Dari Hati

Cinta antara Aku, Coklat dan Gulali

13.46


Sebuah hati fiksi menurunkan kisah sederhana antara AKU, COKLAT, dan GULALI

Itu sekitar dua belas tahun silam, tepatnya ketika aku untuk pertamanya berdiri di tahun kedua ku berada di dunia indah ini. Sebelum aku bisa fasih mengucapkan kata demi kata.

Sebuah hembusan membawanya jatuh sampai di genggaman tangan kecilku, tak penuh tanganku menggenggam tapi sebuah perkenalan yang mengesankan. Sebatang besar coklat 'branded'. Tangan kecilku yang saat itu masih begitu lemas, memaksakan jari jariku untuk merobek bungkus batangan itu. Lidahku langsung menggaet coklat.

Kau ingin tahu apa yang ku rasakan setelah batangan itu menyentuh lidahku. 'Deg' Itu rasanya seperti... seperti aku berputar dalam duduk nyamanku, berkeliling di sebuah tempat tanpa nama, Ouuh tuhaan, aku ingin merasakannya lagi.

Lagi aku menyentuhkan batangan itu di atas lidahku yang dari tadi mencoba menggapai batangan itu. Aku memejamkan mataku dan merasakan, sebuah rasa indah menggertak alisku ini naik turun. 'WOW' fantastic...

Aku memeluk batangan itu di dadaku, dan membuat baju yang ku kenakan bernoda. Saat itu aku nyatakan perasaan yang begitu wonderful 'I LOVE CHOCOLATE ANY WAY YOU ARE'

Segelumit cinta itu membawaku dewasa, mungkin aku overesteem jika aku menyebut diriku, wanita kecil yang manis. Tapi nyatanya aku memang manis [i hope so]. 

Belum sampai titik dewasa yang benar ku alami, mataku serasa genit menoleh pada siapapun yang ada. Tapi saat itu aku tak membual, aku benar merasakan begitu lincah memandang sebuah batang kecil berhias apalah itu di atasnya. Mataku membuat bibirku menggelayutkan senyuman, seketika itu juga aku menghampirinya. Ku lihat lamat dan lamat, atas, bawah, kiri, dan kanan pula. Apalah itu sebuah bulatan gempal di atasnya. 

Pikiranku mulai sampai pada titik penasaran yang amat. Tak ada pilihan lain selain memasukkannya ke dalam mulut.

Emm, aku diam tetap pada hatiku yang terus memikirkan rasa apa yang pantas untuk batang dengan bulatan gempal ini. 'Incredible' Sekali lagi sepertinya akan membuatnya lebih indah.

Aku rasakan lagi rasa itu, speechless, that's totally great anyway. Penuh warna, indah, dan AKU SANGAT SUKA.

Okay, aku memang sudah sedikit berpaling dari batangan coklat itu, tapi bukan berarti aku akan meninggalkannya. Mungkin aku bisa menitipkannya padamu? Bersediakah? untuk sebentar menjaganya? sementara aku puaskan diriku bersama Gulali cute ini.
So, It's totally real that i'm in a bunch of love. As my second love, GULALI.

Whenever i drag them on my tongue, it's alway being sweet as my face. 
And it's LOVE whenever i come, it always being good and cordial. Warm and Fantastic anymore...

A Tale

15.38


Malam terus berjalan, dentingan detikpun tetap memutar,sedikit samar bayanganku mulai terhapuskan, raja malam yang sudah nyaman bersemayam di atas singgasana indah. Kini tinggal aku sendiri yang tak bisa memejamkan mataku, tak bisa masuk dalam cerita baru mimpi indah yang terus aku nantikan.

Mataku seperti tak rela meninggalkan kehangatan malam ini, walau sendiri tapi begitu mempesona. "Belum juga beranjak ke kamar?" suara yang membuyarkan gumamanku, kak Ray, "Hhh, malam ini terlalu indah untuk dilewatkan" kataku menyenderkan punggungku pada sandaran kursi yang nyaman. Kak Ray mengambil posisi duduk di sebelahku, "kau tau Kak? Bintang yang paling bersinar itu seperti bunda…" ucapku mendengakkan kepala memfokuskan mataku pada sebuah bintang tepat di atas kepalaku.


