Dari Hati

Selalu, sejak hari itu

21.44




Setidaknya kau harus katakan "selamat tinggal" dulu padaku. Setidaknya kau tak membuatku merasa seperti menunggu ataupun berharap. Setidaknya aku akan mengerti Tuhan telah menuntunmu melalui jalan itu. Bahkan, kau tak pernah mencoba mengatakan "kita mungkin akan berpisah lebih cepat" padaku.

Aku ingin marah padamu. Tapi kau sudah tak ada di sini , sekarang. Aku ingin kau tahu bahwa aku tak suka dengan ini. Tapi bukankah aku tak akan kembali pada kenyataan yang dulu. Lalu, aku harus bagaimana? Bahkan, kau tak pernah mengatakan "lupakan aku" atau "cobalah untuk membenciku". Kalau sudah begini, aku harus apa?
Apa aku harus terus seperti ini? atau bagaimana? 

Setidaknya kau harus katakan "kau akan menjadi lebih baik", agar aku percaya bahwa kenyataan ini memang baik untukku. Tapi, kau diam waktu itu. Membiarkanku terus berharap dan menunggu, membuatku bahagia dalam anganku. 


Dari Hati

Selamat Ulang Tahun

21.24

"Tuhan, aku masih saja mengingatnya sebagai berkas - berkas mentari yang menyelinap tirai jendelaku"


Bukankah hari ini hari bahagia untukmu? Selamat ulang tahun, bukankah ini tepat tahun ke tujuh belasmu? Bukankah kau seorang dewasa sekarang? Andai saja kau masih di sini, di dekatku, mungkin kita bisa meniup lilin bersama, mungkin kita akan memilih kue coklat lengkap dengan ceri merah yang merona? mungkin kita akan menyanyikan lagu ulang tahun bersama - sama. Berhadapan di antara mata - mata yang akan memandang kita.

Selamat ulang tahun, aku berharap Tuhan memberikan kita keajaiban untuk bertemu, walau hanya dalam mimpi. Ini tahun kesekian, aku berharap sendiri di depan kue coklat bulat. Meniup dua lilin dan aku menyisakan semua ceri untukmu. Tidakkah kau ingat? aku tak pernah suka ceri, dan kau yang selalu menceritakan bagaimana rasanya ceri merah itu. Kau selalu menceritakannya setelah menelan habis semua ceri itu "Manis... tapi sedikit asam. Seandainya kau bisa merasakannya juga, bukankah menyenangkan bisa merasakannya bersama - sama" lalu aku hanya mengangkat alisku dan tersenyum. 
"Oh Tuhan, itu semua hanya bagian dari debu - debu yang telah lalu"

Selamat ulang tahun, aku masih selalu rindu padamu.
Selamat ulang tahun, mungkin aku akan selalu rindu padamu.
Padamu, suara mu, senyum dalam matamu.
Selamat ulang tahun...

Dari Hati

Pesan untuk Cinta

19.11


Maaf.
Maafkan aku yang tak bisa lebih lama melihatmu dalam bayang – bayang kerlingan hujan.
Aku takut rasamu hanya semu.
Aku takut kau hanya maya.
Maafkan aku.
Aku masih terlalu takut untuk melihatmu di setiap sela tirai jendela mimpi.


Cinta.
Ini kali pertama aku merasakan yang berbeda terhadapmu. Mungkin aku benar – benar sudah mencintai, tapi bisa saja rasa itu hanya bagian dari kisah hati yang sepi.
Kau yang pertama. Membuatku merasa. Kau yang pertama. Membuatku percaya bahwa Tuhan memang menciptakanku dengan sebuah hati yang sanggup mencintai.
Tapi, maafkan aku.
Karena kau yang pertama. Tapi aku masih terlalu takut untuk melangkah.
Maafkan aku.
Aku masih merasa nyaman hanya dalam angan saja. Meski mimpi ataupun hanya desahan ilalang yang berayun, tapi aku masih merasa bahagia.
Aku bahagia, aku mampu mencintai. Walau hanya dalam diriku. Sendiri. Aku sangat bahagia.


Cinta.
Kau memang mulai sedikit berdebu. Tapi aku belum ingin menghapus debu itu.
Tapi ketika kau tak lagi sanggup menahan debu itu. Panggilah mawar, melati, atau bahkan sakura musim semi untuk meniupkan debu – debu itu.
Cinta.
Tak peduli sebanyak apa debu itu.
Aku akan tetap merasa bahagia. Biarkan debu itu menjagamu, meski sedikit ternodai tapi tak akan ada satupun yang berani mendekatimu.
Tapi ketika kau sudah lelah bersama debu – debu itu. Panggilah hujan untuk membasahimu.

Dan aku hanya akan di sini, menunggu hingga sayap – sayapku tak lagi rapuh untuk mengajakmu terbang. Menjadi bintang di antara malam dan siang.
Suatu saat nanti. Sayapku pasti akan kuat untuk mengajakmu merasakan cinta yang Tuhan anugerahkan.

Dari Hati

11.22


Aku panggil senja itu jingga yang merona. 
Entah mengapa aku suka mendengarnya, tapi kata kata itu seolah meninggalkan beribu jejak tentang mega - mega yang hilang di kala malam. Aku rindu kehangatan bersama angin - angin yang pulang mencari kawannya, atau bahkan manisnya kicau sayu burung - burung yang menyarang. Sebagai ilalang  yang diam, mungkin riang bersama sajak - sajak bulan yang merindu. 

