15.38


Malam terus berjalan, dentingan detikpun tetap memutar,sedikit samar bayanganku mulai terhapuskan, raja malam yang sudah nyaman bersemayam di atas singgasana indah. Kini tinggal aku sendiri yang tak bisa memejamkan mataku, tak bisa masuk dalam cerita baru mimpi indah yang terus aku nantikan.

Mataku seperti tak rela meninggalkan kehangatan malam ini, walau sendiri tapi begitu mempesona. "Belum juga beranjak ke kamar?" suara yang membuyarkan gumamanku, kak Ray, "Hhh, malam ini terlalu indah untuk dilewatkan" kataku menyenderkan punggungku pada sandaran kursi yang nyaman. Kak Ray mengambil posisi duduk di sebelahku, "kau tau Kak? Bintang yang paling bersinar itu seperti bunda…" ucapku mendengakkan kepala memfokuskan mataku pada sebuah bintang tepat di atas kepalaku.


Kak Ray hanya diam dan mengikutiku memandangi bintang itu. Bintang itu seakan membuka kenanganku bersama bunda, tentu sebelum aku kehilangan bintangku yang paling terang yaitu bunda. Aku rasa, aku berjalan hanya dengan setengah jiwa setelah tuhan mengambil bintangku. Aku tak mengerti, apakah memang aku tak pantas memiliki bintang itu? Aku kehilangan bintangku setelah sebelumnya aku juga kehilangan bintang yang lain yaitu ayah. Begitu berat hatiku menjalani kehidupan tanpa bintang bintang yang menjagaku. Hanya tersisa tiga penerang bagiku, kak Ray, kakek, dan tuhan.

"Mengapa begitu cepat tuhan mengambil bintang itu? Mengapa begitu cepat aku kehilangan kedua hartaku yang paling berharga? Mengapa begitu mudah bagi tuhan meminta ayah dan bunda untuk kembali padanya?" tanyaku pada kak Ray yang masih terus memandangi bintang itu. "Tak seorangpun tahu akan kehendaknya" jawab kak Ray pelan.
Apakah tuhan tak lagi percaya padaku untuk menjaga bintang bintangku? Sehingga tuhan mengambil bintang itu?

"Bunda pernah mengatakan bahwa tuhan sayang pada ayah saat tuhan mengambilnya, dan aku tahu ketika bundapun diambil oleh tuhan, tuhan sayang pada bunda… tapi apakah tuhan tidak menyayangiku? Sehingga tuhan tak mau mengambilku?" tanyaku lagi…
Kak Ray diam menatap mataku yang sudah penuh dengan tetesan air mata, "hanya tuhan yang mengerti tentang itu, sayang…" suara kakek menjawab pertanyaanku.

"Lalu, mengapa aku tak boleh mengerti apa yang tuhan mengerti? Tapi mengapa tuhan mengerti semua yang aku juga mengerti?" tanyaku lagi menatap wajah hangat kakek.

"Karena tuhan adalah tuhan" jawab kakek lembut, "lalu, mengapa aku tidak bisa menjadi tuhan?" tambahku lagi, "sayang, tak ada seorangpun makhluk yang berhak menjadi tuhan, sudahlah, tuhan sudah membuat alur hidup kita dengan baik, dan tak perlu khawatir tentangnya" jawab kakek.

"Tak baik berada di luar terlalu lama pada malam hari" kata kakek, "segeralah tidur, kakek tak mau malaikat – malaikat kakek bangun kesiangan" lanjut kakek mengajakku dan kak Ray segera tidur.

Aku beranjak dari kursi taman itu dan segera melangkahkan kakiku menuju kamarku, kamarku yang kini selalu sepi setelah bunda tak pernah lagi mengetuk pintunya dan tak pernah menginjakkan telapak kakinya di atas ubin ubinnya. Aku rindu hangatnya ketukan pintu bunda saat memanggilku untuk makan malam, rindu kasih sayang bunda dalam langkahan kakinya selalu saat membangunkanku dari mimpi mimpiku.

Dan kini aku hanya bisa merindukannya, aku hanya bisa berangan bahwa suatu hari nanti aku akan mengalaminya lagi, dan mustahil adanya.

Aku menghela nafas sebelum melantunkan do'a pada tuhan, "Tuhan yang selalu aku sayang, tetaplah jaga bintang bintangku di sisi-Mu, tetaplah jaga mereka tersenyum. Tuhan yang selalu aku cinta, jagalah aku, kak Ray, dan kakek dalam tidur kami"

Mimpi panjang itu berakhir, titik titik embun itu menyapaku dan mengajakku untuk tersenyum memulai hari ini.