Kak Ray hanya diam dan mengikutiku memandangi bintang itu. Bintang itu seakan membuka kenanganku bersama bunda, tentu sebelum aku kehilangan bintangku yang paling terang yaitu bunda. Aku rasa, aku berjalan hanya dengan setengah jiwa setelah tuhan mengambil bintangku. Aku tak mengerti, apakah memang aku tak pantas memiliki bintang itu? Aku kehilangan bintangku setelah sebelumnya aku juga kehilangan bintang yang lain yaitu ayah. Begitu berat hatiku menjalani kehidupan tanpa bintang bintang yang menjagaku. Hanya tersisa tiga penerang bagiku, kak Ray, kakek, dan tuhan.

"Mengapa begitu cepat tuhan mengambil bintang itu? Mengapa begitu cepat aku kehilangan kedua hartaku yang paling berharga? Mengapa begitu mudah bagi tuhan meminta ayah dan bunda untuk kembali padanya?" tanyaku pada kak Ray yang masih terus memandangi bintang itu. "Tak seorangpun tahu akan kehendaknya" jawab kak Ray pelan.
Apakah tuhan tak lagi percaya padaku untuk menjaga bintang bintangku? Sehingga tuhan mengambil bintang itu?

"Bunda pernah mengatakan bahwa tuhan sayang pada ayah saat tuhan mengambilnya, dan aku tahu ketika bundapun diambil oleh tuhan, tuhan sayang pada bunda… tapi apakah tuhan tidak menyayangiku? Sehingga tuhan tak mau mengambilku?" tanyaku lagi…
Kak Ray diam menatap mataku yang sudah penuh dengan tetesan air mata, "hanya tuhan yang mengerti tentang itu, sayang…" suara kakek menjawab pertanyaanku.

"Lalu, mengapa aku tak boleh mengerti apa yang tuhan mengerti? Tapi mengapa tuhan mengerti semua yang aku juga mengerti?" tanyaku lagi menatap wajah hangat kakek.

"Karena tuhan adalah tuhan" jawab kakek lembut, "lalu, mengapa aku tidak bisa menjadi tuhan?" tambahku lagi, "sayang, tak ada seorangpun makhluk yang berhak menjadi tuhan, sudahlah, tuhan sudah membuat alur hidup kita dengan baik, dan tak perlu khawatir tentangnya" jawab kakek.

"Tak baik berada di luar terlalu lama pada malam hari" kata kakek, "segeralah tidur, kakek tak mau malaikat – malaikat kakek bangun kesiangan" lanjut kakek mengajakku dan kak Ray segera tidur.

Aku beranjak dari kursi taman itu dan segera melangkahkan kakiku menuju kamarku, kamarku yang kini selalu sepi setelah bunda tak pernah lagi mengetuk pintunya dan tak pernah menginjakkan telapak kakinya di atas ubin ubinnya. Aku rindu hangatnya ketukan pintu bunda saat memanggilku untuk makan malam, rindu kasih sayang bunda dalam langkahan kakinya selalu saat membangunkanku dari mimpi mimpiku.

Dan kini aku hanya bisa merindukannya, aku hanya bisa berangan bahwa suatu hari nanti aku akan mengalaminya lagi, dan mustahil adanya.

Aku menghela nafas sebelum melantunkan do'a pada tuhan, "Tuhan yang selalu aku sayang, tetaplah jaga bintang bintangku di sisi-Mu, tetaplah jaga mereka tersenyum. Tuhan yang selalu aku cinta, jagalah aku, kak Ray, dan kakek dalam tidur kami"

Mimpi panjang itu berakhir, titik titik embun itu menyapaku dan mengajakku untuk tersenyum memulai hari ini.

Aku menolak berangkat bersama kak Ray, dan memutuskan untuk berjalan sendiri. Aku mengerti, udara pagi ini begitu indah untuk dinikmati, untuk sekedar menyambut hangatnya nafas bumi.

Langkahku ini memutar otakku kembali pada saat aku selalu berjalan bersama ayah, dan bunda. Selalu ketika sore menjelang, aku bersama kak Ray dan kedua bintangku. Hanya untuk sekedar menyapa keadaan sekitar.

Ketika aku dan kak Ray yang berlarian membawa Queen dan Princess (kedua kucing Persia kami), lalu ayah dan bunda berdua berjalan mengikuti kami.

