21.35
Dear diary, Awal ku menatap wajahnya. Pria sebelas tahun itu yang begitu dingin menatap. Tak banyak yang ia keluarkan dari mulutnya. Sosok yang banyak memunculkan pertanyaan dalam pikiranku, dan membuat mataku ingin terus mengintainya."Hhh" aku sedikit menyela nafasku dan mengelap keringatku, "Akhirnya selesai juga" lanjutku meletakkan kuas lukisku di atas tanah tempatku duduk. Aku menyenderkan tubuhku dan tersenyum puas melihat lukisanku yang tidak terlalu buruk itu.
"Bunga matahari?" seutas suara mengetuk gendang telingaku dan memaksa ku untuk menoleh mencari sumber suara itu. Mataku menangkap sepasang mata sipit, "kau?" kataku pada seseorang yang ternyata pria kecil yang selalu aku selipkan dalam diary ceritaku.
Pria itu, entah siapa namanya. Diam tanpa senyuman dan akhirnya membuka suara, "Revan…" pria itu menawarkan tangannya untuk bersalaman. "Nikita…" balasku menyambut juluran tangannya.
Awal aku mengenalnya, tak lama setelah pandangan pertamaku terhadapnya. Sosok yang dingin memang, tapi entah apa yang ku rasakan semuanya terasa nyaman dengannya.
Kata demi kata yang ia sampaikan tersusun lembut hingga telingaku. Aku pikir pria itu, tak selembut itu.
Hari ini berlanjut pada hari esok, hari esok sampai pada esoknya, dan begitulah aku dan pria kecil itu saling mengenal hingga begitu dekat kami saling mengenal.
"Bunga matahari?" seutas suara mengetuk gendang telingaku dan memaksa ku untuk menoleh mencari sumber suara itu. Mataku menangkap sepasang mata sipit, "kau?" kataku pada seseorang yang ternyata pria kecil yang selalu aku selipkan dalam diary ceritaku.
Pria itu, entah siapa namanya. Diam tanpa senyuman dan akhirnya membuka suara, "Revan…" pria itu menawarkan tangannya untuk bersalaman. "Nikita…" balasku menyambut juluran tangannya.
Awal aku mengenalnya, tak lama setelah pandangan pertamaku terhadapnya. Sosok yang dingin memang, tapi entah apa yang ku rasakan semuanya terasa nyaman dengannya.
Kata demi kata yang ia sampaikan tersusun lembut hingga telingaku. Aku pikir pria itu, tak selembut itu.
Hari ini berlanjut pada hari esok, hari esok sampai pada esoknya, dan begitulah aku dan pria kecil itu saling mengenal hingga begitu dekat kami saling mengenal.
...
Dear diary,
Begitu nyaman sosoknya kuterima, begitu dan begitu terus aku rasakan dan tak bisa aku mengelak akan perasaan itu. Hari – hari yang telah berlalu, membuatku semakin merasa tak bisa jauh darinya. Semakin dan semakin aku coba untuk berlari tak mengenalnya, tapi tak lagi aku bisa sembunyikan semua ini di bawah lipatan hatiku.
"Ini untukmu dan ini untukku" katanya memberikan sebuah kertas surat kosong padaku. Aku mengernyitkan dahi, memberikan tanda aku bingung dengan ini. Belum aku mengucapkan apapun, ia menyambar. "Kau tulis semua keinginanmu yang sangat kau inginkan, dan begitupun aku" jelasnya lalu membuka tutup sepidol berwarna biru.
Aku tersenyum kecil dan mengikutinya menulis sebuah do'a,
Suatu saat nanti, aku ingin Tuhan memberi tahuku tentang apa yang sebenarnya aku rasakan padanya. Semua yang aku rasakan dan sulit untuk hilang. Hingga tak lagi terus ku bertanya dalam setiap do'a yang aku panjatkan.
