Yang Bersama dengan Jingga

22.17

Dunia terkadang sulit untuk membuat tertawa, bahkan tersenyum saja perlu paksaan. Setiap waktu terlihat seperti senja dengan jingga di sela gelap. Tapi ketika kau miliki hati sedalam danau, kau tak akan lagi pernah merasa sesuatu mengusikmu.
Segalanya tampak begitu putih. Tak tahu di mana dan sedang apa, aku di sini sendiri bersama angin semilir yang membuatku sedikit bergoyang. Lalu tiba – tiba seberkas cahaya jingga masuk menyapu sedikit demi sedikit putih di ujung timur. Bersama dengan itu, seseorang terlihat berdiri di sana. Iya. Laki – laki yang tak gendut tapi tak kurus dan tinggi itu nampak di sela jingga yang terus menyapu putih. Wajahnya bercahaya. Dia menatapku dengan senyuman tipis, kemudian…
“Mba Anne sudah sampai sekolah, mba”
Aku kaget. Kurapikan jilbabku yang sedikit acak – acakan karena ketiduran saat berangkat dari rumah ke sekolah. Lalu keluar dari mobil dan menyeret langkahku masuk ke gedung sekolah.
Ah, mimpi itu lagi. Aku kembali teringat dengan mimpi aneh yang akhir – akhir ini mengangguku. Bagaimana tidak, hampir setiap kali tertidur aku terus bertemu dengan peristiwa aneh itu dan hingga sekarang aku masih belum menemukan apa maksudnya. Hamparan putih, dan aku yang merasa tergoyang oleh angin, dan laki – laki yang sulit aku tangkap wajahnya. Sinar di belakangnya sungguh membuat wajahnya kabur dan hanya senyumnya yang terlintas.
“Ahh” aku mendesah. Mencoba membuang segala ingatan tentang itu yang membuat kepalaku pusing.
Aku keluar kelas menyeret tasku. Rasanya lelah sekali hari ini, bayangan tentang mimpi itu seringkali melintas dalam pikiranku. Aku masih tidak mengerti apa maksudnya. “An, aku duluan ya, ayahku sudah menunggu” ucap Hani lalu menepuk bahuku dan pergi menuju ayahnya yang sudah menunggu membawa payung. Langit memang sedikit gerimis.
Ayah? Senangnya Hani, Ayahnya menunggu membawakannya payung. Aku tersenyum tipis, berusaha menghibur diriku yang rindu kehangatan Ayah. “Mba Anne, ibu sudah menunggu di rumah” supirku datang membawa payung. Aku terdiam. “Anne masih ada jam tambahan, biar nanti Anne pulang sendiri aja naik taksi. Soalnya belum tau selesai jam berapa” ucapku.
Supirku meninggalkanku. Sebenarnya aku tidak ada jam tambahan, tapi aku belum ingin pulang.
Aku berjalan keluar pintu gerbang sekolah dengan gerimis yang sedikit mulai membesar. Melihat sekelilingku, teman – temanku yang dijemput oleh ayah mereka. Mereka sungguh beruntung, tak sepertiku.
Ayah mungkin tak pernah merasa rindu denganku. Tapi aku, bukan hanya sekedar rindu. Tak terasa air mataku mengalir bersama derasnya hujan yang sudah lebih dulu membasahi tubuhku. Kalau aku bisa memilih, aku tak akan di sini. Kami memang terlihat sempurna, tapi kebahagiaan tak pernah bisa dibohongi. Aku tak paham apa yang ayah kerjakan jauh di sana, yang aku tahu ayah hanya pulang dua kali dalam setahun. Dan aku rasa lebih baik ayah tak usah pulang.
Sudahlah, akupun sudah terbiasa untuk merasa seperti tak punya ayah.
“Anne, kamu hujan – hujanan? Pulang dengan siapa?” Ibu heran melihatku basah kuyup. Aku menoleh ke arah Ibu, dan ternyata ayah pulang hari ini. Ayah hanya tersenyum melihatku, tapi aku rasa aku tak punya alasan untuk membalas senyumnya. Tanpa ku jawab pertanyaan Ibu, aku langsung menaiki tangga menuju kamarku.
Kalau aku tak salah dengar, nanti malam ayah akan pergi lagi.
Sudah aku pernah bilang, untuk apa ayah pulang? Aku tahu ayah baru datang pagi ini, tadi pagi sebelum aku ketiduran aku melihat mobilnya lewat, dan nanti malam ayah harus pergi lagi.
Aku menuruni tangga. Sebenarnya aku ingin mengambil minum, tapi Ibu mengajakku mengobrol. “Tadi Anne bilang ada jam tambahan? Tapi ternyata Anne pulang, sendiri dan hujan – hujanan. Kenapa tidak ikut pak supir saja?” Ibu bertanya dengan suara selembut – lembutnya. Aku menyenderkan punggungku pada sofa, dan diam. “Anne dengar Ibu bertanya?” ucap Ibu lagi ketika melihatku hanya diam.
“Ibu, Anne tidak suka setiap kali berangkat dan pulang selalu dengan pak supir! Anne ingin sesekali ayah yang melakukan itu. Ayah Hani menunggu dan membawakan payung untuk Hani, tapi Anne? Ayah Anne tak tahu di mana! Hanya pak supir yang datang” jawabku sedikit jengkel.
Ibu mengangguk pelan, “Anne tahu ayah bekerja? Anne tahu ayah yang membangun rumah ini untuk Anne? Baju Anne siapa yang kasih? Lalu setiap hari Anne makan, kalau bukan karena ayah, Anne tidak akan merasa memiliki semua itu” ucap Ibu pelan.
Aku pikir, Ibu tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya aku inginkan. Ibu pikir, selama ini aku bahagia dengan semua yang aku dapatkan. Dan semua orang pikir, aku merasa sangat bahagia dengan semua ini. Iya. Aku memang sudah terbiasa dengan anggapan orang – orang tentang itu. Tetapi hanya aku yang mengerti.
Aku beranjak dari sofa tempat aku duduk. Berjalan ke luar rumah. Tapi, belum sempat aku melangkahkan kakiku ke luar gerbang. Aku menemukan sebuah amplop putih di samping roda mobil ayah. Aku memungut amplop itu dan menimang – nimangnya beberapa saat. Lalu kuputuskan untuk membukanya. Dadaku berdegup kencang ketika menatap barisan huruf yang merangkai isi surat itu.
Embun,
Tak pernah lekat dengan matahari
Ketika ufuk mulai merona
Dan kau hilang
Berlari sekencang mungkin dari mentari
Aku sempat berpikir mungkin kau benci denganku
Betapa tidak
Kau yang selalu menghilang di setiap pandanganku
Mengusik rinduku
Lalu aku datang padamu
Sebentar saja, karena kau segera pergi
Kau tak pernah memberiku kesempatan untuk mengungkapkan isi hatiku
Bahwa, aku selalu merindukanmu
Aku berjalan meniti jejak mayamu
Tapi tak pernah kutemukan dirimu dalam kenyataan
Aku ingin memelukmu
Namun kala waktu itu datang
Kau akan segera berlari
Sungguh, aku tak pernah menyesal telah merindukanmu
Karena untukku memilikimu sudah cukup untukku
Kau tetaplah mawarku
Dulu, saat ini, dan nanti
Yang kau lihat bersama Jingga

