan mengganggu liburanku. Kau mengerti" Billy memang sangat jutek, nada bicaranyapun sangat datar 'monotone'. Ya, of course  aku sudah sangat dewasa untuk mencoba hidup mandiri. Setidaknya, aku masih bisa menyiapkan semuanya sendiri. Jadi jangan tinggalkan sedikitpun kekhawatiran terhadapku Billy.

 Jalanan sangat sunyi, mungkin semuanya telah sibuk berlibur untuk mencari udara panas. Tidak sepertiku yang harus tetap menetap untuk menyelesaikan tugas musim gugur yang sudah lama aku  tunda.
Tapi, Sarantika Bright high-school sangat berbeda. Ternyata tidak sedikit siswa yang menunda tugas musim gugurnya. Jadi, tak perlulah terlalu mengasihani diri sendiri selama masih ada kawan untuk menemani.

Syukurlah ketiga kawan setiaku (Violent Hurly, Grace Lim, dan Hana Queen) masih tinggal di sini. Jika tidak, aku akan sangat kesepian menyelesaikan tugasku. "Hi, Eli kau terlihat sangat suram pagi ini? apakah semuanya berjalan baik?" Violent menyapaku. Tenanglah Hurly, aku akan selalu baik jika kalian bertiga selalu menemaniku.

Mengapa kalian di sini? bukankah seharusnya kalian berada di tepi lapangan bersama dengan anak - anak klub basket?. "Apakah kau lupa El, musim dingin adalah trip panjang untuk klub basket. Jadi, tak ada jadwal untuk duduk di tepi lapangan sepanjang musim dingin" Hana Queen menjawab sambil membuka lollipopnya. Aku baru ingat, kalau tim basket sudah berangkat untuk menghabiskan musim dingin di tanah Filiphina.
  
PART 2
Aku duduk santai di taman sekolah, 'hhhhrr' sebenarnya dingin tapi tempat ini tempat paling nyaman sepanjang masa di Sarantika Bright. Lama sekali Violent, Grace, dan Hana...

Memang perlu berapa waktu untuk sampai dan kembali ke sini dari cafe di belakang taman. Aku tahu, pasti mereka bertemu dengan seseorang yang membuat mereka terpesona dan akhirnya melupakanku di sini. Oh, malangnya nassibku.. Eliana, mengapa kau harus mempunyai teman sepolos mereka?? (polos?? mereka aku bilang polos?? OH NO!!)

Jika 10 menit mereka tidak juga datang, awas saja! belum jera mereka membuat perkara denganku. Lihat saja nanti!! 

Delapan menit... delapan menit lewat 30 detik.. kemana saja mereka? Huh, tidak perlu sepuluh menit... temperku sudah naik..

Huuh, aku harus cepat mencari mereka. Sebelum aku mati beku di taman ini. Hhh, 'aaaaa' seseorang menyentuh bahuku, dan membuatku kaget. 'sset' Aku langsung menoleh, huh ternyata Ariyon Stuart..

Kau berhasil membuatku berteriak dan kaget kali ini, "Ya, padahal aku tidak berniat untuk membuatmu kaget. Sedang apa kau di sini? kok menyendiri?" kata Ariyon sambil tersenyum. 

Sebenarnya, aku sedang menunggu Violent, Grace, dan Hana. Tapi sepertinya mereka tidak akan datang. "Lalu, kau sendiri? sedang apa kau di sini? bukankah seharusnya kau meladeni permaisurimu Ms. Gicella Willy? di mana dia?, tanyaku ingin tahu sambil tersenyum. "Sudahlah, tidak usah membicarakan dia!" tanggap Ariyon sedikit terlihat muram.

Apakah kau sedang ada masalah dengannya? apa yang terjadi antara kau dan dia? ceritalah jika kau mau?, "Ya, seperti yang kau sangka. Kau tahu Gicella adalah orang yang super protective terhadapku, dan akhir - akhir ini sikapnya itu mulai tidak jelas. Ya jelas jika aku merasa tidak nyaman dengan sikapnya" jelas Ariyon panjang..

Lalu? kau menjauhi Gicella?, aku penasaran. "Tidak, aku tidak menjauhinya. Tapi Gicella yang menjauhiku, dengan alasan yang aneh" jelas Ariyon lagi. Alasan apa?, "Gicella menuduhku menduakannya, hanya karena melihat sms dalam telpon genggamku dari Sunny James" jawab Ariyon menunduk..

