Dari Hati

Pesan untuk Cinta

19.11


Maaf.
Maafkan aku yang tak bisa lebih lama melihatmu dalam bayang – bayang kerlingan hujan.
Aku takut rasamu hanya semu.
Aku takut kau hanya maya.
Maafkan aku.
Aku masih terlalu takut untuk melihatmu di setiap sela tirai jendela mimpi.


Cinta.
Ini kali pertama aku merasakan yang berbeda terhadapmu. Mungkin aku benar – benar sudah mencintai, tapi bisa saja rasa itu hanya bagian dari kisah hati yang sepi.
Kau yang pertama. Membuatku merasa. Kau yang pertama. Membuatku percaya bahwa Tuhan memang menciptakanku dengan sebuah hati yang sanggup mencintai.
Tapi, maafkan aku.
Karena kau yang pertama. Tapi aku masih terlalu takut untuk melangkah.
Maafkan aku.
Aku masih merasa nyaman hanya dalam angan saja. Meski mimpi ataupun hanya desahan ilalang yang berayun, tapi aku masih merasa bahagia.
Aku bahagia, aku mampu mencintai. Walau hanya dalam diriku. Sendiri. Aku sangat bahagia.


Cinta.
Kau memang mulai sedikit berdebu. Tapi aku belum ingin menghapus debu itu.
Tapi ketika kau tak lagi sanggup menahan debu itu. Panggilah mawar, melati, atau bahkan sakura musim semi untuk meniupkan debu – debu itu.
Cinta.
Tak peduli sebanyak apa debu itu.
Aku akan tetap merasa bahagia. Biarkan debu itu menjagamu, meski sedikit ternodai tapi tak akan ada satupun yang berani mendekatimu.
Tapi ketika kau sudah lelah bersama debu – debu itu. Panggilah hujan untuk membasahimu.

Dan aku hanya akan di sini, menunggu hingga sayap – sayapku tak lagi rapuh untuk mengajakmu terbang. Menjadi bintang di antara malam dan siang.
Suatu saat nanti. Sayapku pasti akan kuat untuk mengajakmu merasakan cinta yang Tuhan anugerahkan.

Dari Hati

11.22


Aku panggil senja itu jingga yang merona. 
Entah mengapa aku suka mendengarnya, tapi kata kata itu seolah meninggalkan beribu jejak tentang mega - mega yang hilang di kala malam. Aku rindu kehangatan bersama angin - angin yang pulang mencari kawannya, atau bahkan manisnya kicau sayu burung - burung yang menyarang. Sebagai ilalang  yang diam, mungkin riang bersama sajak - sajak bulan yang merindu. 

Dari Hati

21.02


Kepada cinta yang berdebu, aku mungkin malu untuk menatapmu. Mungkin suatu saat nanti kau akan mulai berkarat. Entah, aku tapi akan membiarkanmu seperti itu, agar nyata bahwa aku tak kagumi indahmu, tapi aku terjebak dalam pesonamu...

Dari Hati

Dalam Sabtu Malam

23.46


Aku selalu berjalan, menyusuri jalan berbatu kecil tanpa aspal. Entahlah, tapi suatu saat nanti aku mungkin berhenti. Mungkin karena lelah atau benar - benar sudah tak tahu arah. Aku hanya ilalang yang tertuntun awan tebal. Mengejar bintang yang selalu hilang di tengah malam. Mungkin suatu saat nanti, ketika malam bukan lagi bulan dan bintang, aku akan berhenti. Duduk dan bergumam tak pasti. Mungkin akan heran, mengapa aku pernah terus berjalan, walau tak ada kepastian.
Aku kini sarat akan keraguan dan kerinduan. Entah apa yang diragukan dan tak tahu apa yang dirindukan. Mungkin hanya rasa yang berlebihan, atau bahkan mimpi dalam angan...

Dari Hati

Melupakanmu...

17.50


Kau sepi. Tak cerah dan tak mungkin ku menerawang. Bukankah yang kau ingin aku terus bersama semak - sema tinggi tak bernadi? Sendiri tanpa siapapun teman canda. Terlalu sepi untukku tahu siapa dirimu sebenarnya. Bukankah kau selalu begitu?
Tak pernah membiarkanku mengerti tapi selalu membuatku berayun dalam keraguan dalam penantian. Selangkah saja kau datang, mungkin aku akan mengerti bagaimana senyummu. Tapi bukankah itu bahagiamu? membuatku buta tentangmu, lalu tergelitik bersama anganmu tentang ketidaktahuanku.