Aku merindukan ketika aku dan ayah berlomba mengejar bayangan kami, juga ketika aku selalu merayu bunda untuk membelikan satu cup es krim. Atau mungkin saat kami berempat berlomba mengayuh sepeda bersama.

Tapi jalan itu tak lagi penuh dengan keceriaan, hanya tersisa berkas berkas bahagia itu yang sudah terkuras habis oleh jalannya waktu.

Kini aku hanya bisa menikmati jalan itu sendiri, tanpa mengejar bayanganku bersama ayah, atau tanpa rayuan demi satu cup es krim. Tawa dan keceriaan itu begitu melekat dalam setiap tapakan kakiku, tapi tak kan ada lagi semua itu, tak akan pernah menjadi perwujudan yang sungguh aku inginkan.

Aku hanya berjalan menghitung langkahku sendiri, ingat ketika dulu aku tak pernah utuh menyelesaikan jalan ini. Selalu minta kehangatan gendongan ayah. Tapi, kini ketika aku lelah, dekapan hangat itu tak akan memelukku lagi.

Terakhir kali, aku berjalan bersama ayah, ketika aku mengantarkan tubuh ayah menuju tempat abadi ayah. Terakhir kali, saat aku selalu menunduk tak percaya bahwa inilah kehidupan yang harus aku jalani.

Aku mempercepat langkahku, aku tak lagi mau bermimpi tentang kisah dulu yang tak akan pernah ada kelanjutannnya lagi.

Tapi selalu, kecerobohanku membuat sedikit luka, tersandung batu sedikit besar di depanku, lututku mengeluarkan darah akibat mendarat kasar di atas aspal jalan. Kak Ray lewat dan sepertinya melihatku yang terduduk di tengah jalan yang sepi itu, lalu menghentikan mobilnya. "Melisa…" panggilnya membuatku kaget dan akhirnya menoleh.

"Aku baik – baik saja" jawabku singkat sambil mencoba untuk berdiri, walau lututku sedikit terasa sakit.

Seperti yang aku sudah katakan. Aku tak pernah menghabiskan jalan ini dengan sempurna. Akhirnya, terpaksa kak Ray mengantarkanku ke sekolah. "Yakin, tetap ingin ke sekolah?" Tanya kak Ray saat di dalam mobil. "Ya iyalah, masa hanya karena luka kecil ini harus absen?" jawabku enteng sambil membersihkannya dengan tisu.

Lagi, kenangan itu terbuka kembali. Ketika Bunda yang selalu membersihkan lukaku sementara aku selalu menangis tak tahan akan sakit yang aku rasakan. Sekarangpun aku ingin menangis, bukan hanya karena lututku yang sakit tapi hatiku juga terus terluka ketika kenangan itu kembali datang dalam hadapanku. Yang membuatku ingin kembali ke masa lalu.

Tapi, jika aku menangis sekarang, aku yakin kak Ray tak akan mengijinkanku untuk berangkat ke sekolah. Satu yang terus aku kecamkan dalam hatiku, aku tak boleh lagi menjadi seorang yang manja dan lemah. Bunda pernah mengatakan bahwa tuhan lebih menyukai seorang yang kuat. Dan jika tuhan suka pasti tuhan juga sayang, dan aku menunggu sampai tuhan akan sangat menyayangiku dan lalu mengambilku, sama ketika tuhan sangat menyayangi ayah dan bunda, lalu mengambil mereka.

"Tak perlu dijemput" kataku sebelum keluar dari mobil. Segera aku menuju kelasku, bel tanda masuk akan segera berbunyi.

Aku selalu bahagia ketika pelajaran melukis itu datang. Aku duduk di bawah pohon redup, dan mulai menggoreskan kuasku pada kanvas. Aku menggambarkan tiga kelopak mawar yang sedang merona. Ayah, bunda, dan aku yang sedang bahagia. Dan kak Ray sebagai tangkai – tangkainya yang kokoh.
Seseorang menyiramkan minyak catnya pada kanvasku dan membuat lukisanku luntur. Aku tak pedulikan siapa yang melakukannya. Aku diam seketika, lalu setelah aku mengambil nafas sedikit dalam aku bawa kanvas itu menjauh dari seseorang yang berbuat jahat, telah menghancurkan lukisanku.