Hahaha, sungguh malang nasib temanku ini. Aku tertawa geli mendengar cerita Ariyon yang begitu konyol. Hahaha, sungguh kasihan Ariyon harus menghadapi Gicella Willy, cewek modern yang menurutku selalu menyiksa siapapun yang ada didekatnya dengan sikapnya yang begitu 'bossy'.

"Seaindainya, Gicella bisa sepertimu. Pasti sangat menyenangkan" Ariyon membuatku kaget sampai membuatku berhenti tertawa. Aku merasa melambung tinggi, *oh my god, bintang sekolah seperti Ariyon Stuart berkata seperti itu kepadaku...

Sudahlah, lupakan masalah itu sebelum kau menjadi stress...

"El, maukah kau menemaniku makan di Kafe?" tanya Ariyon ketika aku terdiam. Aku tidak menjawabnya, "Ayolah, Eliana... kau tidak pernah menerima jika aku ajak untuk menemaniku, hanya untuk kali ini saja" Ariyon memaksaku, tak apalah, hanya untuk kali ini saja. Akhirnya, aku menerima ajakan...

Ketika aku dan Ariyon berhenti di depan perpustakaan, aku melihat Gicella lewat. Aku tersenyum padanya dari jauh, tapi dia enggan untuk membalasnya. Apakah dia marah padaku karena melihatku dengan Ariyon, kataku dalam hati.

"Hei, lihatlah.. malam minggu nanti ada Prom Night untuk kelas XII" Ariyon membuatku sedikit kaget. Lupakanlah itu Ariyon, kau tidak mungkin datang karena Gicella juga tidak mungkin datang. Sekarang lihatlah, Gicella di sebelah sana (aku menunjuk ke arah Gicella), dia melihat kita. Lebih baik aku pergi daripada membuat masalah lagi. Aku melangkahkan kaki kananku. 

"Eliana, biarkan dia! apakah kau tega meninggalkanku, kemudian Gicella akan menghampiriku dan memarahiku di depan umum" Ariyon memegang tanganku dan mencegahku pergi... 

Ariyon, bukankah Gicella akan lebih naik pitam jika melihatmu dan aku? dia akan berpikiran lebih buruk terhadapmu, aku sedikit meninggikan bicaraku. "Eliana... tidak usah hiraukan dia" Ariyon langsung menarikku pergi menjauhi Gicella. Aku tidak berhenti mengoceh sepanjang Ariyon menggandengku. Seharusnya dia tidak berlaku seperti tadi kepada Gicella. Bagaimana Gicella tidak berpikiran negatif pada Ariyon jika perlakuan Ariyon saja seperti itu. Aku tidak mengerti pikiran seperti apa yang ada di otak cowok bintang sekolah seperti Ariyon. Benar - benar aneh..

"Eliana... sudahlah! tidak ada manfaatnya kau membela Gicella di depanku!" kata Ariyon ketika sampai di Kafe. Okay, I see... kau masih belum bisa menerima sikap Gicella. Ya sudahlah lupakan semuanya. Aku tersenyum...

"Apa yang ingin kau pesan, biar aku yang mentraktrir", Pesankan aku satu cup coklat panas. "Hanya itu?", aku menjawabnya dengan anggukan pelan.

Aku sedang enak - enaknya mengobrol dengan Ariyon sambil meneguk coklat panasku, tiba - tiba Kelvin datang bersama kedua temannya (Dyon, Freza) dan anak anak cheers (oh my god, Kelvin bisa dekat sekali dengan anak anak cheers yang super genit). Pantaslah kalau begitu, secara tidak seorangpun tahu kalau Kelvin dan aku berpacaran kecuali ketiga temanku. Tak apalah, lagian Kelvin masih mempunyai hak untuk dekat dengan siapapun. Kelvin melihatku dan tersenyum, walaupun aku sedikit tidak terima dengan perlakuan anak anak cheers itu yang begitu dekat dengan Kelvin.

Sekarang aku merasa menjadi orang yang paling malang di dalam musim dingin. Setelah keluargaku pergi untuk berlibur, kemudian aku harus siap siap dimusuhi oleh Gicella, dan yang paling parah aku harus melihat Kelvin dekat sekali dengan anak cheers.