Aku telah menghapusmu! Jauh sebelum kau datang lagi dan memberikan jejak - jejak lagi. Aku sudah menguburmu dalam - dalam, agar aku tak akan bisa lagi ingat apapun tentang cerita lalu yang tak seindah purnama. Aku sudah sangat bahagia, bersama tarian balada rindu sang ilalang. Menghadap senja melepas surya dalam tidurnya. Aku sudah terbiasa menyaksikan gelap datang bersama kunang dan rengkuhan kelelawar. Tak lagi dingin juga sepi.
Kau sepi. Dan aku telah bersama bulan yang bersinar sampai senandung malamku usai.

Dari Hati

22.26

Aku masih sama, penulis setia buku kecil ini yang hampir runtuh terberai perasaan. Masih menghitung berapa lama lagi aku akan lupa tentang hal - hal kelabu. Tapi, kalaupun tak juga habis waktu, aku tak akan memaksakan matahari tampak disela awan mendung. Aku hanya mencoba, untuk tak lagi mengingat. Aku hanya mencoba untuk berdiri dan bangkit tanpa uraian kisah yang lalu. Aku ingin berlalu tanpa jejak yang bertalu di punggungku. Tanpamu yang menjadi bayang pelangi. Hanya itu...

Dari Hati

Sendiri...

22.26


Dalam tetes hening tangis langit, aku tak pernah sendiri...
Diantara genangan air di sudut mata, aku tak pernah sendiri...
Dalam rindu, senja, dan mega yang menjingga, aku tak pernah sendiri...
Aku bersama cerita - cerita tentangmu dulu...

Bait indah dendang piano yang menemani...
Tali - tali gitar yang beradu mengiringi...
Aku tak pernah sendiri...

Dari Hati

Sajak Hati

12.28



Aku tidak mengerti. Tentang arti daun yang berayun tak pasti. Dahannya berdayu bersama lelayu yang gugur merayu. Sepi ini terlalu dingin, Membuat rayap – rayap tersenyum menggigil di bawah tanah. Resah bersama angin yang mendesah rindu dalam gelap yang menjamah. Rengkuhan dan pelukan tak lagi datang bersama derai derai debu yang berlalu. Kini sendiri, meraba hati yang seperti peti mati. Tak bersama bunga yang bersemi tapi semut yang berhenti di sudut hati.


Aku tidak mengerti. Mengapa kini aku merasa sepi. Sendiri. Di sini terlalu gelap, tak ada bintang yang berkerlap. Tanpa bulan yang tanggap. Bahkan telingaku hampa, tak ada bisikkan kecil yang menyapa. Tak ada seruan lagi yang menyapa. Senja hilang, terbawa ilalang. Aku tak tahu lagi apa yang masih ada disampingku. Semua raib, terbawa angin – angin ghaib. Jejakku pun tak lagi tampak, hanya desahan genggaman tanganku yang beku.



Aku tidak mengerti. Meski aku tak pernah lelah bertanya kepada arah yang fana. Aku tak pernah mendengar jawabnya, meski hati terus meronta. Bersama bisikan dan bayangan, mereka hilang menembus ilalang. Meninggalkan diri rapuh ini hanya bersama senyuman usang yang malang. Bahkan, mawar itu mulai menggugurkan mahkotanya, memilih hilang daripada bersamaku. Memilih hilang daripada menjadi sarang semut semut hitam.
Aku tidak mengerti. Mengapa melati begitu sakti, semerbak wanginya yang mampu menggertak sarang – sarang lebah nan jauh di sana. Kembang kecil bertangkai mungil, tumbuh diantara serangga – serangga yang menggigil. Rangkainya tangguh, tak menaruh ragu sedikitpun. Menawan, di bawah awan – awan yang menari ringan.

Dari Hati

Merindukanmu

19.30

Hanya tersisa rindu yang menggenang di sudut mata...
Setelah sekian lama, aku kembali teringat...
Tentang masa yang dulu sempat menghiasi langitku...
Tentang waktu dulu bersama kapas putih sebagai payungnya...
Aku merindukanmu, bagai dendang sepi di lorong hitam...
Aku merindukanmu, selayaknya kumbang merindukan bunga dalam gugurannya...
Terlalu rindu...
Apa dua tahun terlalu mudah bagimu untuk tak lagi ingat aku?
Apa dua tahun telah cukup menguburku bersama jejakmu?
Aku merindukanmu...
Selalu di langit yang sama, di hari yang sama, aku merindukanmu...