Aku pikir, dia tak mengerti seberapa berartinya lukisan ini bagiku. Aku berlari, tak peduli akan apapun. Walaupun sebenarnya ku sadar jam kepulangan masih tiga jam ke depan.

Duduk, di bangku taman kota dekat danau. Aku meneteskan air mataku, memandang lukisan mawarku yang hanya tersisa tangkainya. Mengapa tuhan tak mengambilku seperti seorang jahat itu menghapuskan tiga mawar ini?

Hatiku hancur, sama seperti hancurnya lukisanku. Air mataku membuka lagi kenangan itu, aku rindu saat bunda selalu menghapuskan air mataku, aku rindu saat ayah selalu membuatku terdiam dari tangisanku, aku rindu itu semua. Dan sekarang tak ada yang menghapuskan air mataku lagi, tak ada yang berusaha membuatku terhenti dari tangisanku.

Aku terpojokkan dalam semua kenyataan pedih itu, kehilangan semua permata hidupku. Mengapa tuhan ingin melihatku menangis?

Kini siapa yang bisa membuatku terlepas dari semua kekesalanku akan lukisan ini? Siapa yang bisa menarikku dari sejuta kekesalan ini?

Tiba tiba setitik air mata membasahi pipiku. Aku tak bisa lagi menyembunyikan semua perasaan rinduku. Matakupun tahu, air mata itu rela mengobati kerinduanku, tapi tetap tak bisa menggantikan kehangatan ayah dan bunda.

Aku selalu ingin lagi dekapan bunda saat aku menangis, aku ingin rasakan lagi pelukan ayah yang begitu hangat. Dan bahkan aku sangat menginginkannya.

Aku pikir kesedihan hidupku sudah memuncak ketika aku harus merelakan ayah dan bunda meninggalkanku. Tapi ternyata, kepedihan hidup tanpa kedua permataku lebih membuat hatiku berkeping – keping patah.

Rasanya hatiku belum bisa beradaptasi terhadap kehidupan baruku ini. Semua terasa jahat dan kejam, bagai runcingan bambu yang selalu menghadapku dan siap membunuhku kapanpun. Bahkan seburuk – buruknya mimpiku, tak pernah ku dapat seburuk ini.

Seharusnya bunda di sampingku, menghapuskan air mataku, mendekapku erat dan sangat hangat. Seharusnya ayah di sampingku, menghiburku, menenangkan hatiku dari golakkan kekesalan. Tapi di mana mereka? Di mana ayah dan bunda? Di mana mereka yang selalu setia di sampingku? Di mana mereka yang selalu tegap membentengiku dari segala kesedihan kejamnya kehidupan?

"Tuhan, aku lelah terus merasakan kesedihan ini, aku lelah setiap waktu menangis, aku lelah hatiku terus merindukan ayah dan bunda, aku lelah". "Apakah sulit, hanya untuk mengembalikan ayah dan bunda dalam hidupku? Apakah berat, melihatku bahagia bersama ayah dan bunda setiap waktu?".

Aku tak mau hidupku yang sekarang! Aku benci hidupku yang ini! Aku tak rela kebahagiaanku pergi bersama kepergian ayah dan bunda!

Setiap waktu berdetik, setiap itu pula, kebahagiaan itu menjauh dariku. Pergi dan meninggalkanku entah sampai kapan! Entah ke mana kebahagiaan itu! Entah bosan denganku! Entah marah denganku! Kebahagiaan itu tak sedikitpun mengucapkan salam perpisahan! Tak sedikitpun menitipkan pesan.

"Tuhan, sekarang aku harus apa? Apa yang bisa aku lakukan dengan diriku ini?" "Mengapa Kau ambil dua cahaya dalam hidupku, dua cahaya kebahagiaan yang hanya itu di dunia ini"

"Aku mau ayah dan bunda kembali! aku mau mereka! Hanya mereka! Bukan yang lain!". "Ambil semua dalam hidupku! Tapi jangan mereka! Jangan mereka!"

Mungkin hari ini adalah hari buruk, bahkan lebih buruk, ataupun terburuk dalam kehidupanku! Ketidakrelaan itu terus membayangi, menghantui langkah dan hembusan nafasku.
...