OH seandainya aku bisa membagi kemalangan nasibku ini...

"Hei, mengapa kau melamun begitu?" tanya Ariyon menyadarkanku yang sedang melamun. Oh, sorry... tidak ada apa - apa, aku hanya bosan di sini. Bagaimana kalau kita pindah ke tempat lain, aku mengajak Ariyon pergi dari kafe.

Lebih baik aku segera pergi, dari pada melihat Kelvin bersama orang orang tidak penting lalu membuat temperku naik. "Hei, Eliana.. Mengapa kau diam?", aku tersadar dari lamunanku yang kedua hari ini dan melihat ke arah depan, 'adduhh' Gicella, mengapa aku harus bertemu dia lagi? pemandangan yang membuat jantungku bergetar. Lebih baik kau temui Gicella, dan selesaikan masalahmu dengannya sebelum semuanya menjadi tambah runyam.

"Seharusnya dia yang datang padaku lebih dulu, karena dia yang salah! bukan aku" Ariyon tetap keras kepala.. aku hanya bisa menghela nafas mendengar Ariyon berkata seperti itu, ya mau bagaimana lagi? dasar keras kepala!! 
 LAST PART
Malam minggu datang, sebenarnya waktu yang indah untuk hang out bersama Violent, Grace, dan Hana. Tapi mereka memutuskan untuk datang ke acara Prom Night kelas XII sedangkan aku enggan untuk datang. Tak apalah mungkin lebih baik aku di rumah, dari pada datang dan melihat Kelvin bersama teman teman perempuannya. Lagian Kelvin tidak mungkin mengajakku...

'drrrt' Telpon genggamku bergetar, 'Ariyon Stuart'..
"Halo, benarkah ini Eliana Faloen", ya ada perlu apa Ariyon? aku langsung bertanya. "Apakah malam ini kau ada acara" Ariyon balas bertanya. Aku tidak ada acara malam ini, memangnya ada apa?, aku penasaran pada Ariyon. "Aku mendapatkan undangan Prom Night kelas XII, dan aku ingin mengajakmu untuk datang bersamaku. Kau harus mau, dan setengah jam lagi aku akan datang untuk menjemputmu" Ariyon langsung menutup telponnya sebelum aku menjawab satu katapun.
Ketika Ariyon datang..

Bagaimana dengan Gicella? Mengapa kau tidak mengajaknya? tanyaku sebelum Ariyon membawaku ke tempat Prom Night. "Tenanglah, aku sudah menyelesaikan semuanya dengan Gicella. Aku sudah memutuskan hubunganku dengan Gicella. Jadi, kau tidak perlu khawatir" Ariyon menjelaskan semuanya dan langsung menarikku masuk ke dalam mobilnya.

Aku diam selama berada di dalam mobil, aku tidak tahu apa yang harus aku bicarakan dengan Ariyon. Ariyon, bisakah kau sedikit lebih pelan memawa mobilmu?, aku menegur Ariyon. "Eliana, sudah tidak ada waktu lagi, kita sudah terlambat 10 menit" jawab Ariyon masih terus fokus pada jalan di depannya. 

Ketika aku sampai, semuanya sudah siap. Untung belum mulai, Ramai sekali! aku mencari Kelvin, dan seperti yang sudah aku sangka dia bersama Zella, model kelas XII yang sudah lama mengejar - ngejar Kelvin. Aku hanya bisa melihatnya dekat dengannya dan menahan kecemburuan yang ada.

Tiga puluh menit sudah acara berlangsung, semuanya sudah sibuk dengan pasangannya masing masing. Termasuk Kelvin dengan Zella, huh seandainya aku bisa melarang Zella untuk mendekati Kelvin, pasti hatiku tidak akan kepanasan seperti ini.

Tiba - tiba ketika aku sedang sibuk memikirkan lamunanku, seseorang menarikku. Ariyon Stuart, selalu saja membuat kaget. Hei kau mau membawaku ke mana? Bisakah kau berlaku lebih lembut kepadaku? setidaknya kau tidak membuatku kaget, kataku ketika Ariyon menarikku dan sedikit membuat tanganku sakit.

“Sudahlah, kau ini selalu protes!” jawab Ariyon tanpa menghiraukan aku yang kesakitan akibat genggaman tangannya yang keras. Aneh, mengapa Ariyon membawaku keluar? Tidakkah dia berpikir, malam ini sangat dingin. Desisan anginpun tidak henti hentinya terdengar di dalam telingaku.