Dari Hati

17.17

Tak pernah mengerti secara pasti, mengapa pelangi itu begitu cantik
Tak juga pernah tahu, mengapa awan lembut bisa menjadi sangat menakutkan
Akupun tak pernah paham, mengapa ikan harus berenang

Bahkan terlalu rumit rasanya untuk melihat semut hidup di balik dinding
Bagaimana bisa katak melompat dengan perutnya yang besar

Aku hanya manusia,,
Selalu bertanya dan tak pernah bisa menjawab
Terkadang terlalu lelah untuk mengetahui bahwa banyak sekali hal yang aku tidak tahu

Aku ini begitu kecil...
Tak mengerti apa - apa
Tak seperti burung di sana, mungkin mereka tahu kehidupan di atas sana...

Aku ingin bisa terbang, membawa cita dan asaku ke sana...
Aku mungkin tak ingin kembali lagi,,
Karena mungkin di sana begitu indah....

Dari Hati

Tak Terjangkau Lagi

22.32

Kalaupun malam akan secerah langit pagi, tetap tak mungkin aku menyentuh awan...

Kalaupun lagi hujan turun, tetap tak mungkin aku menggenggam air...

Bukannya aku terlalu rendah harapan, tapi memang mentari tak pernah memperkenankan embun untuk tetap tinggal...

Terlalu tak terjangkau, bagai dia yang kini tak berjejak


Dari Hati

Suatu Saat Nanti

22.01


Suatu saat nanti, aku ingin terbang
Bersama sepasang sayap yang tak mudah rapuh
Menyusuri  angan dan asa di atas awan
Suatu saat nanti aku ingin terbang
Menyusuri mimpi - mimpi yang karam
Aku ingin terbang dan tak ingin kembali
Terus terbang tak berpijak
Seperti awan dan langit biru
Di atas bebas

Dari Hati

Seperti Nafas

16.03


Langkahpun seperti nafas, datang kemudian pergi. Tak beda jauh dengan jejak di atas pasir, kemudian hilang. Baru saja aku menarik nafas, baru juga aku menghempaskannya. Sederhana. Setelah sapaan hangat selamat datang, kemudian selamat tinggal tak pernah ketinggalan. Semua satu paket. Bukan masalah waktu, bukan juga karena setelah hari ini masih ada esok dan esoknya lagi. Tapi, semua tentang setiap pertemuan yang mengesankan.
Pertemuan itu hangat, sama seperti matahari pagi. Perpisahan tak kalah dingin dengan embun - embun penutup malam. Hidup itu sudah ada lintasnya, harus begini kemudian begitu. Tapi semua akan sampai pada satu titik,
PERSIMPANGAN SALAM KENAL DAN SALAM RINDU

Dari Hati

Harapan

20.13

Setelah hujan, setelah badai

Kembali cerah, kembali bersinar

Aku tak sebaik mereka

Tak sempurna

Tapi harapan tak pernah ada batasan


Dari Hati

21 Mei 2012

23.31

Aku membenci, kemudian mencintai...

Aku mencela, kemudian memuji...

Seperti itukah hidup?

Aku bahagia, dan terkadang aku bersedih

Semua datang dalam satu ikatan

Senang dan sedih dalan satu ikatan

Cinta dan benci dalam satu satuan

Celaan dan pujian dalam satu rangkaian
Bukankah begitu adil hidup ini?
Tak perlu memikirkan mau makan apa besok,
Tak perlu berburuk sangka pada awan awan yang menggumpal hitam
Karena ada lapar pasti nanti ada kenyang,
Karena ada hujan pasti nanti ada pelangi
Hanya tinggal mengendalikan dinamika yang Tuhan berikan

Dari Hati

Sky

22.16


Langit,
bersama putih, terangkai indah di tempat tak terjangkau
sebelum hujan, setelah matahari, tetap biru
Kerlingannya manis, semanis kicauan burung di bawahnya
Langit biru,
Di tepi pasir pantai, terlukis tak terhingga cantiknya
Selalu riang, bersama bintang