Aku menolak berangkat bersama kak Ray, dan memutuskan untuk berjalan sendiri. Aku mengerti, udara pagi ini begitu indah untuk dinikmati, untuk sekedar menyambut hangatnya nafas bumi.

Langkahku ini memutar otakku kembali pada saat aku selalu berjalan bersama ayah, dan bunda. Selalu ketika sore menjelang, aku bersama kak Ray dan kedua bintangku. Hanya untuk sekedar menyapa keadaan sekitar.

Ketika aku dan kak Ray yang berlarian membawa Queen dan Princess (kedua kucing Persia kami), lalu ayah dan bunda berdua berjalan mengikuti kami.

Aku merindukan ketika aku dan ayah berlomba mengejar bayangan kami, juga ketika aku selalu merayu bunda untuk membelikan satu cup es krim. Atau mungkin saat kami berempat berlomba mengayuh sepeda bersama.

Tapi jalan itu tak lagi penuh dengan keceriaan, hanya tersisa berkas berkas bahagia itu yang sudah terkuras habis oleh jalannya waktu.

Kini aku hanya bisa menikmati jalan itu sendiri, tanpa mengejar bayanganku bersama ayah, atau tanpa rayuan demi satu cup es krim. Tawa dan keceriaan itu begitu melekat dalam setiap tapakan kakiku, tapi tak kan ada lagi semua itu, tak akan pernah menjadi perwujudan yang sungguh aku inginkan.

Aku hanya berjalan menghitung langkahku sendiri, ingat ketika dulu aku tak pernah utuh menyelesaikan jalan ini. Selalu minta kehangatan gendongan ayah. Tapi, kini ketika aku lelah, dekapan hangat itu tak akan memelukku lagi.

Terakhir kali, aku berjalan bersama ayah, ketika aku mengantarkan tubuh ayah menuju tempat abadi ayah. Terakhir kali, saat aku selalu menunduk tak percaya bahwa inilah kehidupan yang harus aku jalani.

Aku mempercepat langkahku, aku tak lagi mau bermimpi tentang kisah dulu yang tak akan pernah ada kelanjutannnya lagi.

Tapi selalu, kecerobohanku membuat sedikit luka, tersandung batu sedikit besar di depanku, lututku mengeluarkan darah akibat mendarat kasar di atas aspal jalan. Kak Ray lewat dan sepertinya melihatku yang terduduk di tengah jalan yang sepi itu, lalu menghentikan mobilnya. "Melisa…" panggilnya membuatku kaget dan akhirnya menoleh.

"Aku baik – baik saja" jawabku singkat sambil mencoba untuk berdiri, walau lututku sedikit terasa sakit.

Seperti yang aku sudah katakan. Aku tak pernah menghabiskan jalan ini dengan sempurna. Akhirnya, terpaksa kak Ray mengantarkanku ke sekolah. "Yakin, tetap ingin ke sekolah?" Tanya kak Ray saat di dalam mobil. "Ya iyalah, masa hanya karena luka kecil ini harus absen?" jawabku enteng sambil membersihkannya dengan tisu.

Lagi, kenangan itu terbuka kembali. Ketika Bunda yang selalu membersihkan lukaku sementara aku selalu menangis tak tahan akan sakit yang aku rasakan. Sekarangpun aku ingin menangis, bukan hanya karena lututku yang sakit tapi hatiku juga terus terluka ketika kenangan itu kembali datang dalam hadapanku. Yang membuatku ingin kembali ke masa lalu.

Tapi, jika aku menangis sekarang, aku yakin kak Ray tak akan mengijinkanku untuk berangkat ke sekolah. Satu yang terus aku kecamkan dalam hatiku, aku tak boleh lagi menjadi seorang yang manja dan lemah. Bunda pernah mengatakan bahwa tuhan lebih menyukai seorang yang kuat. Dan jika tuhan suka pasti tuhan juga sayang, dan aku menunggu sampai tuhan akan sangat menyayangiku dan lalu mengambilku, sama ketika tuhan sangat menyayangi ayah dan bunda, lalu mengambil mereka.

"Tak perlu dijemput" kataku sebelum keluar dari mobil. Segera aku menuju kelasku, bel tanda masuk akan segera berbunyi.