Kulipat kembali surat itu dengan hati yang tak jelas. Aku berlari masuk mencarinya, dan kulihat wajahnya. Tak pernah ku tatap selekat ini. Aku memperhatikan wajahnya, ada sesuatu yang menari dalam pikiranku. Wajah itu bercahaya, bukan karena lampu tapi cahaya jingga itu memancar dari wajahnya. Aku tak mampu berkata apapun. Aku berlari dan aku tahu ayah sudah melihatku. Aku berlari, dan aku mengerti ayah mengikutiku. Aku terus berlari beradu bersama air mata yang mengalir deras. Ya Tuhan, masih saja aku mengkecam dengan segala benciku tentang keberadaannya. Padahal aku tahu, tak mungkin ayah tak merindukanku.
Tiba – tiba cahaya yang begitu menyilaukan menabrak mataku. Suara klakson mobil bertubi – tubi aku dengar. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Semuanya menjadi gelap. Tanpa terkomando aku berteriak “Aaaa…”
BRAKK..!!
Aku belum mengerti apa yang terjadi, tapi seketika kesadaranku muncul. Perlahan kucoba untuk membuka mata. Nafasku memburu. Seseorang memelukku, aku masih berdiri dan tak bergerak sedikitpun melihat sebuah truk menabrak laki – laki muda yang kini tergolek di aspal. Aku masih antara sadar dan tidak.
Tapi, ketika aku tahu bahwa ayah yang memelukku, aku langsung berbalik dan memeluknya. Aku tak pernah menyadari betapa kebahagiaan ada di dekatku. Aku tak akan menjadi seperti embun, ayah. Aku akan menjadi mawarmu yang terus tersenyum walau matahari terik membakar.
Dan ayah akan melihatku.
Melihat mawar dan kebahagiaannya.
“Anne, kalau kau punya hati yang dalam, kebahagiaan itu akan mengucur dengan sendirinya. Tidak akan ada benci yang merusaknya. Karena kebahagiaan ada dalam hatimu sendiri, bukan karena ayah yang menunggu dan membawakan payung, tapi karena kau sadar bahwa ayah akan selalu ada”.

You Might Also Like

0 komentar