Begitu nyaman sosoknya kuterima, begitu dan begitu terus aku rasakan dan tak bisa aku mengelak akan perasaan itu. Hari – hari yang telah berlalu, membuatku semakin merasa tak bisa jauh darinya. Semakin dan semakin aku coba untuk berlari tak mengenalnya, tapi tak lagi aku bisa sembunyikan semua ini di bawah lipatan hatiku.
"Ini untukmu dan ini untukku" katanya memberikan sebuah kertas surat kosong padaku. Aku mengernyitkan dahi, memberikan tanda aku bingung dengan ini. Belum aku mengucapkan apapun, ia menyambar. "Kau tulis semua keinginanmu yang sangat kau inginkan, dan begitupun aku" jelasnya lalu membuka tutup sepidol berwarna biru.
Aku tersenyum kecil dan mengikutinya menulis sebuah do'a,
Suatu saat nanti, aku ingin Tuhan memberi tahuku tentang apa yang sebenarnya aku rasakan padanya. Semua yang aku rasakan dan sulit untuk hilang. Hingga tak lagi terus ku bertanya dalam setiap do'a yang aku panjatkan.
Nikita
Selesai aku menutup kembali sepidol itu, pria kecil di depanku itu mengambil kertas itu. "Kembalikan padaku!" kataku keras. "Aku ingin tahu apa yang kau tulis dalam kertas ini" katanya membuka lipatan kertas itu.
Tapi, untungnya aku bisa mengambil kertas itu kembali dalam genggamanku sebelum ia membaca semuanya. "Memaksa itu hal yang haram!" ucapku keras sambil melipat kembali kertas itu.
"Ya sudah, sekarang kau ikut denganku" ia menggandeng tanganku dan langsung berlari tanpa memikirkan, nafasku yang tersengal mengikutinya berlari. "Baru saja berlari sebentar, sudah seperti sekarat" katanya padaku sambil tertawa kecil. Aku hanya diam, mengurus nafasku yang masih sangat tak teratur.
Pria kecil itu memberikan sebuah balon hijau padaku, dan menggenggam satu balon oranye pada tangannya. "Kau boleh ikat kertasmu pada tali balon hijaumu".
Aku mengikat dengan rapi, lalu tiba – tiba pria junior itu membuat tanganku terlepas dari balon itu, dan balon hijau itu terbang membawa kertasku sejajar dengan balon oranye miliknya bersama kertasnya juga.
"Aku harap Tuhan akan membaca do'a kita" ucapnya tersenyum manis. Aku menganggukan pelan kepalaku
Tapi, untungnya aku bisa mengambil kertas itu kembali dalam genggamanku sebelum ia membaca semuanya. "Memaksa itu hal yang haram!" ucapku keras sambil melipat kembali kertas itu.
"Ya sudah, sekarang kau ikut denganku" ia menggandeng tanganku dan langsung berlari tanpa memikirkan, nafasku yang tersengal mengikutinya berlari. "Baru saja berlari sebentar, sudah seperti sekarat" katanya padaku sambil tertawa kecil. Aku hanya diam, mengurus nafasku yang masih sangat tak teratur.
Pria kecil itu memberikan sebuah balon hijau padaku, dan menggenggam satu balon oranye pada tangannya. "Kau boleh ikat kertasmu pada tali balon hijaumu".
Aku mengikat dengan rapi, lalu tiba – tiba pria junior itu membuat tanganku terlepas dari balon itu, dan balon hijau itu terbang membawa kertasku sejajar dengan balon oranye miliknya bersama kertasnya juga.
"Aku harap Tuhan akan membaca do'a kita" ucapnya tersenyum manis. Aku menganggukan pelan kepalaku
...
Dear diary,
Rasanya ku sudah cukup bosan dengan berbagai tanda Tanya besar dalam hatiku tentang perasaan ini. Aku tak bisa menemukannya sedikitpun. Semakin aku sadari perasaan ini, semakin aku tak sanggup untuk menemukan kepastian tentang jawaban, macam apakah perasaanku ini.
