Dari Hati

Sesal

11.23

Rasa sesal itu tak akan pernah sirna, pada kehidupan siapapun, aku juga yakin bahwan putri saljupun tahu apa rasanya menyesal.

 Awan ataupun matahari, mereka datang dengan cara yang tak pernah aku duga. Entah teduh ataupun cerah. Aku percaya, jika seseorang pernah menulis bahwa waktulah satu-satunya yang bukan makhluk yang paling rakus. Waktu-waktu itu hanya berputar, tak meninggalkan jejak, tiba-tiba saja pagi menjadi gelap, tiba-tiba saja aku telah berada hampir di ujung jalan.
Waktu-waktu itu yang memakannya, kan?
Siapa kalau bukan dia?
Tak pernah kenyang?
Atau tak mengerti arti lapar?
Sesal itu, selalu memaksaku untuk mencari sebuah pelampiasan, mencari seorang yang pantas aku kambing hitamkan, bukan memang aku yang ingin, tapi memang rasa sesal itu yang memaksaku untuk melakukan itu. Dan, akhirnya semua mengarah pada detak jarum yang tak akan pernah berbalik arah.
Aku baru saja sadar, terlalu lambar sebenarnya untuk sadar, bahwa aku ternyata telah berdiri sejak lama dengan tangan kosong, tanpa jaring penangkap serangga, tanpa garam untuk mengusir ular, tanpa apapun. Inikan yang namanya rasa sesal? Aku baru menyadarinya ketika kumbang-kumbang beracun berterbangan dii atas kepalaku, ketika beribu ular melingkar menghadangku, ketika aku tahu aku telah tak tahu bagaimana caranya menuju ke sana, ke tujuan akhirku. 

Aku menyesal,
Mengapa setelah tersandung batu besar?
Aku menyesal,
Aku baru tahu aku butuh perisai