Dari Hati

Ambisi

22.02

Aku takut, lama kelamaan aku akan tertelan oleh ambisiku sendiri

Aku takut, jika nanti ambisiku sendiri yang akan mengambil kemudi hidupku

Tak semudah meniup lilin yang menyala, ambisi itu bisa jadi seperti debu, selalu ada walau tak pernah terlihat

Bahkan sekarang aku sedang dibuat bingung oleh ambisiku sendiri

Terlalu banyak

Terlalu tinggi

Itulah aku, ambisinya jauh lebih besar dibandingkan kemampuannya


Dari Hati

Hati yang Terbungkam

22.05


Dia yang senyumnya tak pernah rapuh tapi selalu merapuhkan jalanku. Segenap pandangan yakinnya yang justru membuatku semakin tersesak di garisku. Telah lama, dia susuri kerikil - kerikil di bawah redupnya biru yang membentang. Bahkan jauh lebih lama dari aku yang baru saja mengerti apa itu debu.

Entah...

Aku selalu saja membantah...

Aku tak pernah ingin menyadari bahwa dia yang selalu menggenggam erat pagar - pagar jalanan itu ternyata terlampau jauh menyentuh hatiku. Aku tak pernah ingin mengakui bahwa dia yang selalu berjalan dalam bisu ternyata bisa begitu dalam menyusuri setiap lapang - lapang hatiku.

Dia, yang hanya diam dalam kedipan matanya. Selalu saja bisa menangkap derai - derai sepi yang aku rasakan.

Dari Hati

Rindu

21.39


Masih benar kah aku, jika aku terus menerka tentang kabarnya selama ini? Apa tak terlalu berlebihan? Apa semua masi baik - baik saja? Lalu siapa yang akan menjawab pertanyaan ini? Apakah dia masih sama seperti dua tahun lalu? Masih senang tertawa sendiri oleh candaanya? 

Masihkah?
Aku hanya bingung, apa yang harus aku lakukan jika pertanyaan itu kembali mengembangkan balon - balonnya. Apa yang harus aku jadikan jawaban ketika aku memang sama sekali tak tahu apapun tentangnya. Hanya bersama angin yang mendengus, dan bersama rintik kecil hujan sore hari, bagaimana aku bisa dapatkan jawaban?
Kesal. Aku kesal ketika aku tak pernah mendapatkan jawaban yang aku inginkan! Tapi harus aku tujukan pada siapa kekesalan ini?

Rasanya mengherankan, aku tak pernah lelah untuk merasa seperti ini...

Dari Hati

Mengenangmu

22.23

Jika saja aku bukanlah aku, mungkinkah aku akan mengenalmu sebagai bayangan hitam? Akankah aku akan merasa begitu kehilangan ketika kau memang benar - benar pergi. Ini tahun kedua, tapi aku masih saja merasa kau akan kembali walaupun semua pikiran itu hanya membuatku semakin terpojok lagi.

Dua tahun lalu, terakhir kali aku menatapmu, dua tahun lalu kau masih berdiri di depan kelasku, tersenyum dan tertawa karena candaanmu sendiri. Dua tahun lalu, aku tak mengerti semua ini akan terjadi padaku. Dan sekarangpun aku masih sulit untuk mengerti apa yang terjadi. 

Jika saja aku tak pernah mengenalmu, mungkinkah aku takkan pernah berpikir tentangmu? Akankah langit malam akan tetap cerah? Ini tahun kedua, sudah terlalu lama untuk terus mengenangmu. Seharusnya semua sudah tak lagi menjadi cerita duka, bahkan seharusnya aku sudah bisa tersenyum untuk mengingatnya. Karena mungkin sekarang, kau ada ditempat yang lebih baik.

Aku mungkin terlalu egois untuk tetap ingin mengenangmu. Tak seharusnya kau masih ada dalam tulisan ini. Dua tahun lalu, dua tahun lalu! Semestinya sudah terkubur dalam - dalam, bahkan sangat dalam. Tapi kenyataanya, bahkan aku masih tak mau untuk mencoba mengerti. Mungkin aku terlalu takut untuk benar - benar terlepas darimu.
Seandainya kau katakan satu kata sebelum kau pergi mungkin tak akan menjadi seperti ini.
Mungkin cerita ini akan menjadi kenangan manis.
Mungkin aku akan mengerti.

