Padi padi itu hanya diam, padahal biasannya menari riang...
Angin juga membisu, padahal biasanya merengek jika tak disapa...
Siang ini matahari bersama sinarnya, memancarkan hangat tapi hanya sedikit membuatku berkeringat...
Aku banyak herannya hari ini...
Tak seperti biasanya padang itu sunyi tanpa kupu kupu dan juga kumbang merah...
Aku resah jika mereka tiba - tiba menghilang...
Bagaimana jika semuanya akan benar - benar menghilang?
Entahlah, semua pikiranku hanya untuk keresahan dan ketakutan...
Hujan, senja ini begitu gelap. Hujan, aku takut ketika langit akan benar - benar gelap. Hujan aku bingung harus berjalan ke mana. Hujan, aku tak mengerti langkah ini akan membawaku ke mana. Aku hanya tahu, aku akan tetap berjalan walaupun entah langit akan menjadi pekat. Hujan, aku tak ingin gelap ini terus bersamaku.
Hujan, apakah kalian tahu? sungguh banyak hati ini menginginkan aku terus menatap langit. Tapi, aku takut ketika nanti langit runtuh. Aku takut, ketika aku tahu bahwa langit akan menimbunku bersama rayap - rayap menggelikan itu. Hujan, apakah kau tahu? mengapa banyak ketakutan yang memburu diriku? Semua karena aku selalu inginkan apa yang terlalu jauh di sana.
Hujan, apakah kau mau dengarkan do'aku pada Allah di sana? Hujan, aku selalu minta pada-Nya untuk menyederhanakan aku. Aku mungkin sudah terlalu lelah melihat mimpi - mimpi itu mengejarku.
Tuhan, aku ingin menjadi seseorang yang sederhan, seseorang yang selalu bisa menyadari semua kenikmatan-Mu. Tuhan, aku ingin menjadi sederhana, seperti abu yang ringan tertiup angin, begitu sederhana. Seperti suara tangis jangkrik dalam sunyi malam, begitu sederhana.
Tuhan, sederhanakan aku...
Agar aku bisa menerima setiap kegagalan..
Agar aku selalu bisa sadar kekurangaku..
Tuhan aku ingin sederhana seperti semut yang berjalan...
Malam...
Yang tak pernah lupa akan rindu
Rindu itu seperti hatiku,,
Adakah yang mengerti bagaimana hatiku?
Ada, dia...
Terlampau lepas dia pernah rekam hatiku...
Tanyakan saja padanya,,
Tentang rindu yang dia bawa lari...
Entah ke mana, entah di mana...
Remang yang sinis ini sungguh dingin termenung tanpamu. Raupan cahaya yang tertutup embun tak akan pernah hapus sepinya tiupan angin tanpamu. Ekor bintang itu mulai menjuntai menitip salam terakhir pada malam, tak lama lagi malam akan benar - benar gelap. Seperti remuknya rinduku dalam kotak tanpa lilin. Seperti rintihan tak tergapai di dasar hati tanpa sinar.
Aku tak ingin harapan, harapan yang terlalu tinggi. Membuat tumitku terlalu berjinjit dan lenganku lelah untuk menggapai. Aku tak ingin mimpi yang hanya akan membawa duka, nafasku yang lelah berburu ketika mimpi itu menagih untuk dipenuhi. Membuat mata ini lelah menyesal ketika tak satupun ada yang aku raih bahkan aku sentuh.
Aku ini sederhana saja, perempuan kecil yang tak ingin macam - macam. Aku ini baru saja mengenalmu, baru saja melihatmu kemarin di sela hujan, tapi sudah kehilanganmu begitu saja. Cukup saja berkhayal kecil tentangmu, yang hanya membuat hati ini tergelitik suka tapi duka.
Sederhana saja untuk mengertiku, tak perlu hingga mengaduk - aduk memori, hanya lihat saja mataku yang besar. Mata besar yang tak menyimpan apapun. Aku ini sederhana, sekalipun sederhana hingga aku tak memiliki apapun untuk diperlihatkan.
