Cerita Cendana
19.54"...Salamku sudah ku tinggal di atas jejak-jejak semak, kini tak perlu lagi risau akan kerinduan atau apapun yang akan membuat sayapku melemah. Aku bukan seekor kupu-kupu, apalagi burung. Tapi aku merasa seperti mereka, sayapku walau semu adanya membuatku selalu ingin menerka apa yang ada dibalik awan-awan putih itu..."
Hujan datang di penghujung senja, membawa koloni gelap dan dinginnya. Seperti inilah ketika musim hujan tiba, para penggemar senja dan penikmat hangatnya matahari akan berdo'a untuk tetap terlelap hingga nanti awan-awan berhenti menangis lagi. Begitu, setiap enam bulan, para penggemar senja dan penikmat hangatnya matahari akan berharap.
Cendana juga penanti senja, seperti anak perempuan lainnya, ia juga takut gelap...
Di musim hujan seperti ini, hanya wajah awan muram yang tampak di ujung barat langit. Bagaimanapun, ilalang-ilalang dan semak-semak berkumbang juga hanya merunduk menahan dingin di setiap hembusan angin yang lewat. Cerita ini tentang musim hujan bagi perindu senja hangat, musim hujan ini luar biasa...
Senyum semu yang terpancar dari mata sayunya bergabung dalam dingin yang makin membekukan malam. Semoga Cendana tak berubah menjadi bongkahan es balok malamini, kukunya sudah biru-biru. Malam ini bukan malam yang bisa diterima dirinya dengan baik. Gadis itu berusaha menahan nafasnya sedikit-sedikit, sebisa mungkin udara dingin itu tak menyentuh darahnya.
Langit masih menunjukkan misterinya, gelap yang legam tapi tak juga datang hujan. Mungkin sudah beribu helai daun menyerahkan diri pada angin, tak mampu berpegangan lagi pada ranting yang juga terlihat ingin mati saja.
Ini mengapa Cendana tak pernah suka musim hujan. Dingin!
Bukan hanya itu, tapi terlalu banyak hal-hal menakutkan yang bergelantungan di malam-malam musim dingin.
0 komentar