Dari Hati

Sesal

11.23

Rasa sesal itu tak akan pernah sirna, pada kehidupan siapapun, aku juga yakin bahwan putri saljupun tahu apa rasanya menyesal.

 Awan ataupun matahari, mereka datang dengan cara yang tak pernah aku duga. Entah teduh ataupun cerah. Aku percaya, jika seseorang pernah menulis bahwa waktulah satu-satunya yang bukan makhluk yang paling rakus. Waktu-waktu itu hanya berputar, tak meninggalkan jejak, tiba-tiba saja pagi menjadi gelap, tiba-tiba saja aku telah berada hampir di ujung jalan.
Waktu-waktu itu yang memakannya, kan?
Siapa kalau bukan dia?
Tak pernah kenyang?
Atau tak mengerti arti lapar?
Sesal itu, selalu memaksaku untuk mencari sebuah pelampiasan, mencari seorang yang pantas aku kambing hitamkan, bukan memang aku yang ingin, tapi memang rasa sesal itu yang memaksaku untuk melakukan itu. Dan, akhirnya semua mengarah pada detak jarum yang tak akan pernah berbalik arah.
Aku baru saja sadar, terlalu lambar sebenarnya untuk sadar, bahwa aku ternyata telah berdiri sejak lama dengan tangan kosong, tanpa jaring penangkap serangga, tanpa garam untuk mengusir ular, tanpa apapun. Inikan yang namanya rasa sesal? Aku baru menyadarinya ketika kumbang-kumbang beracun berterbangan dii atas kepalaku, ketika beribu ular melingkar menghadangku, ketika aku tahu aku telah tak tahu bagaimana caranya menuju ke sana, ke tujuan akhirku. 

Aku menyesal,
Mengapa setelah tersandung batu besar?
Aku menyesal,
Aku baru tahu aku butuh perisai

Dari Hati

Serbuk Debu

19.48

Pagi tadi, aku meniup-niup debu-debu abu yang bersarang lemah di atas sepatuku, tiba-tiba saja aku merasa takjub ketika aku melihat serbuk-serbuk itu terbang diantara berkas-berkas embun, entah mengapa, itu terlihat seperti keajaiban...




Debu yang kulihat itu pasti ringan, bahkan mungkin sehelai rambutku masih beribu-ribu lebih berat. Debu itu datang dari jauh, mengapa memilih menetap di atas sepatuku? Mengapa memilih untuk bertemu denganku? Padahal, akhirnya mereka akan ku tiup, bahkan aku tak menyapanya sama sekali. Untuk apa debu seperti itu, tanpa mereka sepatuku saja sudah terlihat begitu lusuh.


Aku bahkan tak berpikir untuk mengucapkan selamat tinggal,

Tapi aku baru saja takjub, melihat kenyataan bahwa debu itu mampu terbang diantara ribuan titik-titik yang lebih pekat. Bagaimana jika aku adalah serbuk debu? Aku pasti akan lebih mampu terbang...

Di titik ini, hidupku selalu membangunkanku tiba-tiba ditengah malam, berteriak dan memaki, sejauh apa aku telah berjalan, sejauh apa aku telah terbang, dan mengancamku jangan sampai aku mendarat. Aku sedih, karena sekarang aku belum mampu menjawab, entah belum mendapatkan jawaban, atau terlalu malu untuk menyatakan kenyataan yang ada.
Terkadang aku ingin sekali menjadi debu-debu itu yang bahagia saja walaupun dilirik sinis oleh orang-orang, yang bahagia saja walau telah terusir ribuan kali, yang bahagia saja dan terus bisa terbang. Debu kecil itu, yang aku anggap hanya menambahkan predikat lusuh pada sepatuku. Akupun ingin seperti mereka...

Untuk debu yang tadi pagi terbang entah sekarang di mana,
Bermuaralah ditempat yang indah, 
Bisakah kau tidak membuatku iri?
Jangan terus bahagia, ketika orang-orang mengusirmu,
Sedih sedikit-sedikit juga tak apa,
Perjalananmu, aku ingin memilikinya,
Debu kecil,
Nanti, aku akan terbang lebih jauh dibanding denganmu,
Aku akan lebih bahagia dan bersahaja,


Dari Hati

"Selamat Ulang Tahun..."

