Dari Hati

Rona yang Kembali

22.12

"Aku kembali bertemu senja..."




Rona jingganya sudah memukau sempurna, tepat di balik ranting daun yang rerimbun.
Kilau - kilaunya muncul di sela sayu-nya biru yang mulai lelah. Aku mengerti, bagaimana langit sudah bekerja keras hari ini, meneduhkan berbagai pasang mata, membuat nyaman beribu - ribu kaki yang berlari. 
"Entah, dunia menjadi lebih indah..."

Bukankah aku merasa ceriaku lebih ringan dari yang pernah ada? Aku bahkan lebih mengerti bait - bait tetesan embun di atas sandal karetku, bukankah itu artinya aku perlu melakukan berbagai kebahagiaan dengan kaki-ku sendiri, diriku sendiri.

Sudah lama sekali, sejak aku bisa menikmati bagaimana kebahagiaan itu masih ada. Sudah sangat lalu, sejak aku bisa mengakui keberadaan canda dan ceria di setiap hari - hari yang berlalu.

"Inikah yang dunia berikan, aku kehilangan lelahku..."

Aku menjadi bahagia, perempuan kecil dengan kebahagiaan yang bahkan lebih besar dari jari kelingkingku. Entah, bagaimana awalnya? mungkin bukan itu yang terpenting untuk dicari alasannya. Tapi, bagaimana aku bisa kembali menjadi manusia yang menganggap tumpahan - tumpahan sirup itu adalah keberuntungan semut - semut kecil.

Dari Hati

21.03

Untuk kali ini aku membenci senja.
Berawan,  gelap dan penuh dengan genangan air.

Aku baru saja merasa seperti hidup di dalam diriku yang lain. Dalam memori yang masih aku ingat, aku bukanlah yang semudah ini menangis dan putus asa. Aku  bahkan tak selemah ini untku mengerti apa yang sebenarnya terjadi berkebalikan dengan apa yang pernah ada dalam anganku dulu. Tapi, aku rasa, aku kehilangan diriku yang dulu. Yang bisa hilang di antara kesedihan kemudian kembali dengan ceria dan kebahagiaan. Yang bisa pura - pura mati ketika badi datang dan menantangku beradu, kemudian kembali hidup setelah matahari kembali dengan hangatnya.
Aku tahu, aku sudah kehilangan berbagai bentuk mimpi yang pernah aku simpan. Aku bahkan sudah tak bisa mengerti bayangmu dalam secerah apapun siang dengan sinarnya. Tapi, tak seharusnya aku menyerahkan segala asa yang pernah aku ikat begitu saja, hanya karena merasa kehilangan harapan dan melemah.

Bahkan aku mengerti, aku tak mungkin bisa sekuat karang untuk menghempas gelombang - gelombang laut yang menyakitkan. Lalu, kenapa aku masih harus merasa rendah setelah kehilangan beberapa mimpi yang pernah bersarang di tidurku dulu. Aku sangat mengerti, bahkan batu sekeras apapun nantinya akan hancur oleh tetesan air. Tapi mengapa aku masih terus terperangkap dalam keputusasaan hanya karena merasa tak memiliki apapun lagi.

Padahal, tentunya aku masih ingat dan percaya matahari masih akan bersinar lagi esok bahkan bintang yang mati akan terus tergantikan oleh bintang lain. Tapi, mengapa masih saja aku berpikir bahwa aku akan mati saat ini juga.

"Tidak apa - apa semua akan baik - baik saja. Tak akan ada hal yang buruk terjadi. Mawar secantik apapun pasti akan tetap layu dan hanya akan mekar kembali"

Sudah beribu - ribu kali aku meyakinkan diriku sendiri bahwa semua akan baik - baik saja setelah ini. Tapi, aku harus bagaimana lagi? Aku bahkan gagal untuk membuat diriku percaya.

Dari Hati

21.08


Aku tak ingin lagi menjadi rintik tipis di sela lebatnya hujan di luar sana. Tak ingin menjadi sembilu kecil sendiri di tepian jendela


Bukankah aku lahir untuk bermimpi dan berlari? Bukankah aku hidup untuk terjatuh kemudian bangkit lagi? Untuk tertusuk duri kemudian menjadi seseorang yang kuat, bukan sekedar menangis dan terdiam. 
Aku tak lahir untuk menjadi balok - balok rapuh, bahkan tali - tali yang rentan putus. Tak juga menjadi semak - semak maupun kumbang. 

