May 31

08.51

Di ambang senja, bersama awan-awan yang lekan kembali pulang, siapakah lagi yang datang mengetuk-ngetuk jendela kamarku? Hujan.

Apakah seseorang mengubahmu menjadi tetesan-tetesan hujan di luar jendela? Siapa yang membuatmu seperti itu? Siapa yang berani menjadikanmu uap-uap embun? Kau sendiri.
Kau yang memilih meninggalkan jejak pada waktu gerimis dulu. Kau yang rela sendiri untuk menjadi embun-embun dibalik jendela, tidak, kau bahkan sekarang menghilang tanpa bekas.

Sebuah puisi dari Elizabeth Browning yang sangat aku suka, tentang bagaimana aku mencintaimu.

Bagaimana aku mencintaimu? Biarkan aku hitung jalannya...
...
Senyuman, air mata dari segala hidupku! Dan ketika tuhan menentukan pilihannya,
Aku bahkan akan mencintaimu lebih setelah mati.



PERTAMA
Aku sedang mendengarkan perasaan-perasaan indah melalui melodi indah dari tarian jari Yiruma di atas piano, berjudul "Because I Love You".

Karena aku mencintaimu.
Telingaku sudah akrab sekali dengan sepuluh suku kata itu, dua puluh abjad, bermakna hati yang sedang berbunga-bunga atau bahkan hati yang mengapur tersakiti.
Kini rasanya lucu, aku melihat beribu-ribu hati yang meluap-luap hanya untuk mengungkapkan tiga kata yang katanya penuh arti, yang sekarang hanya meninggalkan kesan masa lalu padaku. Sederhana saja, akupun tak bisa menolak untuk tak senyum-senyum sendiri mendengar kata-kata itu yang kemudian membuat wajahmu terbayang jelas di depan mataku.

Senja hadir bersama kelopak rona jingganya, bersama mahkota mega ungu memenuhi ujung-ujung langit barat. Siapa yang bisa menolak hangat seperti ini? Penuh lelah tetapi tak mungkin jika senja ini tak tulus mengantarkan burung-burung bersayap itu pulang ke rumah.

Mengapa senja itu indah?
Karena di dalamnya tersimpan begitu banyak cerita yang menggelembung. Seperti busa-busa sabun, kisah-kisah kecil yang mudah saja hilang tapi selalu menarik untuk tetap hadir.

Aku masih sangat mengingatnya, hari ketika aku merasakannya, perasaan yang luar biasa hingga akupun tak yakin mampu menahannya. Di awal senja, di awal musim hujan, di awal pertemuan lucu itu...

"Kau tidak pulang?" suara itu, aku merasa belum pernah merekamnya. Nada ramahnya itu khas sekali, membawa hangat seketika di tengah hujan yang berusaha keras menakut-nakuti siapapun yang berani menantangnya. Aku juga salah satu yang takut.
Aku menghela napasku perlahan, membalikkan tubuhku hingga bisa melihat kedua matanya yang berkedip, manis sekali.
"Sepertinya hujan tidak akan reda sampai malam nanti, kau akan sampai kapan di situ?" dia membaca gerak mataku yang jelas menanti hujan usai. Tapi sayangnya aku tak terbiasa berbicara dengan seseorang yang tak aku kenal. Bibirku enggan bergerak, walau di dalam hatiku, aku merasa seperti ada banyak katak yang melompat-lompat. Mataku tak mampu lama-lama melihat wajahnya, keadaan yang sangat rumit jika harus aku gambarkan bagaimana berkelebatnya hati dan pikiranku saat itu. Hanya karena sepasang mata itu...

"Kau tak menjawabku?" suaranya kembali menggema disekitarku. Rasanya gemuruh hujan itu jadi membisu seketika gelombang-gelombang longitudinal itu menari menuju gendang telingaku. Hanya ada dua pilihan, menjawabnya dan membiarkan diriku seperti makhluk bisu. Jawab... diam... jawab... diam... jawab atau diam? Ketika aku menjawabnya, dia tidak akan pergi setelah mendengarkan jawabanku, kan? Atau sebaliknya, dia tidak akan begitu saja pergi ketika aku tetap diam, kan?

Aku menghitungnya, setelah tiga kali aku mengedipkan mataku pelan, suaraku melarikan diri menujunya.

"Hujan besar..."