Aku ini sederhana, tapi tak begitu dengan hatiku yang tak sesederhana semut jalan di atas benang. Terlalu banyak hujan yang tajam, asap yang perih, dan embun yang dingin. Terlalu berduri, berjaring, dan berliku. Entah seperti apa tampaknya, tapi itu yang lebih aku rasa.
Dari rayuannya, aku berpikir dendangnya sudah mulai mengambil hatiku. Nada yang pudar dan mulai rapuh itu kembali menyeruku untuk kembali. Entah dari mana jejaknya dapat menemukanku. Aku pikir selama ku bersembunyi, senyumnya takkan lagi mengikutiku. Tapi aku terlalu bermimpi untuk bisa hidup tanpa bayangannya.
Aku sudah tak lagi mampu ingat, kapan terakhir kali aku bisa hidup tanpa untaian keberadaannya. Sebenarnya aku menyesalkan untuk ingat lagi tentang ini. Tapi, aku hanya seorang yang tak mampu berbuat apa - apa ketika memori itu memang kembali lagi. Aku belum sempat menghela nafas bahkan aku baru setengah mengedipkan mata, tapi dia terlalu cepat menemukanku dalam persembunyian.
Kala jemari menari, nada merambat pelan di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan bersama setiap bayang yang pernah terlupakan
Saat datang rintik hujan bersama setiap bayang yang pernah terlupakan
Rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah kumencoba tuk sembunyi, namun senyummu tetap mengikuti
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah kumencoba tuk sembunyi, namun senyummu tetap mengikuti
-Iwan Fals-
Tidak ada kelembutan yang hangat selain hujan di luar sana...
Rintiknya memelukku bersama dingin...
Dalam titik yang runtuh, membawa pesan rindu untuknya...
Tidak ada sahabat setia selain hujan di luar sana...
Menemaniku duduk dibalik jendela...
Membuatku tersenyum melihat celah rintiknya...
Kala dendangnya meracau bersama guntur...
Aku risau pelangi tak datang...
Tapi tak ada janji yang terhapus dalam tangisnya...
Ringai dalam detik sehabis hujan...
Berburu melingkar di atas sana...
Tak ada bahagia selain pelangi kiriman hujan di luar sana...
Biasnya mengantar ceria...
Tak ada cerita selain kisah hujan di luar sana...
Ribuan karangnya yang pecah,
Ribuan tangis yang resah,
Ribuan mawar yang merekah,
Dalam rayuan hujan di luar sana...
Dunia terkadang sulit untuk membuat tertawa, bahkan tersenyum saja perlu paksaan. Setiap waktu terlihat seperti senja dengan jingga di sela gelap. Tapi ketika kau miliki hati sedalam danau, kau tak akan lagi pernah merasa sesuatu mengusikmu.
Segalanya tampak begitu putih. Tak tahu di mana dan sedang apa, aku di sini sendiri bersama angin semilir yang membuatku sedikit bergoyang. Lalu tiba – tiba seberkas cahaya jingga masuk menyapu sedikit demi sedikit putih di ujung timur. Bersama dengan itu, seseorang terlihat berdiri di sana. Iya. Laki – laki yang tak gendut tapi tak kurus dan tinggi itu nampak di sela jingga yang terus menyapu putih. Wajahnya bercahaya. Dia menatapku dengan senyuman tipis, kemudian…
“Mba Anne sudah sampai sekolah, mba”
Aku kaget. Kurapikan jilbabku yang sedikit acak – acakan karena ketiduran saat berangkat dari rumah ke sekolah. Lalu keluar dari mobil dan menyeret langkahku masuk ke gedung sekolah.
Ah, mimpi itu lagi. Aku kembali teringat dengan mimpi aneh yang akhir – akhir ini mengangguku. Bagaimana tidak, hampir setiap kali tertidur aku terus bertemu dengan peristiwa aneh itu dan hingga sekarang aku masih belum menemukan apa maksudnya. Hamparan putih, dan aku yang merasa tergoyang oleh angin, dan laki – laki yang sulit aku tangkap wajahnya. Sinar di belakangnya sungguh membuat wajahnya kabur dan hanya senyumnya yang terlintas.
“Ahh” aku mendesah. Mencoba membuang segala ingatan tentang itu yang membuat kepalaku pusing.
