Dari Hati

16.39

 gadis musim dingin.
Pertama kali yang jari mungilnya sapa adalah angin musim dingin yang menyelip lewat sela-sela jendela kayu yang rapuh. Kelopak matanya yang lemah berkedip-kedip perlahan, menahan dingin yang menyapa sekilas wajahnya. Gadis musim dingin, yang hatinya seputih salju. Cantik dan lembut. Bulu mata keritingnya menjadi saksi, siapapun berani mempertaruhkan nyawanya demi melindungi seorang gadis mungil dari dinginnya akhir Desember.
Walaupun nanti akan menghilang, gadis mungil itu tak mungkin terlupakan. Bunga - bunga salju itu selalu menjadi penjaganya. Langkah - langkah kecil yang tidak pernah berhenti, jelas tergambar di atas salju-salju malam yang masih bersemayam.
Aku mengatakan ini, karena hingga sekarang aku masih menganggapnya sebagai gadis mungil yang terlahir di musim dingin. Walaupun dia bukan seorang gadis mungil, tapi caranya menggenggam tanganku dan menatapku seperti gadis itu. Hangat dan penuh ketulusan, seperti memintaku untuk menjaganya dari dingin yang kapanpun bisa hadir.

Aku mengatakan ini karena aku ingin menangis, begitu saja pergi. Musim dingin akan selalu datang, dan setiap salju yang turun, membuatku ingin bertemu dengannya yang seperti gadis mungil.  
All day I hesitated...
How I supposed to pass every winter by myself,
with every longing for you,
In a cold wind, with my frozen hand.. 



Dari Hati

18.51



Malam, awal musim hujan yang gelap. Hari ini aku hanya mencoba terlelap di bawah selimut, mencoba memejamkan mataku setiap gemuruh guntur menyambar - nyambar melewati angin di atas sana. Jangan biarkan aku melihat kilatan, aku mohon...
Senja lain tanpa salam rindu matahari jingga, beberapa hari ini terasa kosong tanpa melihat sayap - sayap burung yang penuh rindu. Mereka pasti melewatkan banyak waktu. Sama seperti kisahku yang terhenti sesaat tanpa senja. Aku senang menggemakan rinduku di ambang sanja, hanya bersama kelap - kelip lampu jalan yang masih redup. Aku juga selalu menyerukan kerinduanku kepada siapapun, yang telah lama aku ingni temui dan selalu aku impikan wajahnya bertatapan denganku.

Ketika aku mulai lagi membuka kerinduanku, aku rasa ruang - ruang jantungku bergetar dan benang - benang di dalamnya melompat - lompat, sel - sel dalam otakku tertarik - tarik. Entah, sulit sekali menggambarkan apa yang aku rasakan. Dadaku tiba - tiba saja menjadi berat...

Sebenarnya, aku selalu bertanya - tanya. Sudah berapa lama tepatnya sejak terakhir kali aku melihatmu? Aku bisa menyebut diriku hebat, kan? Karena aku bisa mengubur kerinduanku jauh di bawah, hingga akhirnya secara tidak sengaja aku telah menggali tumpukan itu lagi dan berhasil menemukan kerinduan itu lagi.

Aku banyak mendengarkan lagu - lagu ballad yang mendayu, dan baru kali ini setiap nada - nada yang aku dengar menggambarkan cahaya - cahaya yang pernah aku lihat di setiap ujung matamu. Aku rasa, kerinduan itu mulai berjalan menuju puncaknya. Semuanya akan berujung pada bayanganmu di dalam pikiranku, walaupun aku tak tahu dengan pasti seperti apa rupanya kau sekarang, tapi itulah yang munculku di pikiranku saat ini. Hanya berkas matamu...

Dari Hati

Senjaku Terlelap...

16.50

Tiap senja kini bukan lagi awan yang merona, tapi hanya hujan bersama angin yang membawa kabur debu - debu di depan jendela kamarku.