Dari Hati

Masih Merangkai

15.17


 Ini tidak semestinya menjadi semak dan ilalang diantara belukar dan sayupnya suara rayap di bawah tanah. Ini belum usai, aku masih merangkainya. Aku tak semestinya menjadi rangkaian mimpi yang runtuh dimakan semut, bahkan aku masih mampu untuk merenggangkan tanganku menyentuh cita itu, walau hanya sentuhan tak menentu. Aku masih mencoba merangkai, namun aku sudah runtuh.
Masih ada resah tanpa arti, aku masih ingin menjadi mimpi bersama pelangi, bukan terinjak - injak oleh keangkuhan dunia. Aku masih ingin dilihat sebagai binar, bukan gelap yang dingin. Aku masih ingin menjadi senyuman, bukan air mata yang menghujam deras. 

Lalu, bagaimana? aku sudah terlanjur terurai. Mimpi itu sudah terlalu bercerai berai entah ke mana. Hanya ada satu. Mimpi kecil.
Aku masih mencoba merangkai, debu - debu bekas runtuhannya, jejak - jejak mimpi yang putus asa.

Aku belum putus asa, walau asa itupun hanya debu dalam jariku. Tapi aku masih memilikinya. 

Aku akan terus merangkai, sampai aku menjadi pelangi di seberang hujan sana, hingga semua melihatku sebagai binar dan warna, hingga aku tak lagi sakit terinjak - injak.

Dari Hati

Manusia Persimpangan

21.58


Aku hanya manusia yang berdiri di persimpangan. Nafasnya hanya sehela- helai rumput di sawah. Matanya selalu bulat tapi selalu kosong. Aku ini manusia penghuni persimpangan. Berjalan tapi entah ke mana hendak tujuannya. Bernyanyi tapi entah apa yang ternyanyikan. Berpikir tapi tak mengerti akhir pikirannya.
Aku manusia yang hidup di persimpangan. Antara merindukannya atau menginginkannya hilang. Terlalu bersimpang menurutku. Bingung dan selalu bingung. Tapi manusia persimpangan harus tetap jalan atau hanya akan menjadi rumput di tengah kerikil - kerikil kecil. Atau  bahkan hanya tempat pelarian para tuan hujan. Aku memang harus tetap berjalan, menyusuri jalan yang terus dalam persimpangan. Sebesar apapun ku ambil keputusan, persimpangan itu akan tetap mengikuti, aku memang manusia yang hidup untuk persimpangan.

Langit, yang aku pandangi, jingga hampir gelap. Burung - burung itu terlalu ceria untuk melihatku muram, mereka terbang melebarkan tulang - tulang sayapnya bersama kawan - kawan. Dan aku hanya bisa terpaku padanya, mencoba melupakan bahwa aku memang sendiri. Menutup kenyataan bahwa aku sedang meneteskan air mata.

Aku hanya mencoba untuk tidak peduli lagi dengan apa yang aku rasakan. Persimpangan ini terlalu rumit. Aku ingin berhenti, berhenti peduli pada rasaku yang seharusnya tidak untukku. Selalu menangisi dirinya setiap malam menggema. Seperti manusia bodoh, berhari - hari bersama bayangan semu.

Aku memang manusia di persimpangan yang jalan menysuri jalan tanpa tepi. Manusia persimpangan yang tetap bingung akan ke mana. Tapi jawabannya adalah, aku adalah manusia di persimpangan yang harus tetap berjalan...

Dari Hati

22.16

Terkadang angin membuatku iri pada debu...
Debu itu terbang kepadamu lalu kau menyentuhnya...
Aku iri pada debu yang kian mudah memelukmu, menari dalam genggamanmu, rasakan rindu itu terbang terbawa sayupnya angin yang menerpa...
Mengapa kau begitu dekat dengan debu? Lalu denganku tidak...
Langkah ini selalu beserta rindu...
Aku tak suka bahwa aku rindu padamu...
Aku tak suka bahwa kau membuatku rindu...


Dari Hati

Siang di depan Padang Hijau

12.43

Padi padi itu hanya diam, padahal biasannya menari riang...
Angin juga membisu, padahal biasanya merengek jika tak disapa...
Siang ini matahari bersama sinarnya, memancarkan hangat tapi hanya sedikit membuatku berkeringat...
Aku banyak herannya hari ini...
Tak seperti biasanya padang itu sunyi tanpa kupu kupu dan juga kumbang merah...
Aku resah jika mereka tiba - tiba menghilang...
Bagaimana jika semuanya akan benar - benar menghilang?
Entahlah, semua pikiranku hanya untuk keresahan dan ketakutan...