23.59


Rindu itu sederhana, ketika aku menyadari aku telah memiliki banyak kisah dan kenangan, ketika aku tahu bahwa aku telah menghabiskan beribu-ribu hari, dan aku rindu setiap berkas cahaya yang pernah memberiku jalan hingga aku sampai di sini.
Bulu mataku tak panjang, tapi aku cukup bahagia ketika mereka tetap berada di sana melindungi mataku dari debu dan kumbang-kumbang nakal. Beribu hasil pena yang aku telah baca, karena Tuhan tetap memberiku kepercayaan tulusNya untuk menitipkan mata ini hingga kini.

Rindu yang rimbun
Hati yang tambun
Senyum yang santun
Dan hijaunya daun-daun
Hanya itu,
Bahagiakupun akan meluap-luap
Hanya itu,
Aku mungkin akan lupa bagaimana cara menguap
 Dan hanya itu,

Tuhan telah memberiku ruang istimewa diantara semut dan kumbang yang berterbangan. Tak seperti laron-laron yang buta di kegelapan, aku tetap suka malam-malam legam yang hangat dan megah. Dengan begitu, mata-mata yang sayu hanya terlihat seperti remang-remang, dengan begitu, aku dapat merebah.

Banyak mimpi-mimpi yang menunggu...
#Pesan istimewa untuk Tuhan,
Aku tak bisa mengungkapkan bagaimana rendah lagi aku dihadapanMu.
Jangan buat rasa syukurku habis,
Aku akan takut
.

Dari Hati

Mengenang, 2013...

00.00



Sebagaimana seharusnya nafas itu merasuk dalam setiap sel-sel, sebagaimana mestinya matahari datang di setiap akhir mimpi. Sebagaimana yakinnya air mata jatuh menemani kesedihan yang resah diantara tangisan jangkrik. Sebagaimana dinginnya gelap memenuhi hidup. Sebagaimana juga, malam ini 31 Desember 2013 hujan tak ingin lekang.
 "Rangkai jari-jariku sedikit beku"
Jauh dari anganku, aku menginginkan awal tahun yang cerah bersama bintang, kalaupun bisa lindungi langitku dari percik-percik kembang api yang tak tulus.
Aku akan memulai kenanganku, bersama kata dan nafas yang aku sisakan untuk malam ini, malam terakhir 2013, yang aku harap akan menjadi gerbang untuk kawat-kawat yang akan menjadi tempatku nanti menggantung setiap mimpiku, di tahun selanjutnya, di tahun yang aku harap akan menjadi penuh senyuman, di tahun yang aku harap akhirnya membuatku menjadi dewasa, di tahun yang aku harap Tuhan masih memberiku kepercayaan untuk sekali lagi mencoba menjadi manusia yang tak lepas dari tuntunan-Nya. 
Tahun 2013, bukan tahun yang bisa aku lewati dengan mudah. Di sini, aku banyak menemukan banyak hal yang membuatku lebih menjadi manusia, sisi lain dari dunia ini, mungkin beberapa bagiannya sudah aku lihat, akhirnya...
Malam ini aku sangat bersyukur bahwa aku terlahir dengan mengakui Tuhan yang tak pernah lupa membuatku terus memulai hari lain setiap pagi. Yang telah membiarkanku mengintip sedikit apa artinya indah dengan senja, jingga-Nya yang merona selalu menghangatkan tirai jendelaku, meniup-niup ujung-ujungnya sedikit.
Tidak sedikit kisah rindu yang pernah aku coba tuliskan di sini, bahkan mungkin kata rindu itu sulit untuk dihitung. Selain menuliskannya, aku tak memiliki daya untuk melakukan hal lain. Aku bahkan terlalu sulit untuk membayangkan seperti apa rupanya sekarang, apa yang dilakukannya, di mana, mungkinkah aku tak pernah sekilas hadir sebagai sedikit kenangan. Itu yang hanya bisa aku gambarkan, karena memang sesungguhnya rindu seperti itu yang setiap kali membangunkanku di tengah malam. 