Aku terlamunkan dalam bayang bayang perasaan yang selalu saja mangikuti ke manapun aku beranjak. "Nikita…" suara pria kecil itu memecahkan lamunanku. Aku hanya menoleh dan menatapnya ringan. "Sedang apa kau, berdiam di situ?" tanyanya sambil mendekatiku. Aku menundukkan pandanganku dan tak menjawab pertanyaannya.
"Kau ini tidak bisa mendengar atau bisu?" tanyanya lagi duduk di sebelahku. "Bisakah kau hentikan lidahmu untuk berbicara?" balasku masih dengan menunduk. Pria kecil itu terdiam dan tak berani berbicara apapun lagi.
Rasanya ku sudah cukup bosan dengan berbagai tanda Tanya besar dalam hatiku tentang perasaan ini. Aku tak bisa menemukannya sedikitpun. Semakin aku sadari perasaan ini, semakin aku tak sanggup untuk menemukan kepastian tentang jawaban, macam apakah perasaanku ini.
Aku terlamunkan dalam bayang bayang perasaan yang selalu saja mangikuti ke manapun aku beranjak. "Nikita…" suara pria kecil itu memecahkan lamunanku. Aku hanya menoleh dan menatapnya ringan. "Sedang apa kau, berdiam di situ?" tanyanya sambil mendekatiku. Aku menundukkan pandanganku dan tak menjawab pertanyaannya.
"Kau ini tidak bisa mendengar atau bisu?" tanyanya lagi duduk di sebelahku. "Bisakah kau hentikan lidahmu untuk berbicara?" balasku masih dengan menunduk. Pria kecil itu terdiam dan tak berani berbicara apapun lagi.
...
Dear diary,
Sejak aku mengakui kehadiran perasaan ini, aku semakin tak bisa berkata banyak padanya. Seringkali aku hanya diam, atau bahkan kami berdua berdiam bersama. Membuat perubahn demi perubahan, yang aku takut perasaan ini akan membuatku kehilangannya.
"Kau bosan berteman denganku?" pria kecil itu memojokkan pikiranku jauh dalam sudut kecil. Mataku membulat mendengar ucapannya, "Apa yang sebenarnya kau bicarakan?" balasku bertanya.
"Kau ini sebenarnya berpura – pura tak mengerti atau memang tak mengerti?" pria kecil itu bals bertanya dan membuatku semakin bingung. "Aku benar – benar tak mengerti, Van…" jawabku ringan menatapnya.
"Kau selalu diam, atau bahkan melarangku untuk berbicara, lalu apa maksud semua itu?" jelasnya sedikit. "Apakah semua itu tanda, kau tidak ingin lagi berteman denganku? Atau kau bosan denganku? Atau kau…"
Aku memutuskan ucapannya sebelum ia menyelesaikannya, "atau, atau, dan atau! Terus saja kau menghujaniku dengan ucapanmu yang tak jelas itu"
Aku meninggalkannya karena kesal, pria kecil itu berpikiran seperti itu terhadapku.
Sejak aku mengakui kehadiran perasaan ini, aku semakin tak bisa berkata banyak padanya. Seringkali aku hanya diam, atau bahkan kami berdua berdiam bersama. Membuat perubahn demi perubahan, yang aku takut perasaan ini akan membuatku kehilangannya.
"Kau bosan berteman denganku?" pria kecil itu memojokkan pikiranku jauh dalam sudut kecil. Mataku membulat mendengar ucapannya, "Apa yang sebenarnya kau bicarakan?" balasku bertanya.
"Kau ini sebenarnya berpura – pura tak mengerti atau memang tak mengerti?" pria kecil itu bals bertanya dan membuatku semakin bingung. "Aku benar – benar tak mengerti, Van…" jawabku ringan menatapnya.
"Kau selalu diam, atau bahkan melarangku untuk berbicara, lalu apa maksud semua itu?" jelasnya sedikit. "Apakah semua itu tanda, kau tidak ingin lagi berteman denganku? Atau kau bosan denganku? Atau kau…"
Aku memutuskan ucapannya sebelum ia menyelesaikannya, "atau, atau, dan atau! Terus saja kau menghujaniku dengan ucapanmu yang tak jelas itu"
Aku meninggalkannya karena kesal, pria kecil itu berpikiran seperti itu terhadapku.