Mengapa kau membawaku ke tempat ini? tidakkah kau sedikit berpikir? malam ini sangat dingin!, aku sedikit kesal pada Ariyon yang dari tadi selalu tidak mendengar apa yang aku katakan.

“Kau tunggu sebentar di sini. Aku ingin mengambil minum”. Ketika Ariyon mengambil minum sebuah sms masuk, ‘Gicella Willy’ oh my god semoga ini bukan masalah. ‘Eliana Faloen yang terhormat, sekarang juga aku menunggumu di depan toilet wanita’. Pasti tentang Ariyon! huh membuatku repot saja!. Aku melangkahkan kakiku, “Eliana, kau mau ke mana?” Ariyon datang membawa dua gelas soft drink, dan memberikannya satu padaku. Em, emm, tidak ke mana – mana, aku menjawabnya dengan sedikit bingung. Kalau Ariyon tahu tentang sms Gicella tadi pasti semua akan bertambah parah.

“Eliana…” Ariyon memanggil namaku, padahal sudah jelas – jelas aku ada di depannya. Iya, Ariyon.. mengapa kau memanggilku seperti itu?, tanyaku sedikit tersenyum. Lalu dia menggenggam tanganku sampai – sampai membuatku sedikit kesakitan.

“Eliana, apakah kau tau? selama ini, sebenarnya aku mencintaimu?” Ariyon terlihat sangat serius, raut wajahnya terlihat seperti Mr. George, guru matematikaku yang sungguh selalu terlihat serius. Mendengar perkataannya, aku terbelalak kaget, ‘deg-deg-deg’ bagaimana aku harus menjawabnya. Selama ini aku hanya menganggapnya sahabat, tidak pernah lebih. Oh my god? bagaimana ini?

Ketika aku memandang lurus ingin mengatakan sesuatu, tiba – tiba Kelvin datang dan melihatku dan Ariyon. Oh my god, masalah apa lagi ini? aku memandang ke arah Ariyon dan mengatakan, sorry Ariyon…

Tapi belum ku selesai mengatakan itu semua, Kelvin pergi meninggalkanku. Aku mencoba mengejar Kelvin, tapi sebuah suara menghentikanku. “Hei, Eliana Faloen! mengapa kau lari dariku?” oh my god Gicella Willy menambah semuanya menjadi runyam. Aku tidak menghiraukannya, tapi dia menarik tanganku. ‘aaauw’ sakit. “Hei, Eliana! kau pikir, kau bisa lari dariku setelah merebut Ariyon Stuart dariku!” Gicella mendorong bahuku. Aku tidak mengerti, apa yang sedang kau bicarakan Nyonya Willy yang terhormat, aku membalasnya dengan sedikit keras. Ariyon melihat pertengkaranku dengan Gicella, aku mencoba pergi tapi Gicella tidak mau melepaskan genggaman tangannya. Gicella, biarkan aku pergi!, aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi tidak bisa.

“No! I will not let you go! kita harus menyelesaikan masalah ini sekarang juga!”, Gicella mengencangkan genggaman tangannya. “Gicella! apa yang kau lakukan pada Eliana? lepaskan dia” Ariyon berkata sangat keras dan lagi membuatku kaget. Gicella melepaskan genggaman tangannya dan aku langsung mengejar Kelvin yang belum cukup jauh meninggalkanku.

Kelvin… aku berteriak sekuat tenagaku. Kelvin menoleh tapi tidak berhenti berjalan, malah semakin cepat. Kelvin, jangan pergi dulu!!! aku mengejarnya dan memeluknya dari belakang. “Eliana, baru saja aku ingin membicarakan hubungan kita kepada yang lain. Tapi, mungkin aku terlambat, karena kau sudah lupa! sekarang aku bebaskan kau, menjalin berhubungan dengan Ariyon”  Kelvin berhenti sejenak. Tidak Kelvin, semua tidak seperti yang kau bayangkan! aku dan Ariyon tidak ada hubungan apapun. Kau hanya salah paham!, aku membalasnya dengan nada yang lebih rendah, mencoba bersabar untuk tidak terbawa emosi Kelvin. “Semua yang aku lihat, sudah jelas! Kau begitu dekat dengan Ariyon, sampai – sampai kau datang ke acara prom night ini bersamanya! apa semua itu kurang jelas?” Kelvin mulai emosi, perkataannya sangat tajam terdengar di telingaku dan membuatku menangis.