"Hari ini aku kembali bertemu dengan malam tahun baru, 31 Desember...
Kapan terakhir kali kita berada dekat pada hari-hari seperti ini?
I wish I can make a good living, just as I wish you will have one.
It's just few days later that finally I reach my seventeenth,
Don't you want to see me? Sing me a happy birthday?
I'll finally grow, don't you want to see how I've grown so well?"

Dari Hati

16.39

 gadis musim dingin.
Pertama kali yang jari mungilnya sapa adalah angin musim dingin yang menyelip lewat sela-sela jendela kayu yang rapuh. Kelopak matanya yang lemah berkedip-kedip perlahan, menahan dingin yang menyapa sekilas wajahnya. Gadis musim dingin, yang hatinya seputih salju. Cantik dan lembut. Bulu mata keritingnya menjadi saksi, siapapun berani mempertaruhkan nyawanya demi melindungi seorang gadis mungil dari dinginnya akhir Desember.
Walaupun nanti akan menghilang, gadis mungil itu tak mungkin terlupakan. Bunga - bunga salju itu selalu menjadi penjaganya. Langkah - langkah kecil yang tidak pernah berhenti, jelas tergambar di atas salju-salju malam yang masih bersemayam.
Aku mengatakan ini, karena hingga sekarang aku masih menganggapnya sebagai gadis mungil yang terlahir di musim dingin. Walaupun dia bukan seorang gadis mungil, tapi caranya menggenggam tanganku dan menatapku seperti gadis itu. Hangat dan penuh ketulusan, seperti memintaku untuk menjaganya dari dingin yang kapanpun bisa hadir.

Aku mengatakan ini karena aku ingin menangis, begitu saja pergi. Musim dingin akan selalu datang, dan setiap salju yang turun, membuatku ingin bertemu dengannya yang seperti gadis mungil.  
All day I hesitated...
How I supposed to pass every winter by myself,
with every longing for you,
In a cold wind, with my frozen hand.. 



Dari Hati

18.51



Malam, awal musim hujan yang gelap. Hari ini aku hanya mencoba terlelap di bawah selimut, mencoba memejamkan mataku setiap gemuruh guntur menyambar - nyambar melewati angin di atas sana. Jangan biarkan aku melihat kilatan, aku mohon...
Senja lain tanpa salam rindu matahari jingga, beberapa hari ini terasa kosong tanpa melihat sayap - sayap burung yang penuh rindu. Mereka pasti melewatkan banyak waktu. Sama seperti kisahku yang terhenti sesaat tanpa senja. Aku senang menggemakan rinduku di ambang sanja, hanya bersama kelap - kelip lampu jalan yang masih redup. Aku juga selalu menyerukan kerinduanku kepada siapapun, yang telah lama aku ingni temui dan selalu aku impikan wajahnya bertatapan denganku.

Ketika aku mulai lagi membuka kerinduanku, aku rasa ruang - ruang jantungku bergetar dan benang - benang di dalamnya melompat - lompat, sel - sel dalam otakku tertarik - tarik. Entah, sulit sekali menggambarkan apa yang aku rasakan. Dadaku tiba - tiba saja menjadi berat...

Sebenarnya, aku selalu bertanya - tanya. Sudah berapa lama tepatnya sejak terakhir kali aku melihatmu? Aku bisa menyebut diriku hebat, kan? Karena aku bisa mengubur kerinduanku jauh di bawah, hingga akhirnya secara tidak sengaja aku telah menggali tumpukan itu lagi dan berhasil menemukan kerinduan itu lagi.

Aku banyak mendengarkan lagu - lagu ballad yang mendayu, dan baru kali ini setiap nada - nada yang aku dengar menggambarkan cahaya - cahaya yang pernah aku lihat di setiap ujung matamu. Aku rasa, kerinduan itu mulai berjalan menuju puncaknya. Semuanya akan berujung pada bayanganmu di dalam pikiranku, walaupun aku tak tahu dengan pasti seperti apa rupanya kau sekarang, tapi itulah yang munculku di pikiranku saat ini. Hanya berkas matamu...

Dari Hati

Senjaku Terlelap...

16.50

Tiap senja kini bukan lagi awan yang merona, tapi hanya hujan bersama angin yang membawa kabur debu - debu di depan jendela kamarku.