Aku keluar kelas menyeret tasku. Rasanya lelah sekali hari ini, bayangan tentang mimpi itu seringkali melintas dalam pikiranku. Aku masih tidak mengerti apa maksudnya. “An, aku duluan ya, ayahku sudah menunggu” ucap Hani lalu menepuk bahuku dan pergi menuju ayahnya yang sudah menunggu membawa payung. Langit memang sedikit gerimis.
Ayah? Senangnya Hani, Ayahnya menunggu membawakannya payung. Aku tersenyum tipis, berusaha menghibur diriku yang rindu kehangatan Ayah. “Mba Anne, ibu sudah menunggu di rumah” supirku datang membawa payung. Aku terdiam. “Anne masih ada jam tambahan, biar nanti Anne pulang sendiri aja naik taksi. Soalnya belum tau selesai jam berapa” ucapku.
Supirku meninggalkanku. Sebenarnya aku tidak ada jam tambahan, tapi aku belum ingin pulang.
Aku berjalan keluar pintu gerbang sekolah dengan gerimis yang sedikit mulai membesar. Melihat sekelilingku, teman – temanku yang dijemput oleh ayah mereka. Mereka sungguh beruntung, tak sepertiku.
Ayah mungkin tak pernah merasa rindu denganku. Tapi aku, bukan hanya sekedar rindu. Tak terasa air mataku mengalir bersama derasnya hujan yang sudah lebih dulu membasahi tubuhku. Kalau aku bisa memilih, aku tak akan di sini. Kami memang terlihat sempurna, tapi kebahagiaan tak pernah bisa dibohongi. Aku tak paham apa yang ayah kerjakan jauh di sana, yang aku tahu ayah hanya pulang dua kali dalam setahun. Dan aku rasa lebih baik ayah tak usah pulang.
Sudahlah, akupun sudah terbiasa untuk merasa seperti tak punya ayah.
“Anne, kamu hujan – hujanan? Pulang dengan siapa?” Ibu heran melihatku basah kuyup. Aku menoleh ke arah Ibu, dan ternyata ayah pulang hari ini. Ayah hanya tersenyum melihatku, tapi aku rasa aku tak punya alasan untuk membalas senyumnya. Tanpa ku jawab pertanyaan Ibu, aku langsung menaiki tangga menuju kamarku.
Kalau aku tak salah dengar, nanti malam ayah akan pergi lagi.
Sudah aku pernah bilang, untuk apa ayah pulang? Aku tahu ayah baru datang pagi ini, tadi pagi sebelum aku ketiduran aku melihat mobilnya lewat, dan nanti malam ayah harus pergi lagi.
Aku menuruni tangga. Sebenarnya aku ingin mengambil minum, tapi Ibu mengajakku mengobrol. “Tadi Anne bilang ada jam tambahan? Tapi ternyata Anne pulang, sendiri dan hujan – hujanan. Kenapa tidak ikut pak supir saja?” Ibu bertanya dengan suara selembut – lembutnya. Aku menyenderkan punggungku pada sofa, dan diam. “Anne dengar Ibu bertanya?” ucap Ibu lagi ketika melihatku hanya diam.
“Ibu, Anne tidak suka setiap kali berangkat dan pulang selalu dengan pak supir! Anne ingin sesekali ayah yang melakukan itu. Ayah Hani menunggu dan membawakan payung untuk Hani, tapi Anne? Ayah Anne tak tahu di mana! Hanya pak supir yang datang” jawabku sedikit jengkel.
Ibu mengangguk pelan, “Anne tahu ayah bekerja? Anne tahu ayah yang membangun rumah ini untuk Anne? Baju Anne siapa yang kasih? Lalu setiap hari Anne makan, kalau bukan karena ayah, Anne tidak akan merasa memiliki semua itu” ucap Ibu pelan.
Aku pikir, Ibu tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya aku inginkan. Ibu pikir, selama ini aku bahagia dengan semua yang aku dapatkan. Dan semua orang pikir, aku merasa sangat bahagia dengan semua ini. Iya. Aku memang sudah terbiasa dengan anggapan orang – orang tentang itu. Tetapi hanya aku yang mengerti.