Aku terlahir untuk menjadi burung - burung yang mengerti bagaimana setiap kali ombak menghempas karang, bagaimana daun - daun menguning, gugur, kemudian mati, bagaimana semut - semut berjalan di ranting - ranting. Bukan untuk meratapi dan hanya menanti bayang - bayangmu untuk kembali. Bukan untuk itu.

Tapi nyatanya, aku masih saja menjadi rayap - rayap dalam tanah yang takut tersengat matahari.
Aku bahkan takut untuk bermimpi apalagi berlari, bahkan tak pernah berpikir untuk bergerak. Aku bahkan belum bisa bangkit lagi setelah jatuh. 

"Kemudian, aku harus melakukan apa?"
"Menjadikan dirimu hanya bagian dari debu - debu kecil?"
"Atau menganggapmu sebagai embun - embun pagi yang dingin?"
"Atau menghilangkanmu diantara tumpukan jerami kering?"
Bahkan jika aku mencoba tak peduli, senja selalu membawamu kembali bersama sayap - sayap burung yang mulai lelah. Bahkan ketika aku mencoba untuk hidup sebagai diri yang lain, kau akan hadir walau hanya seperti daun - daun yang berguguran. Dirimu, bahkan warna matamu akan tetap jelas terlihat.

Dari Hati

Selalu, sejak hari itu

21.44




Setidaknya kau harus katakan "selamat tinggal" dulu padaku. Setidaknya kau tak membuatku merasa seperti menunggu ataupun berharap. Setidaknya aku akan mengerti Tuhan telah menuntunmu melalui jalan itu. Bahkan, kau tak pernah mencoba mengatakan "kita mungkin akan berpisah lebih cepat" padaku.

Aku ingin marah padamu. Tapi kau sudah tak ada di sini , sekarang. Aku ingin kau tahu bahwa aku tak suka dengan ini. Tapi bukankah aku tak akan kembali pada kenyataan yang dulu. Lalu, aku harus bagaimana? Bahkan, kau tak pernah mengatakan "lupakan aku" atau "cobalah untuk membenciku". Kalau sudah begini, aku harus apa?
Apa aku harus terus seperti ini? atau bagaimana? 

Setidaknya kau harus katakan "kau akan menjadi lebih baik", agar aku percaya bahwa kenyataan ini memang baik untukku. Tapi, kau diam waktu itu. Membiarkanku terus berharap dan menunggu, membuatku bahagia dalam anganku. 


Dari Hati

Selamat Ulang Tahun

21.24

"Tuhan, aku masih saja mengingatnya sebagai berkas - berkas mentari yang menyelinap tirai jendelaku"


Bukankah hari ini hari bahagia untukmu? Selamat ulang tahun, bukankah ini tepat tahun ke tujuh belasmu? Bukankah kau seorang dewasa sekarang? Andai saja kau masih di sini, di dekatku, mungkin kita bisa meniup lilin bersama, mungkin kita akan memilih kue coklat lengkap dengan ceri merah yang merona? mungkin kita akan menyanyikan lagu ulang tahun bersama - sama. Berhadapan di antara mata - mata yang akan memandang kita.

Selamat ulang tahun, aku berharap Tuhan memberikan kita keajaiban untuk bertemu, walau hanya dalam mimpi. Ini tahun kesekian, aku berharap sendiri di depan kue coklat bulat. Meniup dua lilin dan aku menyisakan semua ceri untukmu. Tidakkah kau ingat? aku tak pernah suka ceri, dan kau yang selalu menceritakan bagaimana rasanya ceri merah itu. Kau selalu menceritakannya setelah menelan habis semua ceri itu "Manis... tapi sedikit asam. Seandainya kau bisa merasakannya juga, bukankah menyenangkan bisa merasakannya bersama - sama" lalu aku hanya mengangkat alisku dan tersenyum. 
"Oh Tuhan, itu semua hanya bagian dari debu - debu yang telah lalu"

Selamat ulang tahun, aku masih selalu rindu padamu.
Selamat ulang tahun, mungkin aku akan selalu rindu padamu.
Padamu, suara mu, senyum dalam matamu.
Selamat ulang tahun...

Dari Hati

Pesan untuk Cinta

19.11


Maaf.
Maafkan aku yang tak bisa lebih lama melihatmu dalam bayang – bayang kerlingan hujan.
Aku takut rasamu hanya semu.
Aku takut kau hanya maya.
Maafkan aku.
Aku masih terlalu takut untuk melihatmu di setiap sela tirai jendela mimpi.


