dalam rindu yang tak pernah pulang
22.31June 19, 2025
Sudah lama aku berhasil pura-pura berdamai— seolah lupa, seolah sembuh, padahal aku simpan rindu yang amat sangat. Bahkan sekarang— rindunya menetap dan diam-diam tumbuh— menyesap pelan dan berdetak dengan lirih.
Aku masih berharap aku punya pelukmu, menggenggamku erat— menjadi jangkar di sisa-sisa hariku yang kian berat dan penuh keluh, dalam senja yang kian pucat, dalam waktu aku sering bingung harus berlabuh di mana.
Akhir-akhir ini, aku seperti hampir remuk—- atau malah sudah— perlahan repas, retak.
Bagaimana rupaku dari atas sana? Sudahkah aku tampak lebur, seperti abu yang segan terbawa pergi?
Aku bahkan rasanya tak kuasa untuk terisak.
Ternyata sulit, tidak semakin mudah, bahwa kehilanganmu tetap akan sulit. Aku masih saja terjatuh, dalam kenang yang tak tahu diri pulang.
Malam ini, langit redup. Maukah kau datang, semai sedikit asa di pelataran dadaku yang lengang. Panggil namaku—- dengan lembut, dengan irama indah yang ku suka seperti biasanya, seperti doa yang diam-diam kau pernah panjatkan. Ucap sedikit pujian— bahwa aku hebat walaupun hidup tanpamu berat.
Sebelum sunup datang, kalau peluk terasa berlebihan, temui saja aku dari kejauhan, biar aku bisa memandangmu walau jauh, biar aku tak semakin jatuh— semakin dalam.
Andai semesta berbelas kasih, aku titip rinduku sehelai saja, agar terbawa sayap angin— agar Tuhan sampaikan pesanku padamu…
“Aku masih terhempas dalam dinginnya rindu, masih sama seperti bertahun-tahun lalu.”
0 komentar