A Tale

21.35

Dear diary, Awal ku menatap wajahnya. Pria sebelas tahun itu yang begitu dingin menatap. Tak banyak yang ia keluarkan dari mulutnya. Sosok yang banyak memunculkan pertanyaan dalam pikiranku, dan membuat mataku ingin terus mengintainya."Hhh" aku sedikit menyela nafasku dan mengelap keringatku, "Akhirnya selesai juga" lanjutku meletakkan kuas lukisku di atas tanah tempatku duduk. Aku menyenderkan tubuhku dan tersenyum puas melihat lukisanku yang tidak terlalu buruk itu.

"Bunga matahari?" seutas suara mengetuk gendang telingaku dan memaksa ku untuk menoleh mencari sumber suara itu. Mataku menangkap sepasang mata sipit, "kau?" kataku pada seseorang yang ternyata pria kecil yang selalu aku selipkan dalam diary ceritaku.


Pria itu, entah siapa namanya. Diam tanpa senyuman dan akhirnya membuka suara, "Revan…" pria itu menawarkan tangannya untuk bersalaman. "Nikita…" balasku menyambut juluran tangannya.


Awal aku mengenalnya, tak lama setelah pandangan pertamaku terhadapnya. Sosok yang dingin memang, tapi entah apa yang ku rasakan semuanya terasa nyaman dengannya.


Kata demi kata yang ia sampaikan tersusun lembut hingga telingaku. Aku pikir pria itu, tak selembut itu.


Hari ini berlanjut pada hari esok, hari esok sampai pada esoknya, dan begitulah aku dan pria kecil itu saling mengenal hingga begitu dekat kami saling mengenal.


...

Dear diary,

Begitu nyaman sosoknya kuterima, begitu dan begitu terus aku rasakan dan tak bisa aku mengelak akan perasaan itu. Hari – hari yang telah berlalu, membuatku semakin merasa tak bisa jauh darinya. Semakin dan semakin aku coba untuk berlari tak mengenalnya, tapi tak lagi aku bisa sembunyikan semua ini di bawah lipatan hatiku.


"Ini untukmu dan ini untukku" katanya memberikan sebuah kertas surat kosong padaku. Aku mengernyitkan dahi, memberikan tanda aku bingung dengan ini. Belum aku mengucapkan apapun, ia menyambar. "Kau tulis semua keinginanmu yang sangat kau inginkan, dan begitupun aku" jelasnya lalu membuka tutup sepidol berwarna biru.


Aku tersenyum kecil dan mengikutinya menulis sebuah do'a,


Suatu saat nanti, aku ingin Tuhan memberi tahuku tentang apa yang sebenarnya aku rasakan padanya. Semua yang aku rasakan dan sulit untuk hilang. Hingga tak lagi terus ku bertanya dalam setiap do'a yang aku panjatkan.


Nikita

Selesai aku menutup kembali sepidol itu, pria kecil di depanku itu mengambil kertas itu. "Kembalikan padaku!" kataku keras. "Aku ingin tahu apa yang kau tulis dalam kertas ini" katanya membuka lipatan kertas itu.

Tapi, untungnya aku bisa mengambil kertas itu kembali dalam genggamanku sebelum ia membaca semuanya. "Memaksa itu hal yang haram!" ucapku keras sambil melipat kembali kertas itu.


"Ya sudah, sekarang kau ikut denganku" ia menggandeng tanganku dan langsung berlari tanpa memikirkan, nafasku yang tersengal mengikutinya berlari. "Baru saja berlari sebentar, sudah seperti sekarat" katanya padaku sambil tertawa kecil. Aku hanya diam, mengurus nafasku yang masih sangat tak teratur.


Pria kecil itu memberikan sebuah balon hijau padaku, dan menggenggam satu balon oranye pada tangannya. "Kau boleh ikat kertasmu pada tali balon hijaumu".


Aku mengikat dengan rapi, lalu tiba – tiba pria junior itu membuat tanganku terlepas dari balon itu, dan balon hijau itu terbang membawa kertasku sejajar dengan balon oranye miliknya bersama kertasnya juga.


"Aku harap Tuhan akan membaca do'a kita" ucapnya tersenyum manis. Aku menganggukan pelan kepalaku


...