Cinta.
Ini kali pertama aku merasakan yang berbeda terhadapmu. Mungkin aku benar – benar sudah mencintai, tapi bisa saja rasa itu hanya bagian dari kisah hati yang sepi.
Kau yang pertama. Membuatku merasa. Kau yang pertama. Membuatku percaya bahwa Tuhan memang menciptakanku dengan sebuah hati yang sanggup mencintai.
Tapi, maafkan aku.
Karena kau yang pertama. Tapi aku masih terlalu takut untuk melangkah.
Maafkan aku.
Aku masih merasa nyaman hanya dalam angan saja. Meski mimpi ataupun hanya desahan ilalang yang berayun, tapi aku masih merasa bahagia.
Aku bahagia, aku mampu mencintai. Walau hanya dalam diriku. Sendiri. Aku sangat bahagia.


Cinta.
Kau memang mulai sedikit berdebu. Tapi aku belum ingin menghapus debu itu.
Tapi ketika kau tak lagi sanggup menahan debu itu. Panggilah mawar, melati, atau bahkan sakura musim semi untuk meniupkan debu – debu itu.
Cinta.
Tak peduli sebanyak apa debu itu.
Aku akan tetap merasa bahagia. Biarkan debu itu menjagamu, meski sedikit ternodai tapi tak akan ada satupun yang berani mendekatimu.
Tapi ketika kau sudah lelah bersama debu – debu itu. Panggilah hujan untuk membasahimu.

Dan aku hanya akan di sini, menunggu hingga sayap – sayapku tak lagi rapuh untuk mengajakmu terbang. Menjadi bintang di antara malam dan siang.
Suatu saat nanti. Sayapku pasti akan kuat untuk mengajakmu merasakan cinta yang Tuhan anugerahkan.

Dari Hati

11.22


Aku panggil senja itu jingga yang merona. 
Entah mengapa aku suka mendengarnya, tapi kata kata itu seolah meninggalkan beribu jejak tentang mega - mega yang hilang di kala malam. Aku rindu kehangatan bersama angin - angin yang pulang mencari kawannya, atau bahkan manisnya kicau sayu burung - burung yang menyarang. Sebagai ilalang  yang diam, mungkin riang bersama sajak - sajak bulan yang merindu. 

Dari Hati

21.02


Kepada cinta yang berdebu, aku mungkin malu untuk menatapmu. Mungkin suatu saat nanti kau akan mulai berkarat. Entah, aku tapi akan membiarkanmu seperti itu, agar nyata bahwa aku tak kagumi indahmu, tapi aku terjebak dalam pesonamu...

Dari Hati

Dalam Sabtu Malam

23.46


Aku selalu berjalan, menyusuri jalan berbatu kecil tanpa aspal. Entahlah, tapi suatu saat nanti aku mungkin berhenti. Mungkin karena lelah atau benar - benar sudah tak tahu arah. Aku hanya ilalang yang tertuntun awan tebal. Mengejar bintang yang selalu hilang di tengah malam. Mungkin suatu saat nanti, ketika malam bukan lagi bulan dan bintang, aku akan berhenti. Duduk dan bergumam tak pasti. Mungkin akan heran, mengapa aku pernah terus berjalan, walau tak ada kepastian.
Aku kini sarat akan keraguan dan kerinduan. Entah apa yang diragukan dan tak tahu apa yang dirindukan. Mungkin hanya rasa yang berlebihan, atau bahkan mimpi dalam angan...

Dari Hati

Melupakanmu...

17.50


Kau sepi. Tak cerah dan tak mungkin ku menerawang. Bukankah yang kau ingin aku terus bersama semak - sema tinggi tak bernadi? Sendiri tanpa siapapun teman canda. Terlalu sepi untukku tahu siapa dirimu sebenarnya. Bukankah kau selalu begitu?
Tak pernah membiarkanku mengerti tapi selalu membuatku berayun dalam keraguan dalam penantian. Selangkah saja kau datang, mungkin aku akan mengerti bagaimana senyummu. Tapi bukankah itu bahagiamu? membuatku buta tentangmu, lalu tergelitik bersama anganmu tentang ketidaktahuanku.

Aku telah menghapusmu! Jauh sebelum kau datang lagi dan memberikan jejak - jejak lagi. Aku sudah menguburmu dalam - dalam, agar aku tak akan bisa lagi ingat apapun tentang cerita lalu yang tak seindah purnama. Aku sudah sangat bahagia, bersama tarian balada rindu sang ilalang. Menghadap senja melepas surya dalam tidurnya. Aku sudah terbiasa menyaksikan gelap datang bersama kunang dan rengkuhan kelelawar. Tak lagi dingin juga sepi.
Kau sepi. Dan aku telah bersama bulan yang bersinar sampai senandung malamku usai.