Entah dari sudut mana ku memandangmu dibalik angin musim semi yang hangat, kau tetap menjadi sosok yang tak pernah ku lupa. Saatnya hujan untuk berhenti meneteskan kasihnya, saatnya langit untuk tersenyum membalut sinar matamu dengan cahaya indahnya, bola mata yang kecoklatan, yang sinarnya tak pernah sirna dari anganku...
Sudah berapa lama? Tepatnya berapa musim semi yang telah terlewati? Sejak jejakmu menjauh dan pergi?
Mungkin aku tak akan lagi mengenalmu, wajah manismu yang dulu, mungkin telah berhias dengan mimpi-mimpimu dengan semua cita yang sebentar lagi kau akan dapatkan. Mungkin kau menjadi jauh lebih tinggi, mungkin saja kita tak akan pernah lagi bisa bersandar bersama, karena kau telah tumbuh menjadi dirimu yang sekarang...
Untuk musim semi yang terlewati, disetiap mahkota bunga yang tertidur panjang selama musim dingin, aku tak pernah lupa untuk merindukanmu. Walau telah tertutup salju ataupun membeku, walau telah terbungkus embun atau rapuh berdebu, aku tak pernah lelah untuk merindukanmu.
Aku ingin selalu mengajakmu berirama, bersama ilalang yang kini dapat bertemu jingga, entah kau mendengarnya atau tidak, aku ingin mengajakmu bercengkerama, lewat kicauan burung yang kembali ceria di bawah mega.
Mungkin tidak bisa?
Mungkin hanya sebatas asa?
Atau mungkin hanya setengah rasa?
Tak apa, jikapun kau tak mampu mendengarku, jikapun kau telah menumpuk ku jauh di bawah masa-masa indahmu kini, selama aku masih mampu melihat jingga, itu artinya kau baik-baik saja.
Kau wajah manis yang muncul di sela jingga, dulu...
Yang membuatku tahu, walaupun mega hanya sekekap berwarna ungu, tapi hangatnya, dapatku rasa sebanyak yang aku mampu...
Walaupun aku tak tahu seberapa jauh jingga ini terurai, tapi jika senja hadir, kau pasti akan baik-baik saja...
Untukmu, rindu yang rindang, seperti teduhnya rimbun ilalang...