The afternoon air was calm, unusually windless, as if the whole world paused to listen to the whispers between coffee steam and heartbeats.
Or maybe I was too late.
“Vanilla?” He said, as if my name was that drink.
I smiled. “Always.”
He nodded, faintly, “I guesses.”
I shook my head. “Maybe I don’t want to. I like it better unfinished.”
He chuckled softly.
“That’s just like you.”
“Like me?”
“You like to stay in the middle of stories. Not ending them, not beginning again. Just… staying.”
I didn’t answer. He wasn’t wrong.
He looked at me, tilting his head slightly. “Hmm?”
“I think it says something about us.
Vanilla latte —it’s the comfort I never got to have.
Warmth with sweetness, but still cold enough to hurt a little.”
“And me?”
Outside, the street was still wet from last night’s rain. The glass reflected two figures —one dark, one light, both framed by the faint golf of afternoon.
“Next time,” he said, “I’ll have vanilla latte.”
My vanilla latte almost slipped from my hand.
Of course.
That afternoon didn’t need rain to be remembered.
And the sudden awareness that maybe, just maybe,
He wasn’t just a chapter anymore.
June 19, 2025
Sudah lama aku berhasil pura-pura berdamai— seolah lupa, seolah sembuh, padahal aku simpan rindu yang amat sangat. Bahkan sekarang— rindunya menetap dan diam-diam tumbuh— menyesap pelan dan berdetak dengan lirih.
Aku masih berharap aku punya pelukmu, menggenggamku erat— menjadi jangkar di sisa-sisa hariku yang kian berat dan penuh keluh, dalam senja yang kian pucat, dalam waktu aku sering bingung harus berlabuh di mana.
Akhir-akhir ini, aku seperti hampir remuk—- atau malah sudah— perlahan repas, retak.
Bagaimana rupaku dari atas sana? Sudahkah aku tampak lebur, seperti abu yang segan terbawa pergi?
Aku bahkan rasanya tak kuasa untuk terisak.
Ternyata sulit, tidak semakin mudah, bahwa kehilanganmu tetap akan sulit. Aku masih saja terjatuh, dalam kenang yang tak tahu diri pulang.
Malam ini, langit redup. Maukah kau datang, semai sedikit asa di pelataran dadaku yang lengang. Panggil namaku—- dengan lembut, dengan irama indah yang ku suka seperti biasanya, seperti doa yang diam-diam kau pernah panjatkan. Ucap sedikit pujian— bahwa aku hebat walaupun hidup tanpamu berat.
Sebelum sunup datang, kalau peluk terasa berlebihan, temui saja aku dari kejauhan, biar aku bisa memandangmu walau jauh, biar aku tak semakin jatuh— semakin dalam.
Andai semesta berbelas kasih, aku titip rinduku sehelai saja, agar terbawa sayap angin— agar Tuhan sampaikan pesanku padamu…
“Aku masih terhempas dalam dinginnya rindu, masih sama seperti bertahun-tahun lalu.”