Musim hujan sudah datang lagi, aku harus menahan keinginanku untuk melihat jingga di ujung jendelaku. Setidaknya untuk enam bulan ke depan. Sampai jumpa lagi, april tahun depan, aku tak akan lelah menunggumu...

Langit yang merona...

Aku harap senjaku beristirahat dengan lelap dibalik helai hujan. Aku harap Tuhan akan menjagamu dibalik gemuruh badai. Aku harap enam bulan waktu yang indah dan menyenangkan untukku dan untuk senja di balik sana. Biarkan saja, hujan ini turun hingga lelah nanti, kemudian senja akan mengambil alih lagi langit bersama garis - garis senja yang berbinar.

Hingga nanti waktu datang, jangan gerakkan sedikit kelopakmu untuk terbangun, berbaringlah di bawah selimut tebal yang hangat. Simpan ronamu, hingga april tahun depan, aku harap aku masih di sini dan membangunkanmu. 

Aku harap, kita bertemu lagi, mengantarkan burung - burung pada sarangnya, memanggil bulan dan venus untuk hadir di malam yang legam.

Dari Hati

Tentang Senja

16.57


Untuk penggemar senja sepertiku, pagi terlihat sangat menyeramkan.
Sekalipun, angin terlembut berhembus, pagi tak akan pernah terlihat indah seperti apa yang mereka katakan. Aku tak suka, ketika matahari datang dan membuat langit menjadi cerah dan bergelora. Mengungkapkan tangis - tangis di balik mata - mata sayu, mengungkapkan kesepian di balik bibir yang bergetar.

Setiap pagi, hanya membawa kesedihan lain...

Apapun yang orang - orang bilang tentang memulai kembali kisah yang telah lelap, aku tak pernah tertarik untuk menghitungnya sebagai bagian dari hidupku. 

Senja, bukan yang lain. 

Bersama jingga yang meredup kemudian hilang di balik awan - awan biru legam. Ambang senja yang indah, ketika rindangnya rinduku padamu hanya terlihat seperti remang - remang. 

Dari Hati

21.51

"Aku masih sama, selalu menanti senja di balik jendela kamarku."

Ketika itu, aku mulai mengerti mengapa tak lagi banyak embun - embun yang hinggap di kaca jendela kamarku. Ketika itu, ketika aku juga baru mengerti bahwa aku telah terlalu banyak bermimpi. Tapi, hingga sekarang, walau tak satupun tercapai, aku masih belum menemukan alasan untukku berhenti bermimpi. Selama aku bahagia, aku akan terus bermimpi walaupun tanganku tak bisa mencapai untuk menggantungnya, atau bahkan ketika tak ada lagi ruang untuk menggantung mimpi - mimpi itu. Karena tuhan tak pernah membatasi mimpi makhluk - makhluknya.
Suatu saat, aku bermimpi akan bertemu lagi dengan sosok tiga tahun lalu yang telah jauh terbang dulu. Tapi mimpi itu tak perlu ragu, walaupun tak mungkin, siapa yang tahu suatu saat nanti akan ada dunia yang dapat mempertemukanku dengan sosoknya. Dulu, terakhir aku bertemu, aku menangis dihadapannya. Aku menyesal, meninggalkan kenangan terakhir yang menyedihkan. "Ayo, kita bertemu lagi, dan aku akan tersenyum, meninggalkan kenangan yang cantik untuk aku dan kamu." Aku pasti telah sangat merindukannya. Sudah lebih dari tiga tahun lalu.
Dear,
Even it's impossible for you to see and hear,
But it's not impossible for me to say and believe,
In another life, let's meet and smile together,
I'll come to you without doubt of losing you (again),
It's hard for me,
Three years, and now I am in longing,
I wonder for once,
Can't you wake up even just once?
At least to say that you'll really be okay there,
Somewhere far away...
I want to hate my self,
For falling for you like forever,
For always counting you in every lonely,

A Tale

Binar Sederhana

21.31

Larasati kembali lagi, ke pemukiman lusuh di antara pohon – pohon bambu yang liar tumbuh menjadi sarang – sarang ular. Kali ini mungkin lebih dari sekedar menyusuri jalan – jalan becek beralas daun – daun kering yang jatuh, tidak seperti waktu sebelum – sebelumnya. Ia ingin meninggalkan kenangan di desa kecil pinggiran kota ini, tak mudah untuk mencapai tempat itu. Mungkin, kata ‘berani’ saja belum tentu bisa membawa kita sampai ke desa itu, tidak akan sampai, hingga kita memiliki keinginan dan ketulusan untuk benar – benar datang.

