Aku tidak mengerti. Tentang arti daun yang berayun tak pasti. Dahannya berdayu bersama lelayu yang gugur merayu. Sepi ini terlalu dingin, Membuat rayap – rayap tersenyum menggigil di bawah tanah. Resah bersama angin yang mendesah rindu dalam gelap yang menjamah. Rengkuhan dan pelukan tak lagi datang bersama derai derai debu yang berlalu. Kini sendiri, meraba hati yang seperti peti mati. Tak bersama bunga yang bersemi tapi semut yang berhenti di sudut hati.
Hanya tersisa rindu yang menggenang di sudut mata...
Setelah sekian lama, aku kembali teringat...
Tentang masa yang dulu sempat menghiasi langitku...
Tentang waktu dulu bersama kapas putih sebagai payungnya...
Aku merindukanmu, bagai dendang sepi di lorong hitam...
Aku merindukanmu, selayaknya kumbang merindukan bunga dalam gugurannya...
Terlalu rindu...
Apa dua tahun terlalu mudah bagimu untuk tak lagi ingat aku?
Apa dua tahun telah cukup menguburku bersama jejakmu?
Aku merindukanmu...
Selalu di langit yang sama, di hari yang sama, aku merindukanmu...
Kalaupun malam akan secerah langit pagi, tetap tak mungkin aku menyentuh awan...
Kalaupun lagi hujan turun, tetap tak mungkin aku menggenggam air...
Bukannya aku terlalu rendah harapan, tapi memang mentari tak pernah memperkenankan embun untuk tetap tinggal...
Terlalu tak terjangkau, bagai dia yang kini tak berjejak
Setelah hujan, setelah badai
Kembali cerah, kembali bersinar
Aku tak sebaik mereka
Tak sempurna
Tapi harapan tak pernah ada batasan
Aku membenci, kemudian mencintai...
Aku mencela, kemudian memuji...
Seperti itukah hidup?
Aku bahagia, dan terkadang aku bersedih
Semua datang dalam satu ikatan
Senang dan sedih dalan satu ikatan
Cinta dan benci dalam satu satuan
Celaan dan pujian dalam satu rangkaian
Bukankah begitu adil hidup ini?
Tak perlu memikirkan mau makan apa besok,
Tak perlu berburuk sangka pada awan awan yang menggumpal hitam
Karena ada lapar pasti nanti ada kenyang,
Karena ada hujan pasti nanti ada pelangi
Hanya tinggal mengendalikan dinamika yang Tuhan berikan