Aku beranjak dari sofa tempat aku duduk. Berjalan ke luar rumah. Tapi, belum sempat aku melangkahkan kakiku ke luar gerbang. Aku menemukan sebuah amplop putih di samping roda mobil ayah. Aku memungut amplop itu dan menimang – nimangnya beberapa saat. Lalu kuputuskan untuk membukanya. Dadaku berdegup kencang ketika menatap barisan huruf yang merangkai isi surat itu.
Embun,
Tak pernah lekat dengan matahari
Ketika ufuk mulai merona
Dan kau hilang
Berlari sekencang mungkin dari mentari
Aku sempat berpikir mungkin kau benci denganku
Betapa tidak
Kau yang selalu menghilang di setiap pandanganku
Mengusik rinduku
Lalu aku datang padamu
Sebentar saja, karena kau segera pergi
Kau tak pernah memberiku kesempatan untuk mengungkapkan isi hatiku
Bahwa, aku selalu merindukanmu
Aku berjalan meniti jejak mayamu
Tapi tak pernah kutemukan dirimu dalam kenyataan
Aku ingin memelukmu
Namun kala waktu itu datang
Kau akan segera berlari
Sungguh, aku tak pernah menyesal telah merindukanmu
Karena untukku memilikimu sudah cukup untukku
Kau tetaplah mawarku
Dulu, saat ini, dan nanti
Yang kau lihat bersama Jingga
Kulipat kembali surat itu dengan hati yang tak jelas. Aku berlari masuk mencarinya, dan kulihat wajahnya. Tak pernah ku tatap selekat ini. Aku memperhatikan wajahnya, ada sesuatu yang menari dalam pikiranku. Wajah itu bercahaya, bukan karena lampu tapi cahaya jingga itu memancar dari wajahnya. Aku tak mampu berkata apapun. Aku berlari dan aku tahu ayah sudah melihatku. Aku berlari, dan aku mengerti ayah mengikutiku. Aku terus berlari beradu bersama air mata yang mengalir deras. Ya Tuhan, masih saja aku mengkecam dengan segala benciku tentang keberadaannya. Padahal aku tahu, tak mungkin ayah tak merindukanku.
Tiba – tiba cahaya yang begitu menyilaukan menabrak mataku. Suara klakson mobil bertubi – tubi aku dengar. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Semuanya menjadi gelap. Tanpa terkomando aku berteriak “Aaaa…”
BRAKK..!!
Aku belum mengerti apa yang terjadi, tapi seketika kesadaranku muncul. Perlahan kucoba untuk membuka mata. Nafasku memburu. Seseorang memelukku, aku masih berdiri dan tak bergerak sedikitpun melihat sebuah truk menabrak laki – laki muda yang kini tergolek di aspal. Aku masih antara sadar dan tidak.
Tapi, ketika aku tahu bahwa ayah yang memelukku, aku langsung berbalik dan memeluknya. Aku tak pernah menyadari betapa kebahagiaan ada di dekatku. Aku tak akan menjadi seperti embun, ayah. Aku akan menjadi mawarmu yang terus tersenyum walau matahari terik membakar.
Dan ayah akan melihatku.
Melihat mawar dan kebahagiaannya.
“Anne, kalau kau punya hati yang dalam, kebahagiaan itu akan mengucur dengan sendirinya. Tidak akan ada benci yang merusaknya. Karena kebahagiaan ada dalam hatimu sendiri, bukan karena ayah yang menunggu dan membawakan payung, tapi karena kau sadar bahwa ayah akan selalu ada”.
Aku hanya memiliki dua tangan yang mungkin tak akan bisa memeluknya erat. Tak seperti gurita yang mungkin akan sangat erat mendekapnya dan bahkan tak akan membiarkannya terlepas. Tapi memang aku tak mungkin menjadi gurita, gurita yang akan membuatnya terus lekat. Dan aku mengerti sekarang, mengapa dirinya tak pernah dekat denganku. Bukan karena aku bukan gurita yang memiliki banyak lengan untuk mendekapnya. Tapi karena aku memang tak pernah bisa untuk terus membiarkannya berada dekat denganku.
Karena dia punya bidadari yang setiap malam menunggu salamnya. Karena bidadarinya begitu cantik bahkan aku tak bisa menjelaskan bagaimana cantiknya bidadari itu. Karena dia begitu menyayangi bidadari itu.