Sebenarnya, ia tidak begitu saja datang. Beberapa hari ini, sekolahnya memberikan tanggung jawab untuk mengawasi persiapan – persiapan kegiatan sekolah “Pengenalan Lingkungan Masyarakat”.

Tidak sendiri. Ia bersama kawan – kawan lain dengan alasan yang sama, untuk kenangan yang tak mungkin dapat terulang. Di tempat yang mataharinya harus berusaha menyelip di sela – sela dedaunan dan ranting – ranting yang rimbun, di mana setiap pasang mata yang lewat hanya menafsirkan harapan untuk hidup esok.

Hari mulai terik, tapi untung saja rerimbunan pohon – pohon besar di setiap pinggiran jalan mampu menjadi penghalang panas matahari.

“Kenapa harus di tempat seperti ini sih? Apa tidak ada yang lebih baik?” Rani menyela diantara nafas – nafas yang terengah – engah. Mereka berjalan menuntun sepeda motor melewati jalanan menanjak berkerikil. Terlalu berbahaya jika tetap menaiki motor di jalanan menanjak seperti ini, batu – batu kecil yang hidup bisa saja setiap saat menyandung.

Benarkan? Tak mudah untuk mencapai tempat itu. Suatu desa kecil di selatan kota Purwokerto. Desa yang kontur tanahnya seperti gelombang pasang, naik dan turun tidak membentuk irama yang indah. Namun, gemerisik angin terlembut dapat dirasakan di sini, membuat helaan nafas menjadi lebih ringan.

Dari awal memasuki pintu desa, mereka sudah sibuk dengan umpatan – umpatan penuh sesal mengapa mereka harus datang ke tempat seperti ini. Tapi Larasati memilih diam, jika saja mengumpat bisa meringankan jalannya. Tapi sayangnya tidak bisa. Ia menikmati kerikil – kerikil kecil di bawah alas sepatunya. Jalanan ini sudah menjadi hidupnya beberapa hari ini. Perasaan yang tidak pernah berubah, betapa lelahnya juga berjalan dengan irama yang jauh dari ramah. Tidak bisakah mereka hanya diam?

“Capek ya mbak? Saya bantu dorong ya.”

Bisik – bisik kecil berisi cela dan keluh tadi tiba – tiba terhenti dengan suara yang terdengar bergetar. Semuanya serempak menolehkan pandangannya, bertemu pandang dengan wanita paruh baya dengan ranting – ranting kayu yang digendong di punggungnya. Terkesiap melihat raut wajah ramahnya tapi penuh lelah.

“Ah. Terima kasih, bu.” Larasati memecah hening yang sesaat menjadikan mereka canggung.

“Saya yang malah mau bilang terima kasih sanget. Wong mbak – mbaknya yang sudah membantu kok.” Ucapannya bercampur dengan bahasa jawa, terdengar halus dan tulus.

“Rumah saya jadi diperbaiki.” Lanjutnya

“Ah, itu kan dari sekolah.” Kali ini Nisa yang menanggapi.

“Ya tetap saja. Mbaknya kan juga sudah mau ke sini.”

Nada ramahnya tidak pernah beranjak dari setiap ujung – ujung katanya. Padahal, jika dilihat dari perawakannya yang kurus dan kulitnya yang kecoklatan terbakar sinar matahari pasti banyak waktu – waktu sulit yang pernah dilewati. Tapi, tidak sama sekali membuatnya terlihat lemah.

Larasati bergumam dalam hatinya, mengkecam geram mengingat keluh dan cela yang kawan – kawannya bisikkan tadi sepanjang jalan. Dan kini mereka semua terdiam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ingin saja ia berteriak di depan wajah – wajah mereka...