Musim hujan sudah datang lagi, aku harus menahan keinginanku untuk melihat jingga di ujung jendelaku. Setidaknya untuk enam bulan ke depan. Sampai jumpa lagi, april tahun depan, aku tak akan lelah menunggumu...

Langit yang merona...

Aku harap senjaku beristirahat dengan lelap dibalik helai hujan. Aku harap Tuhan akan menjagamu dibalik gemuruh badai. Aku harap enam bulan waktu yang indah dan menyenangkan untukku dan untuk senja di balik sana. Biarkan saja, hujan ini turun hingga lelah nanti, kemudian senja akan mengambil alih lagi langit bersama garis - garis senja yang berbinar.

Hingga nanti waktu datang, jangan gerakkan sedikit kelopakmu untuk terbangun, berbaringlah di bawah selimut tebal yang hangat. Simpan ronamu, hingga april tahun depan, aku harap aku masih di sini dan membangunkanmu. 

Aku harap, kita bertemu lagi, mengantarkan burung - burung pada sarangnya, memanggil bulan dan venus untuk hadir di malam yang legam.

Dari Hati

Tentang Senja

16.57


Untuk penggemar senja sepertiku, pagi terlihat sangat menyeramkan.
Sekalipun, angin terlembut berhembus, pagi tak akan pernah terlihat indah seperti apa yang mereka katakan. Aku tak suka, ketika matahari datang dan membuat langit menjadi cerah dan bergelora. Mengungkapkan tangis - tangis di balik mata - mata sayu, mengungkapkan kesepian di balik bibir yang bergetar.

Setiap pagi, hanya membawa kesedihan lain...

Apapun yang orang - orang bilang tentang memulai kembali kisah yang telah lelap, aku tak pernah tertarik untuk menghitungnya sebagai bagian dari hidupku. 

Senja, bukan yang lain. 

Bersama jingga yang meredup kemudian hilang di balik awan - awan biru legam. Ambang senja yang indah, ketika rindangnya rinduku padamu hanya terlihat seperti remang - remang. 

Dari Hati

21.51

"Aku masih sama, selalu menanti senja di balik jendela kamarku."

Ketika itu, aku mulai mengerti mengapa tak lagi banyak embun - embun yang hinggap di kaca jendela kamarku. Ketika itu, ketika aku juga baru mengerti bahwa aku telah terlalu banyak bermimpi. Tapi, hingga sekarang, walau tak satupun tercapai, aku masih belum menemukan alasan untukku berhenti bermimpi. Selama aku bahagia, aku akan terus bermimpi walaupun tanganku tak bisa mencapai untuk menggantungnya, atau bahkan ketika tak ada lagi ruang untuk menggantung mimpi - mimpi itu. Karena tuhan tak pernah membatasi mimpi makhluk - makhluknya.
Suatu saat, aku bermimpi akan bertemu lagi dengan sosok tiga tahun lalu yang telah jauh terbang dulu. Tapi mimpi itu tak perlu ragu, walaupun tak mungkin, siapa yang tahu suatu saat nanti akan ada dunia yang dapat mempertemukanku dengan sosoknya. Dulu, terakhir aku bertemu, aku menangis dihadapannya. Aku menyesal, meninggalkan kenangan terakhir yang menyedihkan. "Ayo, kita bertemu lagi, dan aku akan tersenyum, meninggalkan kenangan yang cantik untuk aku dan kamu." Aku pasti telah sangat merindukannya. Sudah lebih dari tiga tahun lalu.
Dear,
Even it's impossible for you to see and hear,
But it's not impossible for me to say and believe,
In another life, let's meet and smile together,
I'll come to you without doubt of losing you (again),
It's hard for me,
Three years, and now I am in longing,
I wonder for once,
Can't you wake up even just once?
At least to say that you'll really be okay there,
Somewhere far away...
I want to hate my self,
For falling for you like forever,
For always counting you in every lonely,

A Tale

Binar Sederhana

21.31

Larasati kembali lagi, ke pemukiman lusuh di antara pohon – pohon bambu yang liar tumbuh menjadi sarang – sarang ular. Kali ini mungkin lebih dari sekedar menyusuri jalan – jalan becek beralas daun – daun kering yang jatuh, tidak seperti waktu sebelum – sebelumnya. Ia ingin meninggalkan kenangan di desa kecil pinggiran kota ini, tak mudah untuk mencapai tempat itu. Mungkin, kata ‘berani’ saja belum tentu bisa membawa kita sampai ke desa itu, tidak akan sampai, hingga kita memiliki keinginan dan ketulusan untuk benar – benar datang.