Aku lupa atau mungkin sudah melupakan, atau memang aku tak pernah berniat memberitahunya. Setiap matanya berhadap denganku, lalu tubuhku akan kaku. Setiap dirinya menghampiriku, lalu aku menjadi bisu. Dan setiap senyumnya sampai pada hatiku, lalu aku akan merasa terbawa terbang.
Apakah aku sudah memberitahunya tentang itu?
Setiap malam memberi salam, aku berharap dirinya yang akan menemani dalam mimpiku. Apakah aku sudah memberitahunya?
Mungkin belum, atau bahkan tak akan pernah memberitahunya. Mungkin suatu saat nanti ketika lenganku sudah sekuat delapan lengan gurita untuk mendekapnya. Mungkin nanti, ketika bidadarinya sudah tak cantik lagi.
Entah apa yang aku barusan katakan. Tapi aku hanya seperti bayi yang mengemis gula - gula. Ah!
Sudahlah, kalau memang bidadari itu akan selamanya bersamanya, aku lebih ingin melupakannya. Melupakannya dan menemunkan seseorang sepertinya, mungkin.
Aku semakin merasa lelah untuk merasa, entah apa yang sedang aku bicarakan tapi maksudku merasakan rindu itu. Sunggu, semakin lama semakin menyesatkan. Apapun yang aku jejaki selalu terbayang apapun tentangnya. Sudah beberapa waktu lalu aku putuskan untuk mengakhiri cerita cengeng ini, tapi ketika aku melihat malam yang sepi, aku rasa aku merasa sendiri tanpa rangkaian titik - titik wajahnya. Entahlah, apa yang sebenarnya aku inginkan. Terkadang aku rasa, rindu itu begitu menyeretku tanpa permisi, tapi dalam sela rindu itu terkadang aku lelah untuk terus mengingatnya yang sudah jauh.
I heard that you're settled down
That you found a girl and you're married now I heard that your dreams came true
Guess she gave you things I didn't give to you
That you found a girl and you're married now I heard that your dreams came true
Guess she gave you things I didn't give to you
"Bagaimana aku tidak merasa rindu, ketika semua yang aku dengar datang tergambar sebagai dirimu, entahlah apa yang sudah kau dapatkan di luar sana, mungkin "Aura Kasih" atau "Vicky Shu" atau siapalah".
Never mind, I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you too
Don't forget me, I beg
I remember you said,
"Sometimes it lasts in love but sometimes it hurts instead,
Sometimes it lasts in love but sometimes it hurts instead,"
I wish nothing but the best for you too
Don't forget me, I beg
I remember you said,
"Sometimes it lasts in love but sometimes it hurts instead,
Sometimes it lasts in love but sometimes it hurts instead,"
"Apapun yang sudah terjadi terhadapmu, siapapun yang sudah bersama denganmu, semua itu hanya aku bisa balas dengan anggukan penuh rapuh, tapi suatu hari nanti aku akan mencari seseorang sepertimu. Walaupun aku tidak mengerti apa yang kau miliki, tapi aku harap aku akan suatu hari nanti. Terkadang sesuatu akan berakhir dalam cinta, tapi terkadang sesuatu menyakitkan".
Nothing compares
No worries or cares
Regrets and mistakes
They are memories made.
Who would have known how bittersweet this would taste?
No worries or cares
Regrets and mistakes
They are memories made.
Who would have known how bittersweet this would taste?
Semua yang terjadi memang hanya milik masa lalu. Kenangan yang merebutnya dariku...
Adele - Someone Like You
Rembulan menepi tertiup angin...
Bintang membisu terbawa dingin...
Paras malam sepi resahkan hati...
Lambaian awan lemah menutup pasti cahaya - cahaya yang menari...
Kala hitam mulai mencerca...
Kala gelap mulai memaki...
Kala tak lagi ada senyum menghiasi...
Hujan menyambar langit hati...
Guntur memecah rangkai ceria...
Rintik tajamnya bebas merajam suka dan bahagia...
Aku dibalik hujan...
Terbisu dalam rapatan dusta yang penuhi malam nestapa...