Mengapa sekarang diam? Lihatkan! Betapa bahagianya mereka dengan hanya kita datang ke sini! Bahkan tanpa mengetahui apakah kita benar – benar tulus membantu, mereka sudah sangat berterima kasih.

Garis – garis urat di bawah kulitnya terlihat jelas menonjol di antara kulit yang sudah sedikit kendur akibat keriput. Larasati merinding seketika melihat urat di leher wanita itu tegang. Beban di punggungnya pasti tidak ringan.

“Saya benar – benar sangat berterima kasih.” Suaranya terdengar serak sekarang.

Larasati mengulaskan senyuman diikuti oleh anggukan pelan kepalanya. Ia terlalu sibuk mengamati setiap sudut bangunan yang baru kelihatan tiang – tiang penyangganya. Bangunan persegi, yang mungkin hanya sebesar kelasnya atau bahkan tidak sampai selebar itu menyekat nafasnya.

Hatinya seperti bergetar, mengingat betapa tulusnya wanita paruh baya tadi mengucap rasa terima kasih. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang menjadi begitu bersyukur untuk hal kecil seperti ini? Ya. Untuk Larasati, sepetak rumah itu bukan hal yang besar. Hanya bangunan kecil berdinding triplek.  

“Ini mbak, rumah saya tadinya di situ, tapi karena sedang diperbaiki jadi dipindah di sini.” Wanita itu mengajak Larasati masuk ke dalam rumah beralas tanah dengan dinding anyaman bambu yang banyak berlubang. Bagian bawahnya terbuka, membuka pintu bagi ular atau hewan – hewan lain untuk masuk kapan saja.

“Diangkat bu?” Ia melongo, membayangkan bagaimana caranya bangunan ini bisa dikatakan sebagai rumah. Bisa saja, jika itu rumah – rumah siput yang selalu dibawa kemana-mana. Jadi, ketika suatu saat ada angin kencang, bisa saja keluarga penghuni rumah ini bingung mencari di mana bangunan rumah mereka bermuara terbawa angin. Lucu kalau dibayangkan, tapi sayangnya lebih terkesan memprihatinkan.

“Ya iya. Ini kan diangkat seperti ini saja ya sudah bisa dipindah.” Wanita itu mencabut pasak bambu kecil di tengah ruangan, membuat atapnya bergerak. Ia menyambungnya dengan tawa kecil, entah sebagai tanda prihatin atau memang lucu.

Larasati semakin terkesiap dengan apa yang ia lihat. Rasa syukur itu ternyata begitu sederhana untuk wanita paruh baya berparas ramah ini. Entah, sudah berapa kali ia mengucapkan terima kasih, tapi rasanya tetap terdengar sama tulusnya.

Sambil berjongkok dan mengintip kolong lemari, wanita itu menarik keluar baskom berisi gelas – gelas yang basah. Ia mengelapnya satu – satu, memastikan semuanya benar – benar kering. Obrolan mereka semakin dalam, nampaknya wanita itu butuh teman berbicara. Hanya perlu seseorang untuk mendengarkannya, walau Larasati tidak bisa memberi tanggapan apapun.

Sekilas ia mengingat raut – raut wajah kawan – kawannya, membandingkan dengan garis – garis wajah wanita di hadapannya. Mengapa baginya rasa syukur begitu sulit untuk dijangkau. Mereka hanya harus datang dan mengamati apa yang ada di desa pinggiran itu. Tapi, masih saja ada tempat untuk mencela dan mengeluh. Dibanding dengan wanita paruh baya ini, yang bahkan masih harus khawatir setiap hari rumahnya akan roboh, tapi rasa syukurnya seperti satu – satunya kata yang ia kenal.

Mengapa Tuhan tidak menjadikan mereka seperti itu? Setidaknya, biarkan mereka sekejap lupa apa itu penyesalan dan keluhan. Biarkan mereka merasakan betapa sederhananya sebuah rasa syukur  itu.

Itu merupakan kenangan untuk Larasati. Perasaan yang berbeda, bagaimana seseorang memandangnya penuh binar, walau tanpa tahu apakah ia benar – benar tulus, tapi yang cahaya mata redupnya hanya mengantarkan kejujuran.