Pagi tadi, aku meniup-niup debu-debu abu yang bersarang lemah di atas sepatuku, tiba-tiba saja aku merasa takjub ketika aku melihat serbuk-serbuk itu terbang diantara berkas-berkas embun, entah mengapa, itu terlihat seperti keajaiban...
Debu yang kulihat itu pasti ringan, bahkan mungkin sehelai rambutku masih beribu-ribu lebih berat. Debu itu datang dari jauh, mengapa memilih menetap di atas sepatuku? Mengapa memilih untuk bertemu denganku? Padahal, akhirnya mereka akan ku tiup, bahkan aku tak menyapanya sama sekali. Untuk apa debu seperti itu, tanpa mereka sepatuku saja sudah terlihat begitu lusuh.
Aku bahkan tak berpikir untuk mengucapkan selamat tinggal,
Tapi aku baru saja takjub, melihat kenyataan bahwa debu itu mampu terbang diantara ribuan titik-titik yang lebih pekat. Bagaimana jika aku adalah serbuk debu? Aku pasti akan lebih mampu terbang...
Di titik ini, hidupku selalu membangunkanku tiba-tiba ditengah malam, berteriak dan memaki, sejauh apa aku telah berjalan, sejauh apa aku telah terbang, dan mengancamku jangan sampai aku mendarat. Aku sedih, karena sekarang aku belum mampu menjawab, entah belum mendapatkan jawaban, atau terlalu malu untuk menyatakan kenyataan yang ada.
Terkadang aku ingin sekali menjadi debu-debu itu yang bahagia saja walaupun dilirik sinis oleh orang-orang, yang bahagia saja walau telah terusir ribuan kali, yang bahagia saja dan terus bisa terbang. Debu kecil itu, yang aku anggap hanya menambahkan predikat lusuh pada sepatuku. Akupun ingin seperti mereka...
Untuk debu yang tadi pagi terbang entah sekarang di mana,
Bermuaralah ditempat yang indah,
Bisakah kau tidak membuatku iri?
Jangan terus bahagia, ketika orang-orang mengusirmu,
Sedih sedikit-sedikit juga tak apa,
Perjalananmu, aku ingin memilikinya,
Debu kecil,
Nanti, aku akan terbang lebih jauh dibanding denganmu,
Aku akan lebih bahagia dan bersahaja,