Setelah kata itu selesai kuucapkan, aku tak habis-habisnya menyalahkan diriku. Bagaimana bisa aku menjawab dengan ekspresi wajah seperti itu? Kenapa aku harus menjawab? Kenapa harus kata-kata itu yang keluar, bagaimana tadi suaraku terdengar? Aku pasti sangt ceroboh telah mengatakan kalimat lugu itu.

Dia bergeser, aku pikir mungkin dia ingin pergi saja...
Tapi ternyata dia tertawa dan menempati tempat di sebelahku duduk.

"Aku juga menunggu hujan berhenti..."
Lagi-lagi suaranya membuat jantungku ingin meledak saat itu.

Matanya, seolah berbicara juga mengikuti gerak bibirnya. Bolehkan aku menyentuh bulu matanya? Saat itu tidak terlihat lentik, tapi yang aku lihat, sedikit panjang dan keriting.

Sayang sekali, ketika itu aku tak berani menatapnya. Aku takut. Takut tenggelam dalam dirinya yang menggemaskan. Ya. Ketika itu, dia masih seorang anak laki-laki yang lucu, apa aku boleh mengatakan bahwa tubuhnya gilik? atau gempal? Ah, pokoknya dia terlihat bulat dengan suaranya yang bernada halus.

"Aku kelas 4A, kelas kita bersebelahan kan?"
Suaranya seperti bertanya, tapi sepertinya dia tidak menunggu jawabanku, nadanya mungkin hanya ingin memastikan saja.

Aku memang tidak berniat berkata apapun, tapi awalnya aku juga tidak berniat untuk membuat hatiku kembali beratraksi. Tapi pertanyaannya membuatku sedikit merasa bodoh. Ya tuhan, mengapa aku tidak pernah mengenalnya? atau yang mudah saja-lah, setidaknya seharusnya aku pernah melihatnya kan?

Aku terlalu sibuk menenangkan elektron-elektron yang berlompatan di dalam tubuhku, dia mungkin sibuk menghitung tetesan deras yang lama kelamaan melembut. Tidak ada pembicaraan lain setelah itu, hanya terdengar gemuruh hujan. Aku hanya berani melihat sepatunya yang basah diujungnya, sepatu coklat tanpa tali dengan dua perekat yang berjajar.

Kisah ini sudah aku bawa sepuluh tahun lamanya, entah letaknya di lobus mana otakku, atau mungkin di sebelah mana ruang jantungku, mungkin juga di sela tulang rusuk, entahlah, pertemuan pertama yang sebenarnya terlihat tidak istimewa itu, tanpa percakapan yang panjang, tapi untukku sistem memori dan emosiku mampu menahannya untuk tak pergi.

Awal yang luar biasa...

TERAKHIR

Aku pernah memintanya untuk tetap tinggal dan tidak menjauh. Tapi mimpinya begitu tinggi dan besar hingga aku-pun ragu untuk menggapainya. Aku harap asa membuatnya leluasa untuk tetap jalan mendekat menuju impiannya.

tiga belas tahun.
Ulang tahunku yang ketiga belas, mungkin salah satu kejutan ulang tahun yang tak akan pernah aku lupakan. Tapi ketika itu juga aku harus tahu bahwa hingga kini, saat itulah terakhir kalinya kami saling bertatapan. 

Saat itu hanya do'a untuk teman terbaik yang aku sisipkan dalam ketidakrelaan ketika aku mulai menyadari bahwa ruang pembatas di dunia ini tak hanya dinding kelas yang tiga puluh sentimeter.
Dia harus pergi. Menjemput mimpinya yang tak bisa dia temukan di sini.

"Kenapa menangis?" itu kata-kata yang paling aku ingat, yang ia katakan bersama dengan senyum tipis.
Aku ingin meneriakinya bodoh! Bagaimana bisa dia mengatakan sesuatu yang menyebalkan dengan wajah seperti itu.

Hanya itu yang aku ingat. Akhir dari pertemuan kami, hanya seperti itu...
Tahun 2010.
Ketika dia bukan lagi anak laki-laki kecil, ketika dia mulai berani membimbing jalannya sendiri.
Hingga kini, hilang tak berjejak...

Sejak waktu itu.
Sampai kapan dia akan berhenti menghilang dan menampakkan dirinya lagi?
Satu kali saja.
Pasti aku benar-benar barus sadar, dunia itu begitu lebar hingga sejak saat itu aku tak pernah sekalipun melihat dan mendengar kabarnya...

Aku tak berani berangan, jika aktor dalam kisah ini masih mengingatnya.
Selamat menempuh mimpimu...

You Might Also Like

0 komentar