Dear diary,

Rasanya ku sudah cukup bosan dengan berbagai tanda Tanya besar dalam hatiku tentang perasaan ini. Aku tak bisa menemukannya sedikitpun. Semakin aku sadari perasaan ini, semakin aku tak sanggup untuk menemukan kepastian tentang jawaban, macam apakah perasaanku ini.


Aku terlamunkan dalam bayang bayang perasaan yang selalu saja mangikuti ke manapun aku beranjak. "Nikita…" suara pria kecil itu memecahkan lamunanku. Aku hanya menoleh dan menatapnya ringan. "Sedang apa kau, berdiam di situ?" tanyanya sambil mendekatiku. Aku menundukkan pandanganku dan tak menjawab pertanyaannya.


"Kau ini tidak bisa mendengar atau bisu?" tanyanya lagi duduk di sebelahku. "Bisakah kau hentikan lidahmu untuk berbicara?" balasku masih dengan menunduk. Pria kecil itu terdiam dan tak berani berbicara apapun lagi.


...

Dear diary,

Sejak aku mengakui kehadiran perasaan ini, aku semakin tak bisa berkata banyak padanya. Seringkali aku hanya diam, atau bahkan kami berdua berdiam bersama. Membuat perubahn demi perubahan, yang aku takut perasaan ini akan membuatku kehilangannya.


"Kau bosan berteman denganku?" pria kecil itu memojokkan pikiranku jauh dalam sudut kecil. Mataku membulat mendengar ucapannya, "Apa yang sebenarnya kau bicarakan?" balasku bertanya.


"Kau ini sebenarnya berpura – pura tak mengerti atau memang tak mengerti?" pria kecil itu bals bertanya dan membuatku semakin bingung. "Aku benar – benar tak mengerti, Van…" jawabku ringan menatapnya.


"Kau selalu diam, atau bahkan melarangku untuk berbicara, lalu apa maksud semua itu?" jelasnya sedikit. "Apakah semua itu tanda, kau tidak ingin lagi berteman denganku? Atau kau bosan denganku? Atau kau…"


Aku memutuskan ucapannya sebelum ia menyelesaikannya, "atau, atau, dan atau! Terus saja kau menghujaniku dengan ucapanmu yang tak jelas itu"


Aku meninggalkannya karena kesal, pria kecil itu berpikiran seperti itu terhadapku.


...
Dear diary,

Hampir aku kehilangan pria junior itu, hampir aku takkan lagi bersamanya. Aku menyerah dengan semua perasaan ini. Semuanya begitu berubah setelah perasaan ini terus memenuhi hatiku.


...

Dear diary,

Lama setelah aku mengenalnya, kini kami sudah sama – sama beranjak dewasa. Dan Tuhan masih membiarkanku dekat dengannya. Hanya saja, kini kami tak sedekat itu. Mungkin aku dan pria yang sekarang beranjak dewasa, hanya bisa saling berbalas senyum dari jauh. Tak lebih dari itu, tak lagi bermain bersama, tak lagi bisa bercanda bersama, tak lagi berkhayal bersama.


Aku melihatnya yang sekarang sudah memenuhi tingkat remaja. Matanya yang sipit, bisa melirik kanan, melirik kiri, memandang wanita – wanita cantik.


...

Dear diary,

Malam ini aku menuliskan semua ini, ditemani tetesan air mata yang memenuhi semua perasaan dalam hatiku. Aku yang lama tak mengenalnya, ternyata semua telah berbeda.


Pria junior yang dulu selalu menemaniku tersenyum, kini sudah menjadi sesosok remaja bersama dengan yang lain. Aku bahagia, itu artinya Tuhan memberikan anugerah perasaan cinta padanya.


Hingga dapat merasakan cinta yang begitu indah, dan aku baru menyadari segumpal perasaan yang sejak dulu membayangi jejakku adalah perasaan yang hanya akan menjadi mimpi – mimpiku dalam kehidupanku di hari – hari esok.


Aku harus bisa menahan perasaan itu untuk melihatnya bahagia.


...

Dear diary,

Akupun telah memastikan masa remajaku. Dan akupun tahu bagaimana cara menahan perasaanku ini. Dan Tuhan telah memenuhi keinginanku untuk mengetahui apa sebenarnya yang aku rasakan padanya.