Sebenarnya, ia tidak begitu saja datang. Beberapa hari ini, sekolahnya memberikan tanggung jawab untuk mengawasi persiapan – persiapan kegiatan sekolah “Pengenalan Lingkungan Masyarakat”.

Tidak sendiri. Ia bersama kawan – kawan lain dengan alasan yang sama, untuk kenangan yang tak mungkin dapat terulang. Di tempat yang mataharinya harus berusaha menyelip di sela – sela dedaunan dan ranting – ranting yang rimbun, di mana setiap pasang mata yang lewat hanya menafsirkan harapan untuk hidup esok.

Hari mulai terik, tapi untung saja rerimbunan pohon – pohon besar di setiap pinggiran jalan mampu menjadi penghalang panas matahari.

“Kenapa harus di tempat seperti ini sih? Apa tidak ada yang lebih baik?” Rani menyela diantara nafas – nafas yang terengah – engah. Mereka berjalan menuntun sepeda motor melewati jalanan menanjak berkerikil. Terlalu berbahaya jika tetap menaiki motor di jalanan menanjak seperti ini, batu – batu kecil yang hidup bisa saja setiap saat menyandung.

Benarkan? Tak mudah untuk mencapai tempat itu. Suatu desa kecil di selatan kota Purwokerto. Desa yang kontur tanahnya seperti gelombang pasang, naik dan turun tidak membentuk irama yang indah. Namun, gemerisik angin terlembut dapat dirasakan di sini, membuat helaan nafas menjadi lebih ringan.

Dari awal memasuki pintu desa, mereka sudah sibuk dengan umpatan – umpatan penuh sesal mengapa mereka harus datang ke tempat seperti ini. Tapi Larasati memilih diam, jika saja mengumpat bisa meringankan jalannya. Tapi sayangnya tidak bisa. Ia menikmati kerikil – kerikil kecil di bawah alas sepatunya. Jalanan ini sudah menjadi hidupnya beberapa hari ini. Perasaan yang tidak pernah berubah, betapa lelahnya juga berjalan dengan irama yang jauh dari ramah. Tidak bisakah mereka hanya diam?

“Capek ya mbak? Saya bantu dorong ya.”

Bisik – bisik kecil berisi cela dan keluh tadi tiba – tiba terhenti dengan suara yang terdengar bergetar. Semuanya serempak menolehkan pandangannya, bertemu pandang dengan wanita paruh baya dengan ranting – ranting kayu yang digendong di punggungnya. Terkesiap melihat raut wajah ramahnya tapi penuh lelah.

“Ah. Terima kasih, bu.” Larasati memecah hening yang sesaat menjadikan mereka canggung.

“Saya yang malah mau bilang terima kasih sanget. Wong mbak – mbaknya yang sudah membantu kok.” Ucapannya bercampur dengan bahasa jawa, terdengar halus dan tulus.

“Rumah saya jadi diperbaiki.” Lanjutnya

“Ah, itu kan dari sekolah.” Kali ini Nisa yang menanggapi.

“Ya tetap saja. Mbaknya kan juga sudah mau ke sini.”

Nada ramahnya tidak pernah beranjak dari setiap ujung – ujung katanya. Padahal, jika dilihat dari perawakannya yang kurus dan kulitnya yang kecoklatan terbakar sinar matahari pasti banyak waktu – waktu sulit yang pernah dilewati. Tapi, tidak sama sekali membuatnya terlihat lemah.