Dari Hati

Tuhan, Sederhanakan Aku

17.58

Hujan, senja ini begitu gelap. Hujan, aku takut ketika langit akan benar - benar gelap. Hujan aku bingung harus berjalan ke mana. Hujan, aku tak mengerti langkah ini akan membawaku ke mana. Aku hanya tahu, aku akan tetap berjalan walaupun entah langit akan menjadi pekat. Hujan, aku tak ingin gelap ini terus bersamaku.
Hujan, apakah kalian tahu? sungguh banyak hati ini menginginkan aku terus menatap langit. Tapi, aku takut ketika nanti langit runtuh. Aku takut, ketika aku tahu bahwa langit akan menimbunku bersama rayap - rayap menggelikan itu. Hujan, apakah kau tahu? mengapa banyak ketakutan yang memburu diriku? Semua karena aku selalu inginkan apa yang terlalu jauh di sana. 

Hujan, apakah kau mau dengarkan do'aku pada Allah di sana? Hujan, aku selalu minta pada-Nya untuk menyederhanakan aku. Aku mungkin sudah terlalu lelah melihat mimpi - mimpi itu mengejarku.

Tuhan, aku ingin menjadi seseorang yang sederhan, seseorang yang selalu bisa menyadari semua kenikmatan-Mu. Tuhan, aku ingin menjadi sederhana, seperti abu yang ringan tertiup angin, begitu sederhana. Seperti suara tangis jangkrik dalam sunyi malam, begitu sederhana.

Tuhan, sederhanakan aku...
 Agar aku bisa menerima setiap kegagalan..
Agar aku selalu bisa sadar kekurangaku..
Tuhan aku ingin sederhana seperti semut yang berjalan...

Dari Hati

00.37

Malam...
Yang tak pernah lupa akan rindu
Rindu itu seperti hatiku,,
Adakah yang mengerti bagaimana hatiku?
Ada, dia...
Terlampau lepas dia pernah rekam hatiku...
Tanyakan saja padanya,,
Tentang rindu yang dia bawa lari...
Entah ke mana, entah di mana...

Dari Hati

Melihat Diriku

21.53


Remang yang sinis ini sungguh dingin termenung tanpamu. Raupan cahaya yang tertutup embun tak akan pernah hapus sepinya tiupan angin tanpamu. Ekor bintang itu mulai menjuntai menitip salam terakhir pada malam, tak lama lagi malam akan benar - benar gelap. Seperti remuknya rinduku dalam kotak tanpa lilin. Seperti rintihan tak tergapai di dasar hati tanpa sinar.

Aku tidak bohong apalagi mengada - ada. Bukan maksudku ingin memintamu kembali, memamerkan betapa rasa ini berjalan tanpamu. Tapi aku hanya ingin berbisik pada kuncup - kuncup kunang yang berterbangan. Mungkin mereka yang akan bisa mendengarkanku. Tak seperti jejak - jejak yang hanya bisa katakan yang sebenarnya aku tak bisa lakukan.
Aku tak ingin harapan, harapan yang terlalu tinggi. Membuat tumitku terlalu berjinjit dan lenganku lelah untuk menggapai. Aku tak ingin mimpi yang hanya akan membawa duka, nafasku yang lelah berburu ketika mimpi itu menagih untuk dipenuhi. Membuat mata ini lelah menyesal ketika tak satupun ada yang aku raih bahkan aku sentuh.

Aku ini sederhana saja, perempuan kecil yang tak ingin macam - macam. Aku ini baru saja mengenalmu, baru saja melihatmu kemarin di sela hujan, tapi sudah kehilanganmu begitu saja. Cukup saja berkhayal kecil tentangmu, yang hanya membuat hati ini tergelitik suka tapi duka.
Sederhana saja untuk mengertiku, tak perlu hingga mengaduk - aduk memori, hanya lihat saja mataku yang besar. Mata besar yang tak menyimpan apapun. Aku ini sederhana, sekalipun sederhana hingga aku tak memiliki apapun untuk diperlihatkan.

Aku ini sederhana, tapi tak begitu dengan hatiku yang tak sesederhana semut jalan di atas benang. Terlalu banyak hujan yang tajam, asap yang perih, dan embun yang dingin. Terlalu berduri, berjaring, dan berliku. Entah seperti apa tampaknya, tapi itu yang lebih aku rasa.