Dari Hati

Dibalik Hujan

00.03


Rembulan menepi tertiup angin...
Bintang membisu terbawa dingin...
Paras malam sepi resahkan hati...
Lambaian awan lemah menutup pasti cahaya - cahaya yang menari...

Kala hitam mulai mencerca...
Kala gelap mulai memaki...
Kala tak lagi ada senyum menghiasi...

Hujan menyambar langit hati...
Guntur memecah rangkai ceria...
Rintik tajamnya bebas merajam suka dan bahagia...

Aku dibalik hujan...
Terbisu dalam rapatan dusta yang penuhi malam nestapa...

Dari Hati

Bergumam dalam Benak Pilu

20.27


Selalu dalam rayuan angin, aku terbawa kembali pada kisah lalu yang sudah seharusnya pergi beriringan dengan hilangnya bintang yang tak pernah kembali lagi. Salam sedih dalam bayang suara yang sedikit serak mengalun samar di sela helaan nafas yang sesungguhnya berat. Seruan lemah tanpa senyum yang gempar dan tak hentinya mengikis ceriaku. Aku memang begitu mudah terbuai dalam cerita lampau, entah sesesak apa nafasku dalam reremang cerita yang terlalu banyak memanggil air mata.
Aku telah setia pada senja untuk terus berjalan walau telah habis lilin terbakar. Tapi, aku tak bisa raih kebahagiaanku untuk terus tersenyum kala jejaknya kembali tergambar. Lelah membakar tegarku, tak mudah untukku acuh kepada sapaan masa lalu itu. Kala tegarku hanya tinggal abu, tak lah berarti hatiku menahan sedih dan tangis. Lemah memang benar lemah...

Dari Hati

Senja Melepas Dirinya

19.34


Riak yang mengembang di antara senandung ombak, sudah mulai menghempas keras karang. Kini pun, langit mulai suram menyambut datangnya malam. Raut langit memang tak seindah senja kemarin. Ini sedikit terlihat gelap dengan gumpalan mendung yang bersarang di sela – sela jingga yang menggema.

Kesekian kalinya, langit membalas pandanganku dengan sedikit dengki. Mungkin mereka bosan melihat mataku yang tak pernah lepas dari hangatnya mentari sore. Aku mencoba melukiskan segala kerinduanku terhadapnya. Menggambar wajahnya perlahan dengan titik titik awan yang lama kelamaan pupus tertiup angin laut yang liar.

Mengapa kian hari, aku merasa semakin sulit untuk masuk dalam pandangannya. Aku berkali mencoba menghapusnya dari hidupku, tapi sulit adanya. Aku rasa hatiku sudah padanya, bahkan tak bisa tergantikan oleh siapapun.

Sulit untuk sedikit mengerti bahwa senja memang tak lagi untukku dan dirinya. Bodohnya aku! Selalu mengimpikan semua akan berjalan seperti sedianya. Selalu berpikir dirinya akan tetap berada di sampingku. Seharusnya sejak dulu aku sadar, hanya orang – orang bodoh yang menganggap bahwa dunia akan tetap berputar mengikuti mimpiku. 

Cerita bukan hanya kisah, senandung bukan hanya nyanyian, beribu jejak yang lalu telah berlalu, yang kini hanya menjadi debu dalam setiap keinginan yang menggebu untuk memilikinya kembali. 

Bibir yang tak bergetar, tangan yang tenang, nafas yang nyaman, yang kini berbaring di hadapanku, ku harap hanya mimpi buruk yang menghampiri. Tapi ternyata, ketika aku merasakan air mata menyentuh pipiku, aku sadar, itu benar – benar basah menghiasi wajahku.Tubuh kosong yang hanya kaku dihadapanku, tak sedikitpun hangat menyertainya. Aku sadar aku sedang sendiri, sendiri di pojok yang gelap, dalam bayang - bayang senja penuh kesedihan. Dan segera yakin, bahwa anganku untuk menggapainya sudah benar - benar terputus dan tak akan menjadi indah lagi.
Aku akan tersenyum, tersenyum bersama hujan yang mencoba membunuhku. Ini cukup, cukup untuk membuatku yakin, bahwa kepergiannya bukanlah akhir dari senja.

Aku dan senja yang selalu tersenyum untuknya, aku dan senja yang bahagia melihatnya menyelesaikan hidup dengan bahagia, aku dan senja yang terus memanjatkan do’a, aku dan senja yang akan menutup hari dengan bintang – bintang ceria.