Larasati bergumam dalam hatinya, mengkecam geram mengingat keluh dan cela yang kawan – kawannya bisikkan tadi sepanjang jalan. Dan kini mereka semua terdiam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ingin saja ia berteriak di depan wajah – wajah mereka...

Mengapa sekarang diam? Lihatkan! Betapa bahagianya mereka dengan hanya kita datang ke sini! Bahkan tanpa mengetahui apakah kita benar – benar tulus membantu, mereka sudah sangat berterima kasih.

Garis – garis urat di bawah kulitnya terlihat jelas menonjol di antara kulit yang sudah sedikit kendur akibat keriput. Larasati merinding seketika melihat urat di leher wanita itu tegang. Beban di punggungnya pasti tidak ringan.

“Saya benar – benar sangat berterima kasih.” Suaranya terdengar serak sekarang.

Larasati mengulaskan senyuman diikuti oleh anggukan pelan kepalanya. Ia terlalu sibuk mengamati setiap sudut bangunan yang baru kelihatan tiang – tiang penyangganya. Bangunan persegi, yang mungkin hanya sebesar kelasnya atau bahkan tidak sampai selebar itu menyekat nafasnya.

Hatinya seperti bergetar, mengingat betapa tulusnya wanita paruh baya tadi mengucap rasa terima kasih. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang menjadi begitu bersyukur untuk hal kecil seperti ini? Ya. Untuk Larasati, sepetak rumah itu bukan hal yang besar. Hanya bangunan kecil berdinding triplek.  

“Ini mbak, rumah saya tadinya di situ, tapi karena sedang diperbaiki jadi dipindah di sini.” Wanita itu mengajak Larasati masuk ke dalam rumah beralas tanah dengan dinding anyaman bambu yang banyak berlubang. Bagian bawahnya terbuka, membuka pintu bagi ular atau hewan – hewan lain untuk masuk kapan saja.

“Diangkat bu?” Ia melongo, membayangkan bagaimana caranya bangunan ini bisa dikatakan sebagai rumah. Bisa saja, jika itu rumah – rumah siput yang selalu dibawa kemana-mana. Jadi, ketika suatu saat ada angin kencang, bisa saja keluarga penghuni rumah ini bingung mencari di mana bangunan rumah mereka bermuara terbawa angin. Lucu kalau dibayangkan, tapi sayangnya lebih terkesan memprihatinkan.

“Ya iya. Ini kan diangkat seperti ini saja ya sudah bisa dipindah.” Wanita itu mencabut pasak bambu kecil di tengah ruangan, membuat atapnya bergerak. Ia menyambungnya dengan tawa kecil, entah sebagai tanda prihatin atau memang lucu.

Larasati semakin terkesiap dengan apa yang ia lihat. Rasa syukur itu ternyata begitu sederhana untuk wanita paruh baya berparas ramah ini. Entah, sudah berapa kali ia mengucapkan terima kasih, tapi rasanya tetap terdengar sama tulusnya.

Sambil berjongkok dan mengintip kolong lemari, wanita itu menarik keluar baskom berisi gelas – gelas yang basah. Ia mengelapnya satu – satu, memastikan semuanya benar – benar kering. Obrolan mereka semakin dalam, nampaknya wanita itu butuh teman berbicara. Hanya perlu seseorang untuk mendengarkannya, walau Larasati tidak bisa memberi tanggapan apapun.

Sekilas ia mengingat raut – raut wajah kawan – kawannya, membandingkan dengan garis – garis wajah wanita di hadapannya. Mengapa baginya rasa syukur begitu sulit untuk dijangkau. Mereka hanya harus datang dan mengamati apa yang ada di desa pinggiran itu. Tapi, masih saja ada tempat untuk mencela dan mengeluh. Dibanding dengan wanita paruh baya ini, yang bahkan masih harus khawatir setiap hari rumahnya akan roboh, tapi rasa syukurnya seperti satu – satunya kata yang ia kenal.