...
Dear diary,
Hampir aku kehilangan pria junior itu, hampir aku takkan lagi bersamanya. Aku menyerah dengan semua perasaan ini. Semuanya begitu berubah setelah perasaan ini terus memenuhi hatiku.
Hampir aku kehilangan pria junior itu, hampir aku takkan lagi bersamanya. Aku menyerah dengan semua perasaan ini. Semuanya begitu berubah setelah perasaan ini terus memenuhi hatiku.
...
Dear diary,
Lama setelah aku mengenalnya, kini kami sudah sama – sama beranjak dewasa. Dan Tuhan masih membiarkanku dekat dengannya. Hanya saja, kini kami tak sedekat itu. Mungkin aku dan pria yang sekarang beranjak dewasa, hanya bisa saling berbalas senyum dari jauh. Tak lebih dari itu, tak lagi bermain bersama, tak lagi bisa bercanda bersama, tak lagi berkhayal bersama.
Aku melihatnya yang sekarang sudah memenuhi tingkat remaja. Matanya yang sipit, bisa melirik kanan, melirik kiri, memandang wanita – wanita cantik.
Lama setelah aku mengenalnya, kini kami sudah sama – sama beranjak dewasa. Dan Tuhan masih membiarkanku dekat dengannya. Hanya saja, kini kami tak sedekat itu. Mungkin aku dan pria yang sekarang beranjak dewasa, hanya bisa saling berbalas senyum dari jauh. Tak lebih dari itu, tak lagi bermain bersama, tak lagi bisa bercanda bersama, tak lagi berkhayal bersama.
Aku melihatnya yang sekarang sudah memenuhi tingkat remaja. Matanya yang sipit, bisa melirik kanan, melirik kiri, memandang wanita – wanita cantik.
...
Dear diary,
Malam ini aku menuliskan semua ini, ditemani tetesan air mata yang memenuhi semua perasaan dalam hatiku. Aku yang lama tak mengenalnya, ternyata semua telah berbeda.
Pria junior yang dulu selalu menemaniku tersenyum, kini sudah menjadi sesosok remaja bersama dengan yang lain. Aku bahagia, itu artinya Tuhan memberikan anugerah perasaan cinta padanya.
Hingga dapat merasakan cinta yang begitu indah, dan aku baru menyadari segumpal perasaan yang sejak dulu membayangi jejakku adalah perasaan yang hanya akan menjadi mimpi – mimpiku dalam kehidupanku di hari – hari esok.
Aku harus bisa menahan perasaan itu untuk melihatnya bahagia.
Malam ini aku menuliskan semua ini, ditemani tetesan air mata yang memenuhi semua perasaan dalam hatiku. Aku yang lama tak mengenalnya, ternyata semua telah berbeda.
Pria junior yang dulu selalu menemaniku tersenyum, kini sudah menjadi sesosok remaja bersama dengan yang lain. Aku bahagia, itu artinya Tuhan memberikan anugerah perasaan cinta padanya.
Hingga dapat merasakan cinta yang begitu indah, dan aku baru menyadari segumpal perasaan yang sejak dulu membayangi jejakku adalah perasaan yang hanya akan menjadi mimpi – mimpiku dalam kehidupanku di hari – hari esok.
Aku harus bisa menahan perasaan itu untuk melihatnya bahagia.
...
Dear diary,
Akupun telah memastikan masa remajaku. Dan akupun tahu bagaimana cara menahan perasaanku ini. Dan Tuhan telah memenuhi keinginanku untuk mengetahui apa sebenarnya yang aku rasakan padanya.
Akupun telah memastikan masa remajaku. Dan akupun tahu bagaimana cara menahan perasaanku ini. Dan Tuhan telah memenuhi keinginanku untuk mengetahui apa sebenarnya yang aku rasakan padanya.
0 komentar