Kelvin, apakah kau tidak sadar bahwa selama ini kau membuat hatiku selalu hancur? ketika aku melihatmu dengan semua anak – anak cheers dan malam ini pula kau berpasangan dengan Zella, apakah kau sadar ketika aku melihat semua itu membuatku hancur! pernahkah kau memikirkan perasaanku? aku mencoba menutupi semuanya, sehingga kau tidak pernah tau tentang semua itu.

Aku tidak mengerti, apa yang ada dalam pikiran Kelvin. Dia begitu menyakitkanku, kalau aku sanggup untuk memukulnya pasti aku sudah melakukannya dari tadi!

Kelvin tetap tidak mau mendengarkan perkataanku, dia begitu saja pergi meninggalkanku sendiri. Aku sangat kecewa dengan sikapnya, begitu kecewa dengannya!

Sedikit aku menghela nafas dan menghapus air mataku, Gicella kembali datang bersama Ariyon di belakangnya yang mencoba mencegah Gicella menemuiku. Tapi, Ariyon terlambat… Gicella lebih dulu menampar pipi kiriku. “GICELLA!” Ariyon membalas menampar pipi Gicella. Aku tahu, Gicella pasti sangat marah melihat Ariyon membelaku.

Setelah Gicella pergi, Ariyon memelukku erat sekali, aku tidak bisa melepaskannya…

“Eliana, maafkan aku… semuanya karena aku, sampai Gicella dan Kelvin marah padamu” Aku tidak tahu harus menjawab apa, sehingga aku hanya diam.

 EPILOGUE

Aku mencoba menelpon Kelvin, tapi nomornya tidak aktif. Mungkin dia masih marah padaku, tapi aku belum mengerti apa salahku pada Kelvin sehingga dia begitu menghindariku. Mengapa semuanya menjadi seperti ini? seharusnya aku yang marah pada Kelvin, karena dia begitu tega membiarkanku melihatnya berdekatan dengan anak – anak cheers, dan yang paling membuatku tambah tidak mengerti, dia tidak meminta maaf padaku setelah mengajak Zella menjadi pasangannya di malam Prom Night. Benar – benar membuatku sangat kecewa.

Musim dingin masih sangat panjang, Artinya masih panjang juga aku harus kesepian di rumah. Aku sudah mengumpulkan tugas musim gugur kemarin. Tapi, rasanya aku tidak ingin berlibur mencari kehangatan.

Aku ingin menyendiri, Aku tidak ingin bertemu siapapun, Walau Ariyon terus mencoba menghubungiku, aku tidak akan menemuinya. Walaupun Violent, Grace, dan Hana terus membujukku menemui Ariyon. Apapun yang terjadi, aku belum siap untuk membicarakan masalah kemarin.

Minggu  kedua Musim dingin, aku bertemu Kelvin di depan toko manisan langgananku, dia memelukku hangat, dan seketika itu seolah aku menjadi bisu dan tidak bisa berkata apapun. “Sorry dear, aku memang salah selama ini, aku ingin pamit karena besok aku akan berangkat ke London untuk melanjutkan sekolahku, tapi tenanglah, aku akan kembali setiap empat tahun sekali” Kelvin menjelaskan semuanya. Aku berpikir dalam hati, begitu teganya dia menemuiku hanya untuk pamit dan dia menyuruhku untuk tenang sementara aku akan kehilangan dia selama empat tahun. Sungguh ironis nasibku.

Pergilah kau jika itu maumu. Aku tidak akan mengharapkan kau kembali, karena aku tahu kau tidak sesetia seperti yang aku pikirkan. Aku tahu kau tidak mungkin sanggup berhubungan jarak jauh.

Pergilah jika memang itu kehendakmu, tapi jangan pernah kembali padaku jika kau sudah mendapatkan wanita selain diriku. Aku tidak akan berharap banyak kepada mu. Percuma saja, karena harapanku mungkin akan berujung pada NOL BESAR.

Pergi dan jangan kembali padaku, jika kau sudah mencintai wanita lain. Memang winter ini adalah ‘WORST WINTER EVER'