A Tale

Dari Dinda (bukan nama asli)

22.54

Kami adalah serdadu laron-laron yang hidup di balik dinding megah yang sayapnya rapuh tapi tak pernah lelah berebutan cahaya. Jika sayapnya lepas, sayap-sayap itu akan bertaburan di mana-mana seperti kertas convetti pada pesta perayaan.

Lompatlah melalui tembok-tembok kokoh yang jika malam pancaran lampunya mencurigakan. Di belakang sini, sebuah kehidupan masih berusaha bertahan dan jika telah kau lihat, sebutkan siapa yang sesungguhnya tak akan mengumpat?
Tak ada. 

Di situlah matahari akan terbenam, di sebelah barat kota Purwokerto.
Di situlah beribu umpat dan maaf ingin aku sampaikan pada dunia. 
 Adakah orang yang berkenan menjenguk mataku? Dinda yang tangannya penuh lecet bekas garukan dan gigitan nyamuk nakal tadi malam. Karena rumahku penuh lubang dan selimutnya hanya ada satu untuk dinda. Tidak apa, gatal ini tidak seberapa, jika kesal aku bisa membunuh penghisap darah itu hingga ia mati gepeng.
Banyak kakak-kakak datang ke sanggar, semua pasukan laron berkumpul. Tapi mereka tidak malu berteriak-teriak, berlarian menabrak kakak-kakak itu, dinda juga tidak mau kalah.

Restu tiba-tiba lewat dan agar penyambutan kakak-kakak lebih menarik, pertunjukan restu jatuh dan kepala gundulnya benjol terbentur lantai pasti akan seru. Aku ulurkan kakiku untuk menyandungnya.
Oops! Gagal. Dia hanya cengengesan.

Kali ini Ais yang berteriak-teriak membut telingaku sangat bising. Aku jambak kerudung merahnya, pasti dia akan lebih keras berteria.

"Aaah!"

Kan benar, dia berteriak dan semua mata tertuju pada kami.

Seorang kakak berkerudung menarikku, tapi aku masih ingin menggoda Ais hingga ia menangis. Aku mengulurkan tanganku lebih kuat tapi malah salah sasaran. Kakak itu yang terlihat sedikit kesal.

"Tuh kan, kakak yang kena." Kakak perempuan itu berbicara, nadanya sedikit meninggi. Ah, salah siapa menghalangiku.

Kakak itu menarikku menjauhi Ais dan membuatku duduk di pangkuannya. Aku masih tetap ingin melanjutkan perkelahiannya, belum ada pemenangnya. 

"Ayo kita menggmbar aja yuk." Kakak itu berkata dan menunjukkan sebuah kertas putih.

Kakak itu kemudian mengambil sebuah pensi dan aku langsung merebutnya. 


Pertama kali aku bertemu Dinda dan dia mendekatiku, aku berpikir Dinda mungkin sedikit terganggu secara psikologis. Dia tidak mendengarkan siapapun. Dinda kecil sangat liar.
Tapi setelah lebih mengenalnya, aku pikir dia hanya ingin kasih sayang dan perhatian yang lebih, dia marah ketika aku mengalihkan perhatian pada anak-anak lain. Di setiap kura-kura yang Dinda gambar, jika pujian aku sampaikan, Dinda akan terlihat bahagia.

Dinda adalah laron kecil yang memikul begitu banyak kasih sayang untuk keluarganya. Suatu saat saya bertanya mengenai ayahnya, dinda terlihat begitu rindu.

Terima kasih Dinda, untuk hari-hari yang penuh kasih...

Dinda suka sekali menggambar kura-kura. Kakak itu protes ketika ku menggambar kura-kura dengan kaki banyak. Biar saja, kasian kalau kakinya hanya empat, dia akan berjalan sangat lambat. Kakinya banyak agar jalannya bisa lebih cepat.

Kakak itu protes lagi, katanya Dinda suruh menggambar yang lainnya. Tapi Dinda hanya suka gambar kura-kura. Kura-kura berkaki banyak yang saling berteman.

Pada hari terakhir kakak-kakak di sanggar, Dinda akhirnya mau ikut kakak-kakak untuk sholat maghrib berjamaah di masjid. Dinda juga meminta kakak itu untuk membantu memotong kuku Dinda yang kotor. 
Setelah sholat maghrib, ketika Dinda sedang serius menggambar, seorang kakak cantik membawa baskom berisi banyak sekali biskuit kelapa. Dinda langsung berdiri dan menghampiri kakak itu dan mengambil banyak biskuit.

"Kakak pegang ini sebentar ya..." Aku berlari lagi untuk mengambil plastik.

Biskuit itu untuk adik Dinda, namanya Nina. Kasian Nina, di rumah tidak ada biskuit kelapa.

"Kakak, dinda pulang dulu ya... Nanti nina keburu tidur..."


Untuk seorang gadis kecil dengan kesan liar, seberkas kasih sayang itu ternyata masih ada dan seolah-olah menutup segala ketangguhannya...

Yang biasanya Dinda, gadis kecil dengan emosi labil dan tidak segan untuk menghajar siapapun yang mengganggunya, untuk membawakan beberapa biskuit untuk adik kecilnya, dia rela berlari pulang berharap Nina belum tidur... 

Biskuit Kelapa penuh Cinta...

Di salah satu percakapanku dengan Dinda, aku tanya tentang Ayahnya...
Ayahnya seorang supir bus mikrolet, yang tidak selalu pulang setiap harinya, yang membuatnya rindu.

"Dinda mau sama bapak, naik bus ke pantai..."

Dinda, satu tahun sudah cepat berlalu...
Dinda pasti sudah semakin tumbuh besar...
Sudah ke pantai belum, sayang?
Semoga bapak sering pulang ya...
Titip salam untuk Ibu dan Nina ya...

Dari Hati

21.46

September 19, 2016

Untuk hidupnya harapan...

Salahkan resah, untuk waktu yang hanyut bersama keraguan. Aku ingin salahkan gelisah, untuk penat yang membuatku susah menghela nafas. Tapi, harus aku salahkan siapa ketika arah peraduan matahari justru memimpin langkahku pada-mu yang bukan hanya kiasan. 

Tuhan sampaikan kabar indah ini, mungkin telah lama juga Tuhan tuliskan titah ini bahwa pada saat itu aku akan akhirnya memutus sejenak kerinduan, walau kini sudah mulai meracau lagi rindu itu...

Hanya bertukar pandangan-pun melegakan rasanya...
Hanya beriringan senyum-pun luar biasa bahagianya...

Yang selalu berada membentang bersama mega, walau jauh, di lipatan langit entah bagian mana.
Yang masih enggan untuk tak berada jauh...

Tiupan rinduku membeku dan menjadi embun di sela jendela kamarmu...
Di satu embun di antara rindu-rindu yang bertebaran, satu itu milikmu...
Satu itu milikmu, dan di sinilah bagian hulu dari mana rindu itu mengalir. 
Semoga tak sia-sia dan sekedar hanyut bermuara di laut yang tak terhingga...