Hanya tersisa rindu yang menggenang di sudut mata...
Setelah sekian lama, aku kembali teringat...
Tentang masa yang dulu sempat menghiasi langitku...
Tentang waktu dulu bersama kapas putih sebagai payungnya...
Aku merindukanmu, bagai dendang sepi di lorong hitam...
Aku merindukanmu, selayaknya kumbang merindukan bunga dalam gugurannya...
Terlalu rindu...
Apa dua tahun terlalu mudah bagimu untuk tak lagi ingat aku?
Apa dua tahun telah cukup menguburku bersama jejakmu?
Aku merindukanmu...
Selalu di langit yang sama, di hari yang sama, aku merindukanmu...
Kalaupun malam akan secerah langit pagi, tetap tak mungkin aku menyentuh awan...
Kalaupun lagi hujan turun, tetap tak mungkin aku menggenggam air...
Bukannya aku terlalu rendah harapan, tapi memang mentari tak pernah memperkenankan embun untuk tetap tinggal...
Terlalu tak terjangkau, bagai dia yang kini tak berjejak
Setelah hujan, setelah badai
Kembali cerah, kembali bersinar
Aku tak sebaik mereka
Tak sempurna
Tapi harapan tak pernah ada batasan
Aku membenci, kemudian mencintai...
Aku mencela, kemudian memuji...
Seperti itukah hidup?
Aku bahagia, dan terkadang aku bersedih
Semua datang dalam satu ikatan
Senang dan sedih dalan satu ikatan
Cinta dan benci dalam satu satuan
Celaan dan pujian dalam satu rangkaian
Bukankah begitu adil hidup ini?
Tak perlu memikirkan mau makan apa besok,
Tak perlu berburuk sangka pada awan awan yang menggumpal hitam
Karena ada lapar pasti nanti ada kenyang,
Karena ada hujan pasti nanti ada pelangi
Hanya tinggal mengendalikan dinamika yang Tuhan berikan
Langit,
bersama putih, terangkai indah di tempat tak terjangkau
sebelum hujan, setelah matahari, tetap biru
Kerlingannya manis, semanis kicauan burung di bawahnya
Langit biru,
Di tepi pasir pantai, terlukis tak terhingga cantiknya
Selalu riang, bersama bintang
Aku takut, lama kelamaan aku akan tertelan oleh ambisiku sendiri
Aku takut, jika nanti ambisiku sendiri yang akan mengambil kemudi hidupku
Tak semudah meniup lilin yang menyala, ambisi itu bisa jadi seperti debu, selalu ada walau tak pernah terlihat
Bahkan sekarang aku sedang dibuat bingung oleh ambisiku sendiri
Terlalu banyak
Terlalu tinggi
Itulah aku, ambisinya jauh lebih besar dibandingkan kemampuannya
Dia yang senyumnya tak pernah rapuh tapi selalu merapuhkan jalanku. Segenap pandangan yakinnya yang justru membuatku semakin tersesak di garisku. Telah lama, dia susuri kerikil - kerikil di bawah redupnya biru yang membentang. Bahkan jauh lebih lama dari aku yang baru saja mengerti apa itu debu.
Entah...
Aku selalu saja membantah...
Aku tak pernah ingin menyadari bahwa dia yang selalu menggenggam erat pagar - pagar jalanan itu ternyata terlampau jauh menyentuh hatiku. Aku tak pernah ingin mengakui bahwa dia yang selalu berjalan dalam bisu ternyata bisa begitu dalam menyusuri setiap lapang - lapang hatiku.
Dia, yang hanya diam dalam kedipan matanya. Selalu saja bisa menangkap derai - derai sepi yang aku rasakan.