Mengapa Tuhan tidak menjadikan mereka seperti itu? Setidaknya, biarkan mereka sekejap lupa apa itu penyesalan dan keluhan. Biarkan mereka merasakan betapa sederhananya sebuah rasa syukur  itu.

Itu merupakan kenangan untuk Larasati. Perasaan yang berbeda, bagaimana seseorang memandangnya penuh binar, walau tanpa tahu apakah ia benar – benar tulus, tapi yang cahaya mata redupnya hanya mengantarkan kejujuran. 

Dari Hati

Believe in Me

15.11

Aku menemukan ruang untuk menggantungkan sisa - sisa mimpiku (lagi)

 Tuhan, aku mampu berdiri hingga waktu ini. Diantara ribuan luka yang telah padam dan kisah burung - burung yang karam. Aku mencoba bebas dari kuncup - kuncup mahkota dan terbang seperti kumbang - kumbang cantik. Aku bisa menegakkan kepalaku dan menatap awan - awan yang terbang. Kapanpun aku mau, aku pasti akan mencapai langit di atas langit. Aku hanya perlu terbang lebih tinggi, sedikit lagi.
Tuhan, aku telah menutup sisa - sisa air mata yang aku punya. Dan sekarang aku berani menatap ke langit yang lebih tinggi tanpa takut untuk menyesali apapun. Badai - badai yang telah lalu membawa kembali diriku yang telah hilang dan pergi dengan rasa takutku. Kini, aku tak perlu bersembunyi dan takut. Sekalipun badai sehebat apapun datang dan mencoba menggoyahkan langkahku. Sekalipun petir yang menyambar, aku tak akan sekalipun menutup mataku untuk itu.
Tuhan, aku tak ingin lagi menjadi jiwa yang bersembunyi di antara ranting - ranting yang rapuh.

Dari Hati

You

23.21

Aku mengirimkan rinduku di sela - sela rintik yang datang. 
Bagaimana di sana?

Kau baru saja menyelesaikan sebuah perjalanan panjang, dan akan segera memulai kisah lain. Bisakah kau masih mengingatku sebagai ranting - ranting yang hampir patah tertiup angin karena terlalu lama menahan rindu. Haruskah aku mengucapkan selamat? Kau akan segera bertemu mimpimu. Pasti.

Apakah kau menerima pesan dari titik - titik embun di jendela? Kalau iya, itu aku. Tiga tahun yang cukup melelahkan untuk selalu merindukanmu. Aku harap kau akan memulai kisah lain yang tak lagi jauh di sana. Bisakah kau hanya melangkah lebih dekat, setidaknya tidak membuatku memiliki waktu yang sulit, seperti tiga tahun ini. 

Mungkin, suatu saat nanti kita akan bertemu sebagai impian - impian yang sudah lama kita kejar. Tapi, aku baru paham satu hal, seseorang mengatakan bahwa kata - kata "suatu saat nanti" hanyalah kata lain dari "tidak akan pernah". Apakah kau percaya itu? bahwa kita tidak akan pernah lagi bertemu? Tapi, aku masih memiliki keyakinan, setidaknya hanya untuk mendengar kabar baik tentangmu. 

#Congratulations for your graduation, there. Being apart for 3 years is not that easy, so that I wish I will have another 3 years which is much better than what i used to have. Even now we are so far apart, It's not impossible for us to meet then, isn't it? Am I right? We will always be able to meet, someday, somewhere, under the brightest sun! I wish so. 

#Be healthy,

Dari Hati

Rona yang Kembali

22.12

"Aku kembali bertemu senja..."




Rona jingganya sudah memukau sempurna, tepat di balik ranting daun yang rerimbun.
Kilau - kilaunya muncul di sela sayu-nya biru yang mulai lelah. Aku mengerti, bagaimana langit sudah bekerja keras hari ini, meneduhkan berbagai pasang mata, membuat nyaman beribu - ribu kaki yang berlari. 
"Entah, dunia menjadi lebih indah..."