Aku selalu bahagia ketika pelajaran melukis itu datang. Aku duduk di bawah pohon redup, dan mulai menggoreskan kuasku pada kanvas. Aku menggambarkan tiga kelopak mawar yang sedang merona. Ayah, bunda, dan aku yang sedang bahagia. Dan kak Ray sebagai tangkai – tangkainya yang kokoh.
Seseorang menyiramkan minyak catnya pada kanvasku dan membuat lukisanku luntur. Aku tak pedulikan siapa yang melakukannya. Aku diam seketika, lalu setelah aku mengambil nafas sedikit dalam aku bawa kanvas itu menjauh dari seseorang yang berbuat jahat, telah menghancurkan lukisanku.

Aku pikir, dia tak mengerti seberapa berartinya lukisan ini bagiku. Aku berlari, tak peduli akan apapun. Walaupun sebenarnya ku sadar jam kepulangan masih tiga jam ke depan.

Duduk, di bangku taman kota dekat danau. Aku meneteskan air mataku, memandang lukisan mawarku yang hanya tersisa tangkainya. Mengapa tuhan tak mengambilku seperti seorang jahat itu menghapuskan tiga mawar ini?

Hatiku hancur, sama seperti hancurnya lukisanku. Air mataku membuka lagi kenangan itu, aku rindu saat bunda selalu menghapuskan air mataku, aku rindu saat ayah selalu membuatku terdiam dari tangisanku, aku rindu itu semua. Dan sekarang tak ada yang menghapuskan air mataku lagi, tak ada yang berusaha membuatku terhenti dari tangisanku.

Aku terpojokkan dalam semua kenyataan pedih itu, kehilangan semua permata hidupku. Mengapa tuhan ingin melihatku menangis?

Kini siapa yang bisa membuatku terlepas dari semua kekesalanku akan lukisan ini? Siapa yang bisa menarikku dari sejuta kekesalan ini?

Tiba tiba setitik air mata membasahi pipiku. Aku tak bisa lagi menyembunyikan semua perasaan rinduku. Matakupun tahu, air mata itu rela mengobati kerinduanku, tapi tetap tak bisa menggantikan kehangatan ayah dan bunda.

Aku selalu ingin lagi dekapan bunda saat aku menangis, aku ingin rasakan lagi pelukan ayah yang begitu hangat. Dan bahkan aku sangat menginginkannya.

Aku pikir kesedihan hidupku sudah memuncak ketika aku harus merelakan ayah dan bunda meninggalkanku. Tapi ternyata, kepedihan hidup tanpa kedua permataku lebih membuat hatiku berkeping – keping patah.

Rasanya hatiku belum bisa beradaptasi terhadap kehidupan baruku ini. Semua terasa jahat dan kejam, bagai runcingan bambu yang selalu menghadapku dan siap membunuhku kapanpun. Bahkan seburuk – buruknya mimpiku, tak pernah ku dapat seburuk ini.

Seharusnya bunda di sampingku, menghapuskan air mataku, mendekapku erat dan sangat hangat. Seharusnya ayah di sampingku, menghiburku, menenangkan hatiku dari golakkan kekesalan. Tapi di mana mereka? Di mana ayah dan bunda? Di mana mereka yang selalu setia di sampingku? Di mana mereka yang selalu tegap membentengiku dari segala kesedihan kejamnya kehidupan?

"Tuhan, aku lelah terus merasakan kesedihan ini, aku lelah setiap waktu menangis, aku lelah hatiku terus merindukan ayah dan bunda, aku lelah". "Apakah sulit, hanya untuk mengembalikan ayah dan bunda dalam hidupku? Apakah berat, melihatku bahagia bersama ayah dan bunda setiap waktu?".

Aku tak mau hidupku yang sekarang! Aku benci hidupku yang ini! Aku tak rela kebahagiaanku pergi bersama kepergian ayah dan bunda!

Setiap waktu berdetik, setiap itu pula, kebahagiaan itu menjauh dariku. Pergi dan meninggalkanku entah sampai kapan! Entah ke mana kebahagiaan itu! Entah bosan denganku! Entah marah denganku! Kebahagiaan itu tak sedikitpun mengucapkan salam perpisahan! Tak sedikitpun menitipkan pesan.

"Tuhan, sekarang aku harus apa? Apa yang bisa aku lakukan dengan diriku ini?" "Mengapa Kau ambil dua cahaya dalam hidupku, dua cahaya kebahagiaan yang hanya itu di dunia ini"

"Aku mau ayah dan bunda kembali! aku mau mereka! Hanya mereka! Bukan yang lain!". "Ambil semua dalam hidupku! Tapi jangan mereka! Jangan mereka!"

Mungkin hari ini adalah hari buruk, bahkan lebih buruk, ataupun terburuk dalam kehidupanku! Ketidakrelaan itu terus membayangi, menghantui langkah dan hembusan nafasku.
...

You Might Also Like

0 komentar