Dari Hati

21.02


Kepada cinta yang berdebu, aku mungkin malu untuk menatapmu. Mungkin suatu saat nanti kau akan mulai berkarat. Entah, aku tapi akan membiarkanmu seperti itu, agar nyata bahwa aku tak kagumi indahmu, tapi aku terjebak dalam pesonamu...

Dari Hati

Dalam Sabtu Malam

23.46


Aku selalu berjalan, menyusuri jalan berbatu kecil tanpa aspal. Entahlah, tapi suatu saat nanti aku mungkin berhenti. Mungkin karena lelah atau benar - benar sudah tak tahu arah. Aku hanya ilalang yang tertuntun awan tebal. Mengejar bintang yang selalu hilang di tengah malam. Mungkin suatu saat nanti, ketika malam bukan lagi bulan dan bintang, aku akan berhenti. Duduk dan bergumam tak pasti. Mungkin akan heran, mengapa aku pernah terus berjalan, walau tak ada kepastian.
Aku kini sarat akan keraguan dan kerinduan. Entah apa yang diragukan dan tak tahu apa yang dirindukan. Mungkin hanya rasa yang berlebihan, atau bahkan mimpi dalam angan...

Dari Hati

Melupakanmu...

17.50


Kau sepi. Tak cerah dan tak mungkin ku menerawang. Bukankah yang kau ingin aku terus bersama semak - sema tinggi tak bernadi? Sendiri tanpa siapapun teman canda. Terlalu sepi untukku tahu siapa dirimu sebenarnya. Bukankah kau selalu begitu?
Tak pernah membiarkanku mengerti tapi selalu membuatku berayun dalam keraguan dalam penantian. Selangkah saja kau datang, mungkin aku akan mengerti bagaimana senyummu. Tapi bukankah itu bahagiamu? membuatku buta tentangmu, lalu tergelitik bersama anganmu tentang ketidaktahuanku.

Aku telah menghapusmu! Jauh sebelum kau datang lagi dan memberikan jejak - jejak lagi. Aku sudah menguburmu dalam - dalam, agar aku tak akan bisa lagi ingat apapun tentang cerita lalu yang tak seindah purnama. Aku sudah sangat bahagia, bersama tarian balada rindu sang ilalang. Menghadap senja melepas surya dalam tidurnya. Aku sudah terbiasa menyaksikan gelap datang bersama kunang dan rengkuhan kelelawar. Tak lagi dingin juga sepi.
Kau sepi. Dan aku telah bersama bulan yang bersinar sampai senandung malamku usai.

Dari Hati

22.26

Aku masih sama, penulis setia buku kecil ini yang hampir runtuh terberai perasaan. Masih menghitung berapa lama lagi aku akan lupa tentang hal - hal kelabu. Tapi, kalaupun tak juga habis waktu, aku tak akan memaksakan matahari tampak disela awan mendung. Aku hanya mencoba, untuk tak lagi mengingat. Aku hanya mencoba untuk berdiri dan bangkit tanpa uraian kisah yang lalu. Aku ingin berlalu tanpa jejak yang bertalu di punggungku. Tanpamu yang menjadi bayang pelangi. Hanya itu...

Dari Hati

Sendiri...

22.26


Dalam tetes hening tangis langit, aku tak pernah sendiri...
Diantara genangan air di sudut mata, aku tak pernah sendiri...
Dalam rindu, senja, dan mega yang menjingga, aku tak pernah sendiri...
Aku bersama cerita - cerita tentangmu dulu...

Bait indah dendang piano yang menemani...
Tali - tali gitar yang beradu mengiringi...
Aku tak pernah sendiri...

Dari Hati

Sajak Hati

12.28



Aku tidak mengerti. Tentang arti daun yang berayun tak pasti. Dahannya berdayu bersama lelayu yang gugur merayu. Sepi ini terlalu dingin, Membuat rayap – rayap tersenyum menggigil di bawah tanah. Resah bersama angin yang mendesah rindu dalam gelap yang menjamah. Rengkuhan dan pelukan tak lagi datang bersama derai derai debu yang berlalu. Kini sendiri, meraba hati yang seperti peti mati. Tak bersama bunga yang bersemi tapi semut yang berhenti di sudut hati.


Aku tidak mengerti. Mengapa kini aku merasa sepi. Sendiri. Di sini terlalu gelap, tak ada bintang yang berkerlap. Tanpa bulan yang tanggap. Bahkan telingaku hampa, tak ada bisikkan kecil yang menyapa. Tak ada seruan lagi yang menyapa. Senja hilang, terbawa ilalang. Aku tak tahu lagi apa yang masih ada disampingku. Semua raib, terbawa angin – angin ghaib. Jejakku pun tak lagi tampak, hanya desahan genggaman tanganku yang beku.



Aku tidak mengerti. Meski aku tak pernah lelah bertanya kepada arah yang fana. Aku tak pernah mendengar jawabnya, meski hati terus meronta. Bersama bisikan dan bayangan, mereka hilang menembus ilalang. Meninggalkan diri rapuh ini hanya bersama senyuman usang yang malang. Bahkan, mawar itu mulai menggugurkan mahkotanya, memilih hilang daripada bersamaku. Memilih hilang daripada menjadi sarang semut semut hitam.
Aku tidak mengerti. Mengapa melati begitu sakti, semerbak wanginya yang mampu menggertak sarang – sarang lebah nan jauh di sana. Kembang kecil bertangkai mungil, tumbuh diantara serangga – serangga yang menggigil. Rangkainya tangguh, tak menaruh ragu sedikitpun. Menawan, di bawah awan – awan yang menari ringan.