Bukankah aku merasa ceriaku lebih ringan dari yang pernah ada? Aku bahkan lebih mengerti bait - bait tetesan embun di atas sandal karetku, bukankah itu artinya aku perlu melakukan berbagai kebahagiaan dengan kaki-ku sendiri, diriku sendiri.

Sudah lama sekali, sejak aku bisa menikmati bagaimana kebahagiaan itu masih ada. Sudah sangat lalu, sejak aku bisa mengakui keberadaan canda dan ceria di setiap hari - hari yang berlalu.

"Inikah yang dunia berikan, aku kehilangan lelahku..."

Aku menjadi bahagia, perempuan kecil dengan kebahagiaan yang bahkan lebih besar dari jari kelingkingku. Entah, bagaimana awalnya? mungkin bukan itu yang terpenting untuk dicari alasannya. Tapi, bagaimana aku bisa kembali menjadi manusia yang menganggap tumpahan - tumpahan sirup itu adalah keberuntungan semut - semut kecil.

Dari Hati

21.03

Untuk kali ini aku membenci senja.
Berawan,  gelap dan penuh dengan genangan air.

Aku baru saja merasa seperti hidup di dalam diriku yang lain. Dalam memori yang masih aku ingat, aku bukanlah yang semudah ini menangis dan putus asa. Aku  bahkan tak selemah ini untku mengerti apa yang sebenarnya terjadi berkebalikan dengan apa yang pernah ada dalam anganku dulu. Tapi, aku rasa, aku kehilangan diriku yang dulu. Yang bisa hilang di antara kesedihan kemudian kembali dengan ceria dan kebahagiaan. Yang bisa pura - pura mati ketika badi datang dan menantangku beradu, kemudian kembali hidup setelah matahari kembali dengan hangatnya.
Aku tahu, aku sudah kehilangan berbagai bentuk mimpi yang pernah aku simpan. Aku bahkan sudah tak bisa mengerti bayangmu dalam secerah apapun siang dengan sinarnya. Tapi, tak seharusnya aku menyerahkan segala asa yang pernah aku ikat begitu saja, hanya karena merasa kehilangan harapan dan melemah.

Bahkan aku mengerti, aku tak mungkin bisa sekuat karang untuk menghempas gelombang - gelombang laut yang menyakitkan. Lalu, kenapa aku masih harus merasa rendah setelah kehilangan beberapa mimpi yang pernah bersarang di tidurku dulu. Aku sangat mengerti, bahkan batu sekeras apapun nantinya akan hancur oleh tetesan air. Tapi mengapa aku masih terus terperangkap dalam keputusasaan hanya karena merasa tak memiliki apapun lagi.

Padahal, tentunya aku masih ingat dan percaya matahari masih akan bersinar lagi esok bahkan bintang yang mati akan terus tergantikan oleh bintang lain. Tapi, mengapa masih saja aku berpikir bahwa aku akan mati saat ini juga.

"Tidak apa - apa semua akan baik - baik saja. Tak akan ada hal yang buruk terjadi. Mawar secantik apapun pasti akan tetap layu dan hanya akan mekar kembali"

Sudah beribu - ribu kali aku meyakinkan diriku sendiri bahwa semua akan baik - baik saja setelah ini. Tapi, aku harus bagaimana lagi? Aku bahkan gagal untuk membuat diriku percaya.

Dari Hati

21.08


Aku tak ingin lagi menjadi rintik tipis di sela lebatnya hujan di luar sana. Tak ingin menjadi sembilu kecil sendiri di tepian jendela


Bukankah aku lahir untuk bermimpi dan berlari? Bukankah aku hidup untuk terjatuh kemudian bangkit lagi? Untuk tertusuk duri kemudian menjadi seseorang yang kuat, bukan sekedar menangis dan terdiam. 
Aku tak lahir untuk menjadi balok - balok rapuh, bahkan tali - tali yang rentan putus. Tak juga menjadi semak - semak maupun kumbang. 

Aku terlahir untuk menjadi burung - burung yang mengerti bagaimana setiap kali ombak menghempas karang, bagaimana daun - daun menguning, gugur, kemudian mati, bagaimana semut - semut berjalan di ranting - ranting. Bukan untuk meratapi dan hanya menanti bayang - bayangmu untuk kembali. Bukan untuk itu.

Tapi nyatanya, aku masih saja menjadi rayap - rayap dalam tanah yang takut tersengat matahari.
Aku bahkan takut untuk bermimpi apalagi berlari, bahkan tak pernah berpikir untuk bergerak. Aku bahkan belum bisa bangkit lagi setelah jatuh. 

"Kemudian, aku harus melakukan apa?"
"Menjadikan dirimu hanya bagian dari debu - debu kecil?"
"Atau menganggapmu sebagai embun - embun pagi yang dingin?"
"Atau menghilangkanmu diantara tumpukan jerami kering?"
Bahkan jika aku mencoba tak peduli, senja selalu membawamu kembali bersama sayap - sayap burung yang mulai lelah. Bahkan ketika aku mencoba untuk hidup sebagai diri yang lain, kau akan hadir walau hanya seperti daun - daun yang berguguran. Dirimu, bahkan warna matamu akan tetap jelas terlihat.

Dari Hati

Selalu, sejak hari itu

21.44




Setidaknya kau harus katakan "selamat tinggal" dulu padaku. Setidaknya kau tak membuatku merasa seperti menunggu ataupun berharap. Setidaknya aku akan mengerti Tuhan telah menuntunmu melalui jalan itu. Bahkan, kau tak pernah mencoba mengatakan "kita mungkin akan berpisah lebih cepat" padaku.

Aku ingin marah padamu. Tapi kau sudah tak ada di sini , sekarang. Aku ingin kau tahu bahwa aku tak suka dengan ini. Tapi bukankah aku tak akan kembali pada kenyataan yang dulu. Lalu, aku harus bagaimana? Bahkan, kau tak pernah mengatakan "lupakan aku" atau "cobalah untuk membenciku". Kalau sudah begini, aku harus apa?
Apa aku harus terus seperti ini? atau bagaimana? 

Setidaknya kau harus katakan "kau akan menjadi lebih baik", agar aku percaya bahwa kenyataan ini memang baik untukku. Tapi, kau diam waktu itu. Membiarkanku terus berharap dan menunggu, membuatku bahagia dalam anganku. 


Dari Hati

Selamat Ulang Tahun

21.24

"Tuhan, aku masih saja mengingatnya sebagai berkas - berkas mentari yang menyelinap tirai jendelaku"


Bukankah hari ini hari bahagia untukmu? Selamat ulang tahun, bukankah ini tepat tahun ke tujuh belasmu? Bukankah kau seorang dewasa sekarang? Andai saja kau masih di sini, di dekatku, mungkin kita bisa meniup lilin bersama, mungkin kita akan memilih kue coklat lengkap dengan ceri merah yang merona? mungkin kita akan menyanyikan lagu ulang tahun bersama - sama. Berhadapan di antara mata - mata yang akan memandang kita.

Selamat ulang tahun, aku berharap Tuhan memberikan kita keajaiban untuk bertemu, walau hanya dalam mimpi. Ini tahun kesekian, aku berharap sendiri di depan kue coklat bulat. Meniup dua lilin dan aku menyisakan semua ceri untukmu. Tidakkah kau ingat? aku tak pernah suka ceri, dan kau yang selalu menceritakan bagaimana rasanya ceri merah itu. Kau selalu menceritakannya setelah menelan habis semua ceri itu "Manis... tapi sedikit asam. Seandainya kau bisa merasakannya juga, bukankah menyenangkan bisa merasakannya bersama - sama" lalu aku hanya mengangkat alisku dan tersenyum. 
"Oh Tuhan, itu semua hanya bagian dari debu - debu yang telah lalu"

Selamat ulang tahun, aku masih selalu rindu padamu.
Selamat ulang tahun, mungkin aku akan selalu rindu padamu.
Padamu, suara mu, senyum dalam matamu.
Selamat ulang tahun...